Senin, 23 April 2018


SUDUT SASTRA 3
UPIK LABU.
Cerpen ini di muat pada harian Jawa Pos pada lembar Ruang Putih, terbit Minggu tanggal 22 April 2018. Di tulis oleh Caroline Wong, anak lulusan UK Petra Surabaya dan dikabarkan sekarang tinggal di Makasar.
Saya membaca cerpen ini dan serta-merta membayangkan seorang perempuan yang belum tua tapi juga sudah tidak muda lagi. Karena digambarkan dalam pembuka cerpen tsb sebagai “ Aku membenci perempuan itu, yang selalu berdaster kuning labu dengan corak bunga mawar merah yang norak. Rambutnya selalu dipotong pendek. Diwajahnya hampir tidak ada yang menarik”.
Perempuan yang selalu berdaster kuning itu diceritakan selalu bangun subuh dan langsung bekerja, mencuci baju-baju kotor yang ditempatkan di baskom-baskom disamping sumur. Baju- baju kotor, berbau kencing dan juga berbau tinja.
Di sisi lain dalam penghuni rumah masih terdapat seorang ibu mertua dan tiga remaja perempuan serta seorang laki- laki. Sang mertua sangat cerewet dan seperti juga ke tiga iparnya Ipar pertama Inggrid namanya digambarkan sebagai seorang perempuan yang selalu berganti- ganti pasangan dari desa ke desa yang lain. Karena jarang ketemu maka Inggrid bersikap agak baik terhadap perempuan berdaster kuning. Ipar kedua bernama Linda merasa paling cantik serta si bungsu bernama Lanny. Dan kelakuannya juga sama dengan Linda. Cerewet seperti ibu mertuanya. Ipar- ipar ini suka bermimpi yang bukan bukan seperti dilamar orang kaya, hidup berfoya-foya. Yang aneh digambaarkan pula suami dari perempuan berdaster kuning labu itu juga sering bertindak seperti mertuanya dan ipar-iparnya.
Kehidupan perempuan yang selalu berdaster kuning itu digambarkan sebagai seorang yang bukan babu tetapi berlaku serta diberlakukan sebagai seorang babu. Karena semua pekerjaan rumah dia yang harus menyelesaikan. Meskipun dia masih harus menyelesaikan jahitan sebagai pesanan para pelanggannya.
Bagi saya cerpen ini menggambarkan kesengsaraan seorang perempuan sehingga digambarkan bahwa rumah yang ditinggali adalah rumah yang gawat darurat yang pintu dan jendela bahkan lubang kakusnya menyerupai bibir perempuan. Bahkan bibir suaminya sendiri sudah lama berubah menjadi bernafsu untuk mengeluarkan titah dan sabda agung.
Namun perempuan yang dijuluki Upik Labu ( nama sebenarnya adalah Mayang ) tidak pernah menyerah tapi juga tidak pernah melawan. Namun tetap bertahan demi anak- anak yang dikasihinya. Yang pada akhirnya pada suatu hari Upik Labu tumbang , jatuh dari kursi kerjanya (kursi untuk duduk menjahit baju pelanggannya) . Hatinya, tekadnya sekuat baja, tetapi tubuhnya yang tidak kuat dan itulah yang menumbangkan kegigihannya, kedigdayaannya. Dalam imajinasi saya membaca disini : Upik Labu meninggal.
Lalu siapakah yang benci kepada Upik Labu ?. Inilah jawabannya di kalimat akhir cerpennya Caroline Wong. “ Upik Labu tidak pernah menyerah tapi juga tidak pernah melawan. Untuk itulah aku sangat membenciya. Bagiku bukan perjuangan. Andaikata dia mengasihi hatinya sendiri dan mengerti sedikit tentang jam tubuhnya, maka aku, PUTRINYA, sekarang masih akan bersama dia “.
Saya sebagai pembaca diakhir cerpen  baru tahu bahwa yang membenci adalah anaknya Upik Labu sendiri. Yang sangat kecewa karena ibunya diberlakukan semena- mena seperti babu tetapi selalu mengalah, tidak melawan  dan tidak memikirkan kesehatan serta kekuatan tubuhnya.
Cerpen ini bagus. Bikin imajinasi ikut merasakan kesengsaraan Upik Labu. Tapi terkejut karena anaknya sejak dulu tidak suka ibunya tidak melawan kezaliman dirumah tangganya sendiri. (Budi Sampurno,Mak’skom.IPJT.23.4.18)




Tidak ada komentar:

Posting Komentar