Minggu, 07 Juli 2024

 

SDT.SASTRA.35

BUDI SAMPURNO.Juli.1


CINTA YANG TERLEPAS DARI MAUT

 


Cerpen MASHDAR ZAINAL yang berjudul  “APA YANG LEBIH KUAT DARI MAUT?”, di-muat Harian JAWA POS, Sabtu tgl. 17 Februari 2024. MASDHAR ZAINAL kelahiran Madiun, sekarang tinggal di Malang, mengisahkan sepasang kekasih yang di rasuk cinta buta.

Tokoh yang dihadirkan adalah sepasang pemuda dan gadis yang sedang di-mabuk cinta namun tidak direstui oleh ke-dua orang tuanya. Terutama pihak sang gadis. Untuk mewujudkan cintanya benar-benar mendalam dan tidak bisa dipisahkan, maka mereka berdua bersepakat untuk memberi pelajaran kepada mereka yang tidak tahu atau tidak mau tahu artinya cinta. Sepasang kekasih itu bersepakat untuk berdua bersama-sama menghadapi maut, dengan menentang lajunya kereta-api. Duduklah mereka berdua di-pinggir rel kereta api. Namun sebenarnya, di-diri hati sang gadis tampak keraguan untuk menghadapi maut, meskipun menghadapi maut bersama dengan kekasihnya.

Sejak kereta pertama melintas, kau sudah menggengam tanganku erat-erat ( seakan berusaha menariknya)  dan bertanya “ Bagaimana?. Kau sudah siap?”

Dan aku masih menggeleng dengan isakan yang sentimental. Kau meraih kepalaku ke-dalam pelukanmu sembari berkata “ Tidak apa-apa. Kita akan menunggu kereta selanjutnya, sampai kau siap.

Aku ingin bilang padamu, bahwa sebenarnya aku tak pernah siap”

Tingkah laku mereka itu menjadi perhatian orang-orang yang ada di-warung dan mereka  berkomentar.

“ Pacaran kok di pinggir rel, sebenarnya mereka itu mau pacaran atau mau mati?”

Dari jauh sudah kedengaran kereta api berikutnya segera akan melintas. Kembali sejoli itu bercakap.

“ Kau siap?”, tanyamu lagi.”Kalau kau siap kita bisa melakukannya. Percayalah, ini tidak akan sakit. Bukankah rasa sakit yang paling sakit sudah kita telan bersama. Ayolah, kita sudah membuat kesepakatan bersama. Kita akan memberi pelajaran berharga kepada mereka”.

Kereta api berikutnya lewat, gadis itu tetap bersikap tidak siap. Sampai kereta api yang ke limapun tetap belum siap.

Baiklah, mungkin kereta selanjutnya,”, katamu. “ Kereta selanjutnya adalah kereta super cepat yang biasanya melaju lebih kencang dari lain. Seperti cahaya. Mungkin kereta berikutnya adalah kereta terbaik. Jadi kau harus siap” ungkapmu lagi.

Gadis itu tidak menjawab, bahkan berpikir :

Aku tak tahu mengapa tubuhku semakin gemetar. Seperti tubuhmu juga. Tapi aku gentar. Tak sepertimu yang begitu yakin pada kebahagiaan di dunia lain. Entahlah, pikiranku tidak di situ. Detik ini aku malah membayangkan, kedua orang tua kita sedang kelimpungan mencari kita yang hilang sejak subuh hari. Tanpa salam pamit. Memang untuk mati, seseorang tak perlu pamit pada siapapun”.

 “Sebenarnya aku pernah berpendapat, kalaupun kita harus mati bersamaan, kita bisa memilih cara yang lebih santun, seperti minum racun serangga, misalnya. Namun kau berkilah, setelah orang tua kita mendapati mulut kita berbusa-busa mereka akan segera melarikan ke rumah sakit dan kita akan lebih celaka karena kita selamat”.

Tanda-tanda kereta ke-enam yang dikatakan super cepat segera lewat. Dari kejauhan, dengung deru suara mesin sudah terdengar, lampu mata kepala kereta api berkelip-kelip. Pemuda itu segera menggandeng sang gadis serta menyeretnya menuju ke-tengah rel. Namun hati sang gadis semakin tidak siap menghadapi kematian dengan meleburkan tubuh yang berserakan. Namun pemuda itu tetap menyeret dengan kuat. Perlakuan dua insan ini langsung menarik perhatian orang-orang di- warung.

“ Orang-orang dari dalam warung berhamburan keluar. Mereka mengatai kita gila sambil berteriak tak karuan. Sebagian menjerit-jerit”.

Kereta semakin dekat, tinggal beberapa puluh meter lagi. Tiba-tiba sang gadis berteriak.

“ Aku tidak siap!. Aku tidak siap ! Aku tidak pernah siap!. Cinta tak pernah lebih kuat dari mati”, jeritku terlepas untuk kali pertama. Seketika kau menghentikan langkahmu dan menatapku nanar”.

Entah datangnya dari mana saja, tahu-tahu sudah banyak orang yang mengerubungi serta memaki-maki, mengumpati rencana gila sejoli itu.

“ Telingaku seperti berdengung. Sejurus kemudian, kau melepaskan genggaman tanganmu dengan kasar seperti mencampakkan sesuatu-dan pergi menyibak kerumunan dengan mata memerah. Kau meninggalkanku”.

MASHDAR ZAINAL  pinter dalam menggiring imajinasi pembaca. Saya mengalir saja membacanya. Dan tidak bisa menduga di-akhir cerpen ini bagaimana, meskipun sudah di-tuntun dengan tanda-tanda bahwa, si gadis tidak menyukai cara pengakhiran cintanya dengan bersama menabrakkan tubuh mereka di-depan kereta api yang sedang melaju.( BUDI SAMPURNO.Mak’skom.IPJT.7.7.2024)