SUDUT SASTRA 3
UPIK LABU.
Cerpen ini di muat pada harian Jawa Pos pada lembar
Ruang Putih, terbit Minggu tanggal 22 April 2018. Di tulis oleh Caroline Wong,
anak lulusan UK Petra Surabaya dan dikabarkan sekarang tinggal di Makasar.
Saya membaca cerpen ini dan serta-merta membayangkan
seorang perempuan yang belum tua tapi juga sudah tidak muda lagi. Karena
digambarkan dalam pembuka cerpen tsb sebagai “ Aku membenci perempuan itu, yang
selalu berdaster kuning labu dengan corak bunga mawar merah yang norak.
Rambutnya selalu dipotong pendek. Diwajahnya hampir tidak ada yang menarik”.
Perempuan yang selalu berdaster kuning itu diceritakan
selalu bangun subuh dan langsung bekerja, mencuci baju-baju kotor yang
ditempatkan di baskom-baskom disamping sumur. Baju- baju kotor, berbau kencing
dan juga berbau tinja.
Di sisi lain dalam penghuni rumah masih terdapat
seorang ibu mertua dan tiga remaja perempuan serta seorang laki- laki. Sang
mertua sangat cerewet dan seperti juga ke tiga iparnya Ipar pertama Inggrid
namanya digambarkan sebagai seorang perempuan yang selalu berganti- ganti
pasangan dari desa ke desa yang lain. Karena jarang ketemu maka Inggrid
bersikap agak baik terhadap perempuan berdaster kuning. Ipar kedua bernama
Linda merasa paling cantik serta si bungsu bernama Lanny. Dan kelakuannya juga
sama dengan Linda. Cerewet seperti ibu mertuanya. Ipar- ipar ini suka bermimpi
yang bukan bukan seperti dilamar orang kaya, hidup berfoya-foya. Yang aneh
digambaarkan pula suami dari perempuan berdaster kuning labu itu juga sering
bertindak seperti mertuanya dan ipar-iparnya.
Kehidupan perempuan yang selalu berdaster kuning itu
digambarkan sebagai seorang yang bukan babu tetapi berlaku serta diberlakukan sebagai
seorang babu. Karena semua pekerjaan rumah dia yang harus menyelesaikan.
Meskipun dia masih harus menyelesaikan jahitan sebagai pesanan para pelanggannya.
Bagi saya cerpen ini menggambarkan kesengsaraan
seorang perempuan sehingga digambarkan bahwa rumah yang ditinggali adalah rumah
yang gawat darurat yang pintu dan jendela bahkan lubang kakusnya menyerupai
bibir perempuan. Bahkan bibir suaminya sendiri sudah lama berubah menjadi
bernafsu untuk mengeluarkan titah dan sabda agung.
Namun perempuan yang dijuluki Upik Labu ( nama
sebenarnya adalah Mayang ) tidak pernah menyerah tapi juga tidak pernah
melawan. Namun tetap bertahan demi anak- anak yang dikasihinya. Yang pada
akhirnya pada suatu hari Upik Labu tumbang , jatuh dari kursi kerjanya (kursi
untuk duduk menjahit baju pelanggannya) . Hatinya, tekadnya sekuat baja, tetapi
tubuhnya yang tidak kuat dan itulah yang menumbangkan kegigihannya, kedigdayaannya.
Dalam imajinasi saya membaca disini : Upik Labu meninggal.
Lalu siapakah yang benci kepada Upik Labu ?. Inilah
jawabannya di kalimat akhir cerpennya Caroline Wong. “ Upik Labu tidak pernah
menyerah tapi juga tidak pernah melawan. Untuk itulah aku sangat membenciya.
Bagiku bukan perjuangan. Andaikata dia mengasihi hatinya sendiri dan mengerti
sedikit tentang jam tubuhnya, maka aku, PUTRINYA, sekarang masih akan bersama
dia “.
Saya sebagai pembaca diakhir cerpen baru tahu bahwa yang membenci adalah anaknya Upik
Labu sendiri. Yang sangat kecewa karena ibunya diberlakukan semena- mena seperti
babu tetapi selalu mengalah, tidak melawan dan tidak memikirkan kesehatan serta kekuatan
tubuhnya.
Cerpen ini bagus. Bikin imajinasi ikut merasakan
kesengsaraan Upik Labu. Tapi terkejut karena anaknya sejak dulu tidak suka
ibunya tidak melawan kezaliman dirumah tangganya sendiri. (Budi Sampurno,Mak’skom.IPJT.23.4.18)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar