Selasa, 23 Juli 2019


SUDUT SASTRA 4
MINGGU PERPISAHAN DI JAWA POS DAN DI KOMPAS
Menarik kita cermati cerpen di Harian Jawa Pos dan Harian Kompas dalam terbitan yang sama. Yaitu Minggu tgl 21 Juli 2019. Kedua harian itu memuat cerpen yang mengandung makna “perpisahan”. Betapa tidak, Jawa Pos memuat cerpen berjudul “ MELEPASKAN GARA” dan cerpen yang di muat di Kompas berjudul “ MITONI TERAKHIR “.
Di Jawa Pos diceriterakan perpisahan keluarga, terutama sang ayah yang melepaskan anaknya bernama Gara. Lengkapnya bernama Kynan Garawiksa, untuk dititipkan di pondok pesantren. Kata- kata yang meluncur dari sang ayah ( yang dulu juga pernah dititipkan di pondok Tebu Ireng ), sambil mengelus-elus kepala Gara yang berpeci hitam serta membacakan salawat beberapa kali : “ Le, kerasan ya di sini, baik-baik sama teman-teman, ikuti semua aturan dan perintah guru-guru, ya…” Sang ayah menatap sekujur wajah Gara dan seakan hatinya melepas jangkar dimata Gara yang jernih.
Sang ayah selalu terngiang kebiasaan Gara kalau sang ayah pulang malam
“ Kok kamu belum tidur, Le?
“ Aku nggak bisa tidur “
“ Kenapa ?”
“ Nunggu Ayah…”
“ Mau dibuatkan migoreng ?”
“ Mau…”
Setelah mi tandas di makan  Gara, keduanya bergandengan tangan masuk kamar tidur.
Gara ada di pesantren dan sang ayah berharap kelak juga selalu dibacakan Fatihah oleh
Gara.

Di Kompas diceritakan seorang ibu yang memiliki tujuh anak perempuan yang semuanya sudah nikah. Ketika hamil pada usia tujuh bulan selalu diadakan upacara mitoni. Terkecuali anak bungsunya yang tidak mau melakukan upacara adat mitoni.
Keluh kesahnya sang ibu “ Namun, sayang, Setyaningsih, anak bungsuku, agak berbeda. Ketika hamil pada akhirnya, ia menolak melakukan hajatan mitoni. Katanya, adat itu sudah terlalu kuno- tak lagi mencerminkan lingkungan sosial dan pendidikannya
Katanya, bangsa Barat, Amerika, tempatnya bersekolah, tak ada tradisi mitoni. Ia memang berniat melakukan hajatan, tetapi dengan cara berbeda. Cara yang lebih praktis. Ia sebut hajatan itu dalam bahasa Inggris, babyshower.
Sang ibu juga hampir ragu terhadap anaknya “ Begitu cantiknya dirinya dengan semua perubahan itu, sampai aku tak yakin ia anakku, Setyaningsih. Semua agak berubah, dari alisnya, bentuk bibirnya dan hidungnya yang menjadi mancung. Hampir semuanya tak lagi milikku, atau suamiku.”
Sang ibu memang menjadi sadar, bahwa dunia ini memang mudah berubah. Semua akan selalu berubah. Tak ada kepastian, selain kematian. Setyaningsih juga telah berubah, tak lagi seperti anak-anak yang dulu selalu di rawat dan diberikan pendidikan, agar nantinya tumbuh menjadi perempuan Jawa yang ikut merawat miliknya sendiri, dengan percaya diri.
Penulis juga berceritera, bahwa ibu itu hanya ingin Setyaningsih itu sebagai orang Jawa. Menjalani tradisi yang sudah menjadi baju masyarakatnya sejak dulu itu saja. Ibu itu ingin merasakan bagaimana indahnya memberikan berkat pada anak cucunya. Memberkati bersama para kerabat, tetangga dan anak-anak yang lucu dan bandel dalam acara mitoni.
Tampaknya ibu itu memang sudah harus benar benar berpisah dengan acara mitoni. Karena ketika kita ikuti dialog antara si ibu dengan Setyaningsih
“ Teman-teman sudah seperti itu, Bu “
“ Apa bedanya nduk ?”
“ Repot, Bu, hajatan seperti mitoni itu, ribet dan tak rasional”.

Kekecewaan ibu itu juga digambarkan, bahwa suami Setyaningsih seorang pengusaha sukses, sering hidup di luar negeri dan sudah mulai susah melafalkan bahasa-bahsa lokal hanya menurut saja apa yang dikatakan Setyaningsih, istrinya. Katanya, Ibu tak usah repot-repot bikin mitoni. Biar kami sendiri yang menangani.

Tampaknya ibu itu pasrah, harus berpisah dengan acara yang baginya  sudah menjadi adat bagi keluarganya serta menjadi baju masyarakatnya, masyarakat Jawa. Yang dahulunya ke-enam anaknya selalu secara sadar mengadakan acara mitoni.

Cerpen “MELEPASKAN GARA” ditulis oleh EDI AH IYUBENU, seorang cerpenis dan esais, tinggal di Yogyakarta dan cerpen “MITONI TERAKHIR” ditulis oleh WAHYU FRIANDANA , juga tinggal di Yogyakarta, mahasiswa ISI . (Budi Sampurno.Mak’skom.IPJT.23.7.19 )
 

Senin, 22 Juli 2019


SUDUT KOMENTAR 1.
Harian JAWA POS hari Senin tgl 22 Juli 2019 pada halaman 4 memuat tulisan Sdr.BAGONG SUYANTO berjudul “ FONDASI MEWUJUDKAN VISI JAKOWI-MA’RUF “
Memang menarik masalah yang dibicarakan, karena menyangkut kelanggengan dan kemajuan serta persatuan dan kesatuan Negara dan Bangsa yang sama sama kita cintai.
Inti pembicaraan adalah masalah inteleransi yang saat sekarang ini dan sebenarnya sudah lama menggelayut, mengganggu kehidupan Bangsa Indonesia.
Diakhir pembicaraannya yang bersifat menganalisa  dengan menyebut beberapa contoh ditulislah kalimat sbb :
“ Untuk mencegah agar sikap intoleransi tidak makin luas,  tidak ada salahnya jika dalam skala yang bisa ditoleransi, perbedaan yang ada dibicarakan, diperdebatkan, dan bahkan dipertengkarkan demi kemudian melewati masa antiklimaks untuk merajut keserasian sosial “.
Harapan sdr BAGONG , seperti dalam penutup tulisannya : “ Semoga lima tahun ke depan, di era Jakowi-Ma’ruf, bangsa Indonesia makin dewasa dalam menyikapi perbedaan “

Saya sangat setuju dengan harapan sdr BAGONG, dan tentunya sebagian besar bangsa Indonesia yang masih menginginkan kerukunan dan persatuan serta kesatuan demi kemajuan bangsa Indonesia yang dalam kehidupannya secara sadar dan ikhlas bermuara dan berdasarkan Pancasila.
Sebenarnya intelerasi sejak bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya sudah terjadi tindakan- tindakan intoleransi. Motivnya adalah induvidu yang ingin berkuasa dan memperdayakan masyarakat untuk mencapai keinginan pribadinya. Mereka bentuk ormas-ormas, mereka bentuk partai- partai . Ada yang jelas-jelas menyimpang dan ingin  mengganti Pancasila. Tentunya masih ada yang ingat pemberontakan kaum komunis, pemberontakan Permesta, gerakan-gerakan di Irian Jaya yang ingin memisahkan dari Indonesia dan lain –lain yang intinya bertindak intolerasi demi mencapai tujuan pribadi dari sang pemimpinnya dengan memperdayakan masyarakat awam. Untungnya Bung Karno bertindak cepat dan tegas sehingga persatuan dan kesatuan Negara dan Bangsa Indonesia tetap terjaga.
Tampaknya kelompok-kelompok tertentu tetap berusaha menebar intoleransi dengan memperdayaksn Bung Karno . maka timbulah G.30 S PKI dan menyusullah era Orde Baru.
Di awal Era Orde Baru intoleransi agak mereda, namun karena kepentingan-kepentingan dan ambisi pribadi terutama yang sudah mapan dan ingin mempertahankan kemapanannya, maka kembalilah intolerasi merebak dimana mana. Maka terbitlah Era Reformasi. Tetapi reformasi yang tujuannya mulia, justru intoleransi semakin merebak dan menjadi-jadi seperti yang dikupas oleh Sdr. BAGONG. Politik mempermainkan intoleransi, agama mempermainkan intoleransi yang dikendalikan oleh ambisi pribadi-pribadi yang ingin berkuasa. Partai Politik tumbuh tak terbendung dengan dalih sistem demokrasi. Lalu munculnya partai-partai yang sekarang sebegitu banyak untuk apa ?. Argumennya untuk ikut memperjuangkan Bangsa Indonesia kearah yang lebih maju. Namun prateknya adalah justru menimbulkan inteleransi yang semakin tajam. Kita perhatikan diwaktu waktu Pilkada dan Pilpres. Belum lagi yang dilakukan oleh ormas-ormas lainnya. Kebebasan berpendapat selalu dikumandangkan. Namun hasilnya justru menghambat pembangunan dan kemajuan Negara dan Bangsa Indonesia.
Lalu solusi yang ditawarkan sdr. BAGONG memang benar, yaitu perlunya wadah wadah yang bisa dipakai untuk saling berdebat, saling berargumentasi agar perbedaan pendapat, dapat dimengerti dan diredam di dalam masyarakat.
Saya rasa saluran itu sudah banyak keberadaannya. Misalnya, acara-acara di media televisi, seminar-seminar nasional dll. Namun ? Hasilnya bagaimana.
Saya rasa, Pancasila, UUD’45 serta UU yang telah ada perlu disosialisasikan ke para pejabat Negara dan masyarakat . Serta diberlakukan secara tegas. Termasuk penindakan tegas terhadap kaum koruptor dan bandar narkoba. Karena dua masalah itu sangat mengganggu moral kita semua. Akibatnya keseimbangan sosial terkoyak dan menimbulkan intoleransi sesuai dengan kepentingan kelompok yang juga di picu dengan ambisi pribadi-pribadi untuk menjadi penguasa.(Budi Sampurno, Mak’skom,IPJT.22.7.19)