Mak’kom
SUDUT SASTRA 6
CERPEN SENO GUMIRA AJIDARMA
Seorang teman saya sodori harian KOMPAS tgl 5 Juli
2020, pada halaman 11, dimana di muat cerpen karya Seno Gumira Ajidarma.
Setelah di baca sejenak, langsung dia berkomntar : “
Ah…cerpen apa ini. Judulnya saja bikin bingung…”.
Saya tersenyum, dalam hati saya juga bingung waktu
pertama baca judulnya “ SIMULADISTOPIAKORONAKRA”. Saya juga lalu berpikir,
apakah sastra yang baik itu harus membuat bingung dulu para pembacanya?. Yang
kemudian si pembaca kalau bukan orang yang benar-benar senang dan berusaha
menghayati sastra, segera terpental dan melempar kertas-kertas berisi tulisan sastra
yang dianggap baik oleh orang-orang tertentu. Saya akui memang harian KOMPAS
sering memuat cerpen-cerpen yang bikin bingung terlebih dahulu pembacanya.
Saya coba baca pelan-pelan cerpen SGA, kemudian saya
menemukan kalimat:
“ Namun, jika bukan karena udara sepanas ini
membunuh bayi begitu lahir, perebutan kekuasaan antar manusia yang tidak pernah
berhenti telah semakin mengurangi kesempatan
hidup bayi-bayi, tersebab balas dendam dilakukan oleh siapa pun yang lolos dari
pembataian “.
“ Wabah itu tidak pernah menjadikan manusia menunda
pertentangan mereka untuk menghadapi musuh bersama”, kata Komandan lagi, “ selamatkanlah
yang masih bisa diselamatkan, karena kepunahan telah menjadi kepastian…”
Sampai disini, saya berpikir, apakah SGA ini mau
berbicara tentang wabah Covid 19 yang sedang melanda dunia dan khususnya di
Indonesia. Maka saya lanjutkan membaca dan ternyata kalimat kearah itu saya
temukan.
“ Tercatat dalam Mahadata Semesta betapa setelah
pengalaman Covid-19 pada 2020 diabaikan secara berturut-turut Covid-20 sampai
Covid-44 dengan caranya masing-masing mengurangi penduduk Bumi yang tidak
memiliki lagi daya pertahanan alamiah, ketika dari saat ke saat tanah dan air
masih terus mereka rusak sendiri secara berkelanjutan. Apalah yang masih bisa
diharapkan dari Bumi yang samudranya kering, sungainya berhenti, menyisakan
selokan mampat dengan air kehitam-hitaman?”.
Disini saya menangkap yang dimaksud oleh SGA, bahwa
penanganan wabah Covid-19, baik di seluruh dunia ataupun penanganan yang di
Indonesia belum menunjukkan hasil seperti yang diharapkan masyarakat. Bahkan cenderung
penanganannya dilengkapi serta direcoki dengan permainan politik yang hanya
mengedepankan rasa ingin mendapatkan kekuasaan belaka.
Kita lihat di negara kita sendiri, yang jelas-jelas
antara aparat, tokoh masyrakat dan
masyarakat harusnya bersama-sama menghadapi pandemi dengan rasa persatuan dan
kesatuan, tetapi kenyataan malah ada yang memanfaatkan untuk panggung politik dan
bermaksud menjatuhkan serta mengarah perebutan kekuasaan. Di samping itu tampak
juga koordinasi antar pejabat juga amburadul, menampakkan ego sektoral dan ada
juga yang ego pribadi.
Pengendalian informasi yang seharusnya menenteramkan
masyarakat, malah kadang sebaliknya, membuat masyarakat bingung. Beberapa orang
merasa dirinya hebat, membuat ramuan-ramuan yang katanya bisa untuk membunuh
covid-19, tetapi tidak ada bukti hasil uji labolatorium.
Lalu apa harapan SGA lewat cerpennya?. Tampaknya
rasa optimis masih ada. Terbukti dengan kalimat yang ditulisnya “ Kusambar tali yang turun dari langit, langsung kugulungkan
kekain kumal pembungkus bayi itu, dan mematikan simpulnya sehingga terjamin
tidak lepas lagi “. Disambung lagi dengan “…... Belati yang menuju ke rah tali
berhasil kusampok jatuh dengan pedang katana, pada saat itu belati melengkung
yang lain melesak ke dadaku”.
“ Tubuhku langsung limbung, dan aku jatuh
terlentang. Kusaksikan buntalan kumal pada tali itu mengangkasa dalam latar
langit yang masih saja menurunkan hujan abu. Masih kudengar tangis bayi itu
ketika mataku menutup untuk selama-lamanya”
Lalu siapa “aku”. Mungkin para dokter, perawat dan
siapa saja yang berusaha dengan sekuat tenaga dan pikiran guna mencegah
menyebar dan menularnya covid-19 di masyarakat. Tapi dia yang menjadi korban
dan meninggal. (Budi Sampurno,Mak’skom,IPJT,12.7.2020)
.