Minggu, 12 Juli 2020


Mak’kom
SUDUT SASTRA 6
CERPEN SENO GUMIRA AJIDARMA
Seorang teman saya sodori harian KOMPAS tgl 5 Juli 2020, pada halaman 11, dimana di muat cerpen karya Seno Gumira Ajidarma.
Setelah di baca sejenak, langsung dia berkomntar : “ Ah…cerpen apa ini. Judulnya saja bikin bingung…”.
Saya tersenyum, dalam hati saya juga bingung waktu pertama baca judulnya “ SIMULADISTOPIAKORONAKRA”. Saya juga lalu berpikir, apakah sastra yang baik itu harus membuat bingung dulu para pembacanya?. Yang kemudian si pembaca kalau bukan orang yang benar-benar senang dan berusaha menghayati sastra, segera terpental dan melempar kertas-kertas berisi tulisan sastra yang dianggap baik oleh orang-orang tertentu. Saya akui memang harian KOMPAS sering memuat cerpen-cerpen yang bikin bingung terlebih dahulu pembacanya.
Saya coba baca pelan-pelan cerpen SGA, kemudian saya menemukan kalimat:
“ Namun, jika bukan karena udara sepanas ini membunuh bayi begitu lahir, perebutan kekuasaan antar manusia yang tidak pernah berhenti  telah semakin mengurangi kesempatan hidup bayi-bayi, tersebab balas dendam dilakukan oleh siapa pun yang lolos dari pembataian “.
“ Wabah itu tidak pernah menjadikan manusia menunda pertentangan mereka untuk menghadapi musuh bersama”, kata Komandan lagi, “ selamatkanlah yang masih bisa diselamatkan, karena kepunahan telah menjadi kepastian…”
Sampai disini, saya berpikir, apakah SGA ini mau berbicara tentang wabah Covid 19 yang sedang melanda dunia dan khususnya di Indonesia. Maka saya lanjutkan membaca dan ternyata kalimat kearah itu saya temukan.
“ Tercatat dalam Mahadata Semesta betapa setelah pengalaman Covid-19 pada 2020 diabaikan secara berturut-turut Covid-20 sampai Covid-44 dengan caranya masing-masing mengurangi penduduk Bumi yang tidak memiliki lagi daya pertahanan alamiah, ketika dari saat ke saat tanah dan air masih terus mereka rusak sendiri secara berkelanjutan. Apalah yang masih bisa diharapkan dari Bumi yang samudranya kering, sungainya berhenti, menyisakan selokan mampat dengan air kehitam-hitaman?”.
Disini saya menangkap yang dimaksud oleh SGA, bahwa penanganan wabah Covid-19, baik di seluruh dunia ataupun penanganan yang di Indonesia belum menunjukkan hasil seperti yang diharapkan masyarakat. Bahkan cenderung penanganannya dilengkapi serta direcoki dengan permainan politik yang hanya mengedepankan rasa ingin mendapatkan kekuasaan belaka.
Kita lihat di negara kita sendiri, yang jelas-jelas antara aparat, tokoh masyrakat  dan masyarakat harusnya bersama-sama menghadapi pandemi dengan rasa persatuan dan kesatuan, tetapi kenyataan malah ada yang memanfaatkan untuk panggung politik dan bermaksud menjatuhkan serta mengarah perebutan kekuasaan. Di samping itu tampak juga koordinasi antar pejabat juga amburadul, menampakkan ego sektoral dan ada juga yang ego pribadi.
Pengendalian informasi yang seharusnya menenteramkan masyarakat, malah kadang sebaliknya, membuat masyarakat bingung. Beberapa orang merasa dirinya hebat, membuat ramuan-ramuan yang katanya bisa untuk membunuh covid-19, tetapi tidak ada bukti hasil uji labolatorium.
Lalu apa harapan SGA lewat cerpennya?. Tampaknya rasa optimis masih ada. Terbukti dengan kalimat yang ditulisnya “ Kusambar  tali yang turun dari langit, langsung kugulungkan kekain kumal pembungkus bayi itu, dan mematikan simpulnya sehingga terjamin tidak lepas lagi “. Disambung lagi dengan “…... Belati yang menuju ke rah tali berhasil kusampok jatuh dengan pedang katana, pada saat itu belati melengkung yang lain melesak ke dadaku”.
“ Tubuhku langsung limbung, dan aku jatuh terlentang. Kusaksikan buntalan kumal pada tali itu mengangkasa dalam latar langit yang masih saja menurunkan hujan abu. Masih kudengar tangis bayi itu ketika mataku menutup untuk selama-lamanya”
Lalu siapa “aku”. Mungkin para dokter, perawat dan siapa saja yang berusaha dengan sekuat tenaga dan pikiran guna mencegah menyebar dan menularnya covid-19 di masyarakat. Tapi dia yang menjadi korban dan meninggal. (Budi Sampurno,Mak’skom,IPJT,12.7.2020)


.