SDT.SASTRA.25
BUDI
SAMPURNO.OKT.2
RAHASIA
WINA DAN KUBURAN MARMER.
Kali ini harian JAWA POS memuat cerpen
ringan dengan latar belakang dunia anak-anak yang sangat kometmen dengan
penumpahan rasa kasih sayang seorang anak kepada ibunya. Cerpen ini adalah
karya HASAN ASPAHANI dan di muat pada hari Sabtu, tgl. 22 Oktober 2022. Penulis
kelahiran th. 1971 di Sei Raden, Kecamatan Samboja, Kutai Kartanegara. Sekarang
menetap di Jakarta, berkhidmat di Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta.
Novelnya yang sudah terbit “Ya.Aku lari”, “Laut Semua Suara” dan
“Persimpangan”.
Membaca
cerpen ini karena judulnya RAHASIA WINA DAN KUBURAN MARMER, saya menduga ada
arah ke mistis. Karena judulnya di beri kata KUBURAN MARMER. Apalagi di beri
ilustrasi gambar masjid tua oleh BUDIONO. Tetapi setelah membaca semua sampai
tuntas, dugaan itu ternyata sangat jauh dari kebenaran.
Cerpen
ini ternyata berkisah tentang anak-anak sekolah yang berjualan disekolahnya.
Wina dan “Aku”. Dan di buka dengan : Jangan cari masalah dengan Wina. Jangan
bikin gara-gara dengan dia. Dia anak perempuan yang manis dan pintar, tetapi
perangainya keras. Makanya, jangan cari masalah dan bikin gara-gara dengan dia.
Nanti kau akan seperti Zainul yang di cakar Wina wajahnya, membekaskan luka
memanjang di pipinya. Saya kira Zainul memang keterlaluan. Kawan sekelas kami
itu sebenarnya lebih tua dua atau tiga tahun di atas kami. Dia lekas akil
baliq. Kami masih kanak-kanak, dia sudah remaja. Pikirannya mulai lain kepada
teman-teman perempuan. Mulai gatal tanduk. Zainul suka sama Wina.
Zainul
mendekati Wina dengan membeli dagangan Wina. Sebagai pedagang dia bisa baik
pada siapa saja. Wina berdagang bermacam-macam di sekolah Arab. Sekolah khusus
belajar agama sore hari. Sekolah kami itu ada di seberang masjid jamik, persis
di depan kuburan. Kalau kami buka jendela kelas, terhampar kuburan datu-datu
kami, lalu nun di- ujung sana rumah nelayan dengan tiang -tiang tinggi di
pantai, lalu pohon bakau, lalu laut.
Pembuka cerpen itu tergambarlah Wina anak
yang baik, tetapi bisa berubah menjadi sangar dan melukai membekas memanjang
pipi Zainul. Diceritakan, bahwa ketika sore hari habis main voli, Zainul beli minuman sirup manis. Bentuk plastiknya yang memanjang
Itu
membuat imajinasi Zainul jadi liar. Saya kira dia bercanda Ketika memperagakan gerakan
tak senonoh dengan sirup itu dihadapan Wina. Wina murka. Ia terjang Zainul. Ia
cakar wajahnya. Tiga garis luka berjajar panjang mengalirkan darah di wajah
Zainul. Karena dia tahu salah, Zainul tak melawan.
Sejak
saat itu, terkenal peringatan jangan macam-macan sama Wina.
“Aku”
dan Wina sama-sama berdagang di sekolahan dan sering barter beli dagangan.
Perdagangan barter kami berjalan lancar. Sampai suatu hari Wina menawarkan satu skema yang penuh rahasia. Dia mengajak
aku bicara berdua di belakang sekolah, di pendapa kuburan.
“
Begini, kita tetap barter tiap hari. Kamu ambil satu jualanku, aku ambil satu
jualanmu, kata Wina.
“
Kan biasanya juga begitu!?”
“
Nah ini yang beda. Aku tak ambil jatahku itu. Kamu jualkan saja. Simpan
uangnya…Paham ya ?”
“
Paham”, kataku. “Tapi kenapa aku harus simpan uangnya ? Kan bisa titip ke Ani,
sepupumu, atau sama kakakmu?”
“Ani
tak bisa simpan rahasia. Di rumah?. Justru aku tak mau ada saudaraku yang tahu.
Ini sementara. Sampai jumlah tertentu. Terus kamu simpankan. Pada waktunya aku
perlu. Aku ambil….”kata Wina
“
Uang ini buat apa ?”
“
Sudah , tolong simpan saja. Nanti kamu juga tahu…”
Sebenarnya
“aku” agak ragu, karena untuk menyimpan uang itu di rumah, bukan hal yang
gampang, karena terikat janji, orang lain tidak boleh tahu. Untung "aku" punya akal, uang Wina dikumpulkan di saputangan. Dan ketika di tanya sama Wina,
dijawabnya bahwa uangnya aman.
Namun
di luar perhitungan, terjadi keteledoran dan uang simpanan Wina itu di temu sama
mamaknya. Ketika pulang sore hari, langsung diinterograsi sama mamanya. Sang
Aku gelagapan. Sang mamak benar-benar marah. Inilah interogasinya:
“
San, ini uang apa? Kamu curi uang mama ya”.
“
Bukan, Ma. Itu uang….”. Aku tak bisa melanjutkan penjelasanku.
“
Uang apa?. Kamu jangan mencuri uang mama ya. Mentang-mentang mamamu ini tak
bisa menulis dan membaca”, kata mamaku. Matanya berair, terdesak perasaan
marah, kesal, dan sakit hati karena merasa diakali anaknya.
“
Bukan Ma, Itu uang Wina…”
“
Uang Wina?. Uang apa?. Kamu bawa-bawa
nama temanmu lagi….”
Mama
marah besar. Percuma saya jelaskan, dia tak akan percaya. Satu-satunya cara
hanya minta Wina yang bicara langsung.
"Aku" pun kaget, karena itu mengkhianati perjanjiannya dengan Wina. Kan janjinya
tidak akan ngomong kepada siapapun. Bayangan Wina ngamuk dan mencakar wajah
seperti kejadian Zainul, menyeruak di kepala.
“
Mama tunggu. Aku panggil Wina….”, kataku.
"Aku" nekad masuk rumah Wina. Wina kaget.
“
Aduh, ngapain kamu ke sini?”, katanya sewot, matanya membesar marah. Seram.
Setelah
dijelaskan persoalan dengan mama, Wina mau datang ke rumah.
Membaca
cerpen HASAN ASPAHANI, ternyata dia membangun dua konflik. Konflik sang Aku
dengan Wina dan konflik sang Aku dengan mamanya.
HASAN
ASPAHANI menyelesaikan dua konflik ini dengan manis.
Setalah
Wina datang dan ketemu mama dan bapak:
“
Mamamu orang baik banget. Aku belajar bikin dan masak nasi kuning yang enak
sama dia”, kata mamaku
Dan
inilah rahasia Wina dan uang yang ia titipkan padaku itu. Ia ingin membeli
kuburan marmer untuk nisan kayu ulin di makam mamanya. Tapi setelah di hitung
uang Wina belum cukup. Spontan uang "Aku" ditambahkan.
Bapakku
lantas mengambil uang itu. Ia tahu itu masih kurang.
“
Bapakmu itu juga guruku, guru ngajiku”, kata bapakku
“
Rasanya sebagai murid belum pernah aku membalas jasanya. Bapakmu tidak tahu,
Win?”
“
Tak apa-apa, nanti aku yang bicara sama bapakmu. Besok saya pasangkan. Kamu
pilih aja yang mana. Tulis nama mamamu dan bintinya ya, nanti diukirkan di
batunya”, kata bapakku.
Maniskan
HASAN ASPAHANI menyelesaikan konfliknya. Tapi dalam hati saya berguman, kok
seperti serba kebetulan ya ! .(BUDI SAMPURNO.Mak’skom.IPJT.27 Okt.2022)