Kamis, 27 Oktober 2022

 

 

SDT.SASTRA.25

BUDI SAMPURNO.OKT.2

RAHASIA WINA DAN KUBURAN MARMER.

     Kali ini harian JAWA POS memuat cerpen ringan dengan latar belakang dunia anak-anak yang sangat kometmen dengan penumpahan rasa kasih sayang seorang anak kepada ibunya. Cerpen ini adalah karya HASAN ASPAHANI dan di muat pada hari Sabtu, tgl. 22 Oktober 2022. Penulis kelahiran th. 1971 di Sei Raden, Kecamatan Samboja, Kutai Kartanegara. Sekarang menetap di Jakarta, berkhidmat di Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta. Novelnya yang sudah terbit “Ya.Aku lari”, “Laut Semua Suara” dan “Persimpangan”.

Membaca cerpen ini karena judulnya RAHASIA WINA DAN KUBURAN MARMER, saya menduga ada arah ke mistis. Karena judulnya di beri kata KUBURAN MARMER. Apalagi di beri ilustrasi gambar masjid tua oleh BUDIONO. Tetapi setelah membaca semua sampai tuntas, dugaan itu ternyata sangat jauh dari kebenaran.

Cerpen ini ternyata berkisah tentang anak-anak sekolah yang berjualan disekolahnya. Wina dan “Aku”. Dan di buka dengan : Jangan cari masalah dengan Wina. Jangan bikin gara-gara dengan dia. Dia anak perempuan yang manis dan pintar, tetapi perangainya keras. Makanya, jangan cari masalah dan bikin gara-gara dengan dia. Nanti kau akan seperti Zainul yang di cakar Wina wajahnya, membekaskan luka memanjang di pipinya. Saya kira Zainul memang keterlaluan. Kawan sekelas kami itu sebenarnya lebih tua dua atau tiga tahun di atas kami. Dia lekas akil baliq. Kami masih kanak-kanak, dia sudah remaja. Pikirannya mulai lain kepada teman-teman perempuan. Mulai gatal tanduk. Zainul  suka sama Wina.

Zainul mendekati Wina dengan membeli dagangan Wina. Sebagai pedagang dia bisa baik pada siapa saja. Wina berdagang bermacam-macam di sekolah Arab. Sekolah khusus belajar agama sore hari. Sekolah kami itu ada di seberang masjid jamik, persis di depan kuburan. Kalau kami buka jendela kelas, terhampar kuburan datu-datu kami, lalu nun di- ujung sana rumah nelayan dengan tiang -tiang tinggi di pantai, lalu pohon bakau, lalu laut.

     Pembuka cerpen itu tergambarlah Wina anak yang baik, tetapi bisa berubah menjadi sangar dan melukai membekas memanjang pipi Zainul. Diceritakan, bahwa ketika sore hari habis main voli,  Zainul beli minuman sirup manis. Bentuk plastiknya yang memanjang

Itu membuat imajinasi Zainul jadi liar. Saya kira dia bercanda Ketika memperagakan gerakan tak senonoh dengan sirup itu dihadapan Wina. Wina murka. Ia terjang Zainul. Ia cakar wajahnya. Tiga garis luka berjajar panjang mengalirkan darah di wajah Zainul. Karena dia tahu salah, Zainul tak melawan.

Sejak saat itu, terkenal peringatan jangan macam-macan sama Wina.

“Aku” dan Wina sama-sama berdagang di sekolahan dan sering barter beli dagangan. Perdagangan barter kami berjalan lancar. Sampai suatu hari Wina menawarkan  satu skema yang penuh rahasia. Dia mengajak aku bicara berdua di belakang sekolah, di pendapa kuburan.

“ Begini, kita tetap barter tiap hari. Kamu ambil satu jualanku, aku ambil satu jualanmu,  kata Wina.

“ Kan biasanya juga begitu!?”

“ Nah ini yang beda. Aku tak ambil jatahku itu. Kamu jualkan saja. Simpan uangnya…Paham ya ?”

“ Paham”, kataku. “Tapi kenapa aku harus simpan uangnya ? Kan bisa titip ke Ani, sepupumu, atau sama kakakmu?”

“Ani tak bisa simpan rahasia. Di rumah?. Justru aku tak mau ada saudaraku yang tahu. Ini sementara. Sampai jumlah tertentu. Terus kamu simpankan. Pada waktunya aku perlu. Aku ambil….”kata Wina

“ Uang ini buat apa ?”

“ Sudah , tolong simpan saja. Nanti kamu juga tahu…”

Sebenarnya “aku” agak ragu, karena untuk menyimpan uang itu di rumah, bukan hal yang gampang, karena terikat janji, orang lain tidak boleh tahu. Untung  "aku" punya akal, uang Wina dikumpulkan di saputangan. Dan ketika di tanya sama Wina, dijawabnya bahwa uangnya aman.

Namun di luar perhitungan, terjadi keteledoran dan uang simpanan Wina itu di temu sama mamaknya. Ketika pulang sore hari, langsung diinterograsi sama mamanya. Sang Aku gelagapan. Sang mamak benar-benar marah. Inilah interogasinya:

“ San, ini uang apa? Kamu curi uang mama ya”.

“ Bukan, Ma. Itu uang….”. Aku tak bisa melanjutkan penjelasanku.

“ Uang apa?. Kamu jangan mencuri uang mama ya. Mentang-mentang mamamu ini tak bisa menulis dan membaca”, kata mamaku. Matanya berair, terdesak perasaan marah, kesal, dan sakit hati karena merasa diakali anaknya.

“ Bukan Ma, Itu uang Wina…”

“ Uang Wina?. Uang apa?. Kamu bawa-bawa  nama temanmu lagi….”

Mama marah besar. Percuma saya jelaskan, dia tak akan percaya. Satu-satunya cara hanya minta Wina yang bicara langsung.  

"Aku" pun kaget, karena itu mengkhianati perjanjiannya dengan Wina. Kan janjinya tidak akan ngomong kepada siapapun. Bayangan Wina ngamuk dan mencakar wajah seperti kejadian Zainul, menyeruak di kepala.

“ Mama tunggu. Aku panggil Wina….”, kataku.

"Aku" nekad masuk rumah Wina. Wina kaget.

“ Aduh, ngapain kamu ke sini?”, katanya sewot, matanya membesar marah. Seram.

Setelah dijelaskan persoalan dengan mama, Wina mau datang ke rumah.

Membaca cerpen HASAN ASPAHANI, ternyata dia membangun dua konflik. Konflik sang Aku dengan Wina dan konflik sang Aku dengan mamanya.

HASAN ASPAHANI menyelesaikan dua konflik ini dengan manis.

Setalah Wina datang dan ketemu mama dan bapak:

“ Mamamu orang baik banget. Aku belajar bikin dan masak nasi kuning yang enak sama dia”, kata mamaku

Dan inilah rahasia Wina dan uang yang ia titipkan padaku itu. Ia ingin membeli kuburan marmer untuk nisan kayu ulin di makam mamanya. Tapi setelah di hitung uang Wina belum cukup. Spontan uang "Aku" ditambahkan.

Bapakku lantas mengambil uang itu. Ia tahu itu masih kurang.

“ Bapakmu itu juga guruku, guru ngajiku”, kata bapakku

“ Rasanya sebagai murid belum pernah aku membalas jasanya. Bapakmu tidak tahu, Win?”

“ Tak apa-apa, nanti aku yang bicara sama bapakmu. Besok saya pasangkan. Kamu pilih aja yang mana. Tulis nama mamamu dan bintinya ya, nanti diukirkan di batunya”, kata bapakku.

Maniskan HASAN ASPAHANI menyelesaikan konfliknya. Tapi dalam hati saya berguman, kok seperti serba kebetulan ya ! .(BUDI SAMPURNO.Mak’skom.IPJT.27 Okt.2022)

 

 

Senin, 03 Oktober 2022

 

SDT.SASTRA.24

BUDI SAMPURNO.OKTB.1


BINAR YANG MEMUDAR DARI MATANYA.

Biasa saya baca dulu judul-judul berita di Harian KOMPAS terbitan hari Minggu, tanggal 2 Oktober 2022. Setelah saya anggap cukup, segera saya cari cerpen yang di muat. Saya temukan di hal.11. Saya baca ccpat dan tuntas. Ini cerpen yang bagus. Pesan moralnya kuat, tapi memang harus berpikir dahulu untuk bisa mencerna makna dari cerpen tsb.

Di tulis oleh sdr. RIZQI TURAMA, seorang dosen di Universitas Sriwijaya, kelahiran Palembang 4 April 1990 ( huuu..masih muda sekali…). Th 2016 ikut workshop cerpen di KOMPAS, serta memenangi lomba penulisan cerpen. Di lengkapi ilustrasi oleh Sdr. MADE SOMADITA.

Secara halus, sdr. RIZQI TURAMA membuka dengan rentetan kalimat-kalimat:

Dari tiga anak Ibu, akulah satu-satunya anak yang gagal. Kakak pertama sudah jadi manajer di sebuah perusahaan multinasional. Rumahnya besar dengan tiga mobil mewah berjajar di garasi. Kakakku yang kedua bekerja di tambang minyak. Ia pulang ke rumah sebulan sekali. Di saat itu ia hampir selalu membeli jam tangan baru, ponsel baru, atau barang-barang baru lainnya.

Aku sendiri bekerja di sebuah kantor pemerintah daerah yang di angkat sebagai pegawai negeri bukan karena lulus tes, melainkan karena masa pengabdian yang sudah terlalu lama. Meskipun begitu, Ibu selalu bilang, “ Jangan risau. Hal-hal yang begitu bukan masalah bagi Ibu?”.

Ibu yang kelihatannya bijak ini selalu membuat jadwal pertemuan dengan anak-anaknya. Pertemuan rutin keluarga itu selalu diadakan. Dan disinilah sang tokoh “aku” selalu merasakan rendah hati, minder bila dibandingkan dengan kesuksesan kakak-kakaknya. Di tiap pertemuan keluarga, “aku” merasakan perbedaan binar mata dan senyuman Ibu ketika menerima oleh-oleh dari anak-anaknya. Digambarkan dalam cerpen itu pada alinea berikutnya :

Mungkin cuma perasaanku saja, tapi aku melihat ekspresi Ibu tak sama ketika menerima bawaan-bawaanku. Senyumnya tak penuh, raut cerianya meremang, dan binar pada matanya memudar. Hal itu kecil memang, namun terasa benar membuat bisikan hantu kegagalan semakin memberat ditengkukku. Sepertinya hal tersebut disadari oleh Ibu yang sering menguatkan, “ Pemberian dari anak selalu membuat Ibu tua macam aku merasa terharu. Apapun pemberian itu”.

     Sampai di sini saya menduga cerita ini pastilah ceritera kesedihan seorang anak diantara saudara, karena mungkin pendidikannya kurang, nasibnya jelek, atau apalah…sehingga si “aku” menjadi anak yang terpinggirkan dari dua saudaranya. Bukan terpinggirkan oleh ke dua saudara kandungnya, tetapi juga oleh ibu kandungnya sendiri. Terpinggirkan karena ke dua saudaranya dalam jabatan kerjanya serta kemapanan materialnya sangat jauh unggul dari si “aku”. Namun perjalanan hidup seseorang tidaklah tergantung pada tingginya pendidikan, tetapi pasti ada “sesuatu” yang mengaturnya.

Waktu berjalan terus dan “aku” mendapat kepercayaan dari Kepala Kantor, di angkat menjadi Sekretaris Kantor. Digambarkan oleh RIZQI TURAMA yang dikaitkan dengan situasi dan kondisi keluarga Ibu:

     Entah karena bagusnya pekerjaan yang dilakukan atau atau karena memang tidak ada orang lain, aku di angkat menjadi sekretaris kantor. Sesuatu yang membanggakan. Aku langsung menceritakannya kepada Ibu pada saat pertemuan rutin. Senyum wanita itu mengembang mendengarnya. Hatiku bungah. Dibelainya kepalaku. ”Berarti sudah makin pandai kau cari uang?”,  Aku tertegun mendengar ucapan Ibu.

      Dalam pertemuan rutin keluarga, tiba-tiba, anak pertama  bertanya. Rupanya dia tahu siatuasi kota dan kantor tempat “aku” bekerja :

“Walikota masih yang lama?”, kakakku yang pertama tiba-tiba buka suara.

Aku jawab dengan anggukan kepala.

“Susah kalau masih dia. Semua orang juga tahu dia tertarik cuma pada olahraga. Dinas Tata Kota nggak akan di lirik. Kau baru bisa berharap kalau Walikota sudah ganti”.

Sepertinya yang dipertanyakan dan dinyatakan kakaknya itu benar:

Selang beberapa waktu, Kepala Kantor kami tiba-tiba di ganti dengan orang baru. Dalam waktu satu tahun ia sudah bisa membali mobil baru. Di tahun berikutnya ia mengajak keluarganya liburan keluar negeri. Sementara sebagai sekretarisnya aku tetap begini-begini saja.

Lalu di tahun ke tiga si Kepala Kantor pergi berangkat umroh sekeluarga dan “aku” ditunjuk sebagai PLT atau Pelaksana Tugas Harian. Sebelum berangkat si Kepala Kantor berujar pelan “ Kerjamu selama ini bagus, tapi jangan berpikir macam-macam selama aku pergi “.

Sdr. RIZQI TUMARA melanjutkan, bahwa seminggu setelah kepergian umroh, turun instruksi dadakan dari Walikota untuk melakukan pengadaan barang terkait perbaikan total terhadap taman kota yang ada di daerah Selatan. Instruksi itu bersifat segera dan urgen. Maka “aku” harus berperan sepenuhnya karena sebagai Pelaksana Tugas.

Sebagai Pelaksana Tugas, ujian langsung datang, Ketika pengumuman pengadaan barang resmi diumumkan dan hanya dalam hitungan jam, seorang datang lalu duduk di kursi di hadapan “aku”. Wajahnya ramah meskipun senyumnya terlihat dipaksakan dan berkata “Kuharap kau bisa bekerja sama dengan kami seperti Pak Kepala Kantor. Lalu menyorongkan segebok uang merah dan sebuah kunci mobil. Lalu dia mengajak melihat jendela dan dari jendela itu terlihat sebuah Fortuner berwarna putih bersih. Pelatnya juga putih. Kursi-kursi di dalam mobil itu masih terbungkus plastik bening. Dikatakan lagi “ Ini semua untukmu. Bukan untuk pak Kepala Kantor seperti biasa”, sambil mengeluarkan sebuah kartu nama, “ tetapi ingat nama ini untuk lelang nanti”. “ Kami memang memberi sedikit lebih banyak di banding yang biasa kami berikan pada Pak Kepala Kantor karena ini salam perkenalan untukmu. Ambillah!”.

Cerpen ini di tutup oleh sdr.RIZQI TURAMA dengan manisnya:

     Untuk pertama kali setelah sekian tahun, aku merasa tak ada beban ketika jadwal rutin berkumpul di rumah Ibu tiba. Tak ada mobil baru. Tak ada uang yang banyak. Tak ada perhiasan mewah. Senyum Ibu tetap tak penuh. Keceriaannya tetap meremang. Binar matanya tetap pudar melihat bawaanku yang tak lebih dari martabak manis. Tak ada apapun yang berubah  kecuali perasaan di dalam dadaku. Aku tidak lagi merasa sebagai orang gagal kali ini. Hantu yang memberati tengkukku telah menguap. Ia menghilang, seperti senyuman lelaki itu ketika meninggalkan ruanganku. 

Bagi saya, manis sekali kalimat penutup cerpen ini. Yang bisa disimpulkan, bahwa tokoh “aku’ telah menang dalam godaan setan suap. Meskipun disodori segebog uang merah dan sebuah mobil baru Fortuner. “ aku” telah berhasil mengatasi dengan sempurna godaan suap yang sangat menggiurkan. Namun yang disayangkan, adalah sikap sang Ibu yang tetap binarnya pudar dari matanya. Karakter orang memang berbeda-beda. Karakter si “aku” sangat kuat. Karakter sang Ibu, lemah. (BUDI SAMPURNO.Mak’skom.IPJT.3.10.2022)