SDT.SASTRA.35
BUDI
SAMPURNO.Juli.1
CINTA
YANG TERLEPAS DARI MAUT
Cerpen MASHDAR ZAINAL yang berjudul “APA YANG LEBIH KUAT DARI MAUT?”, di-muat Harian JAWA POS, Sabtu tgl. 17 Februari 2024. MASDHAR ZAINAL kelahiran Madiun, sekarang tinggal di Malang, mengisahkan sepasang kekasih yang di rasuk cinta buta.
Tokoh
yang dihadirkan adalah sepasang pemuda dan gadis yang sedang di-mabuk cinta namun
tidak direstui oleh ke-dua orang tuanya. Terutama pihak sang gadis. Untuk mewujudkan
cintanya benar-benar mendalam dan tidak bisa dipisahkan, maka mereka berdua
bersepakat untuk memberi pelajaran kepada mereka yang tidak tahu atau tidak mau
tahu artinya cinta. Sepasang kekasih itu bersepakat untuk berdua bersama-sama
menghadapi maut, dengan menentang lajunya kereta-api. Duduklah mereka berdua di-pinggir
rel kereta api. Namun sebenarnya, di-diri hati sang gadis tampak keraguan untuk
menghadapi maut, meskipun menghadapi maut bersama dengan kekasihnya.
“
Sejak kereta pertama melintas, kau sudah menggengam tanganku erat-erat (
seakan berusaha menariknya) dan bertanya
“ Bagaimana?. Kau sudah siap?”
Dan
aku masih menggeleng dengan isakan yang sentimental. Kau meraih kepalaku ke-dalam
pelukanmu sembari berkata “ Tidak apa-apa. Kita akan menunggu kereta
selanjutnya, sampai kau siap.
Aku
ingin bilang padamu, bahwa sebenarnya aku tak pernah siap”
Tingkah
laku mereka itu menjadi perhatian orang-orang yang ada di-warung dan
mereka berkomentar.
“
Pacaran kok di pinggir rel, sebenarnya mereka itu mau pacaran atau mau mati?”
Dari
jauh sudah kedengaran kereta api berikutnya segera akan melintas. Kembali
sejoli itu bercakap.
“
Kau siap?”, tanyamu lagi.”Kalau kau siap kita bisa melakukannya. Percayalah,
ini tidak akan sakit. Bukankah rasa sakit yang paling sakit sudah kita telan
bersama. Ayolah, kita sudah membuat kesepakatan bersama. Kita akan memberi
pelajaran berharga kepada mereka”.
Kereta
api berikutnya lewat, gadis itu tetap bersikap tidak siap. Sampai kereta api yang
ke limapun tetap belum siap.
“
Baiklah, mungkin kereta selanjutnya,”, katamu. “ Kereta selanjutnya adalah
kereta super cepat yang biasanya melaju lebih kencang dari lain. Seperti
cahaya. Mungkin kereta berikutnya adalah kereta terbaik. Jadi kau harus siap” ungkapmu
lagi.
Gadis
itu tidak menjawab, bahkan berpikir :
“
Aku tak tahu mengapa tubuhku semakin gemetar. Seperti tubuhmu juga. Tapi aku
gentar. Tak sepertimu yang begitu yakin pada kebahagiaan di dunia lain.
Entahlah, pikiranku tidak di situ. Detik ini aku malah membayangkan, kedua
orang tua kita sedang kelimpungan mencari kita yang hilang sejak subuh hari.
Tanpa salam pamit. Memang untuk mati, seseorang tak perlu pamit pada siapapun”.
“Sebenarnya aku pernah berpendapat, kalaupun kita
harus mati bersamaan, kita bisa memilih cara yang lebih santun, seperti minum
racun serangga, misalnya. Namun kau berkilah, setelah orang tua kita mendapati
mulut kita berbusa-busa mereka akan segera melarikan ke rumah sakit dan kita
akan lebih celaka karena kita selamat”.
Tanda-tanda
kereta ke-enam yang dikatakan super cepat segera lewat. Dari kejauhan, dengung
deru suara mesin sudah terdengar, lampu mata kepala kereta api berkelip-kelip. Pemuda
itu segera menggandeng sang gadis serta menyeretnya menuju ke-tengah rel. Namun
hati sang gadis semakin tidak siap menghadapi kematian dengan meleburkan tubuh
yang berserakan. Namun pemuda itu tetap menyeret dengan kuat. Perlakuan dua
insan ini langsung menarik perhatian orang-orang di- warung.
“
Orang-orang dari dalam warung berhamburan keluar. Mereka mengatai kita gila
sambil berteriak tak karuan. Sebagian menjerit-jerit”.
Kereta
semakin dekat, tinggal beberapa puluh meter lagi. Tiba-tiba sang gadis berteriak.
“
Aku tidak siap!. Aku tidak siap ! Aku tidak pernah siap!. Cinta tak pernah
lebih kuat dari mati”, jeritku terlepas untuk kali pertama. Seketika kau
menghentikan langkahmu dan menatapku nanar”.
Entah
datangnya dari mana saja, tahu-tahu sudah banyak orang yang mengerubungi serta
memaki-maki, mengumpati rencana gila sejoli itu.
“
Telingaku seperti berdengung. Sejurus kemudian, kau melepaskan genggaman
tanganmu dengan kasar seperti mencampakkan sesuatu-dan pergi menyibak kerumunan
dengan mata memerah. Kau meninggalkanku”.
MASHDAR
ZAINAL pinter dalam menggiring imajinasi
pembaca. Saya mengalir saja membacanya. Dan tidak bisa menduga di-akhir cerpen
ini bagaimana, meskipun sudah di-tuntun dengan tanda-tanda bahwa, si gadis
tidak menyukai cara pengakhiran cintanya dengan bersama menabrakkan tubuh
mereka di-depan kereta api yang sedang melaju.( BUDI SAMPURNO.Mak’skom.IPJT.7.7.2024)