SUDUT SASTRA 4
MINGGU PERPISAHAN DI JAWA POS DAN DI KOMPAS
Menarik kita cermati cerpen di Harian Jawa Pos dan
Harian Kompas dalam terbitan yang sama. Yaitu Minggu tgl 21 Juli 2019. Kedua
harian itu memuat cerpen yang mengandung makna “perpisahan”. Betapa tidak, Jawa
Pos memuat cerpen berjudul “ MELEPASKAN GARA” dan cerpen yang di muat di Kompas
berjudul “ MITONI TERAKHIR “.
Di Jawa Pos diceriterakan perpisahan keluarga,
terutama sang ayah yang melepaskan anaknya bernama Gara. Lengkapnya bernama
Kynan Garawiksa, untuk dititipkan di pondok pesantren. Kata- kata yang meluncur
dari sang ayah ( yang dulu juga pernah dititipkan di pondok Tebu Ireng ),
sambil mengelus-elus kepala Gara yang berpeci hitam serta membacakan salawat
beberapa kali : “ Le, kerasan ya di sini, baik-baik sama teman-teman, ikuti
semua aturan dan perintah guru-guru, ya…” Sang ayah menatap sekujur wajah Gara
dan seakan hatinya melepas jangkar dimata Gara yang jernih.
Sang ayah selalu terngiang kebiasaan Gara kalau sang
ayah pulang malam
“ Kok kamu belum tidur, Le?
“ Aku nggak bisa tidur “
“ Kenapa ?”
“ Nunggu Ayah…”
“ Mau dibuatkan migoreng ?”
“ Mau…”
Setelah mi
tandas di makan Gara, keduanya
bergandengan tangan masuk kamar tidur.
Gara ada di
pesantren dan sang ayah berharap kelak juga selalu dibacakan Fatihah oleh
Gara.
Di Kompas diceritakan
seorang ibu yang memiliki tujuh anak perempuan yang semuanya sudah nikah.
Ketika hamil pada usia tujuh bulan selalu diadakan upacara mitoni. Terkecuali
anak bungsunya yang tidak mau melakukan upacara adat mitoni.
Keluh kesahnya sang ibu
“ Namun, sayang, Setyaningsih, anak bungsuku, agak berbeda. Ketika hamil pada
akhirnya, ia menolak melakukan hajatan mitoni. Katanya, adat itu sudah terlalu
kuno- tak lagi mencerminkan lingkungan sosial dan pendidikannya
Katanya, bangsa Barat,
Amerika, tempatnya bersekolah, tak ada tradisi mitoni. Ia memang berniat
melakukan hajatan, tetapi dengan cara berbeda. Cara yang lebih praktis. Ia
sebut hajatan itu dalam bahasa Inggris, babyshower.
Sang ibu juga hampir
ragu terhadap anaknya “ Begitu cantiknya dirinya dengan semua perubahan itu, sampai
aku tak yakin ia anakku, Setyaningsih. Semua agak berubah, dari alisnya, bentuk
bibirnya dan hidungnya yang menjadi mancung. Hampir semuanya tak lagi milikku,
atau suamiku.”
Sang ibu memang menjadi
sadar, bahwa dunia ini memang mudah berubah. Semua akan selalu berubah. Tak ada
kepastian, selain kematian. Setyaningsih juga telah berubah, tak lagi seperti
anak-anak yang dulu selalu di rawat dan diberikan pendidikan, agar nantinya
tumbuh menjadi perempuan Jawa yang ikut merawat miliknya sendiri, dengan percaya
diri.
Penulis juga
berceritera, bahwa ibu itu hanya ingin Setyaningsih itu sebagai orang Jawa. Menjalani
tradisi yang sudah menjadi baju masyarakatnya sejak dulu itu saja. Ibu itu
ingin merasakan bagaimana indahnya memberikan berkat pada anak cucunya. Memberkati
bersama para kerabat, tetangga dan anak-anak yang lucu dan bandel dalam acara
mitoni.
Tampaknya ibu itu
memang sudah harus benar benar berpisah dengan acara mitoni. Karena ketika kita
ikuti dialog antara si ibu dengan Setyaningsih
“ Teman-teman sudah
seperti itu, Bu “
“ Apa bedanya nduk ?”
“ Repot, Bu, hajatan
seperti mitoni itu, ribet dan tak rasional”.
Kekecewaan ibu itu juga
digambarkan, bahwa suami Setyaningsih seorang pengusaha sukses, sering hidup di
luar negeri dan sudah mulai susah melafalkan bahasa-bahsa lokal hanya menurut
saja apa yang dikatakan Setyaningsih, istrinya. Katanya, Ibu tak usah
repot-repot bikin mitoni. Biar kami sendiri yang menangani.
Tampaknya ibu itu
pasrah, harus berpisah dengan acara yang baginya sudah menjadi adat bagi keluarganya serta
menjadi baju masyarakatnya, masyarakat Jawa. Yang dahulunya ke-enam anaknya
selalu secara sadar mengadakan acara mitoni.
Cerpen “MELEPASKAN GARA”
ditulis oleh EDI AH IYUBENU, seorang cerpenis dan esais, tinggal di Yogyakarta
dan cerpen “MITONI TERAKHIR” ditulis oleh WAHYU FRIANDANA , juga tinggal di Yogyakarta,
mahasiswa ISI . (Budi Sampurno.Mak’skom.IPJT.23.7.19 )