Jumat, 30 September 2022

 



SDT.SASTRA.23

BUDI SAMPURNO.SEPT.2


NUSANTARA ABAD 16.

(DENDAM DI ABAD 16)

Setelah saya membaca habis cerpen bagus berbentuk surat panjang ini, kok lebih cocok kiranya kalau judulnya DENDAM ABAD 16. Judul aslinya NUSANTARA ABAD 16, di tulis oleh EKO DARMOKO, berkelahiran Surabaya, seorang pegiat di Komunitas Sastra Cak Die Rezim Surabaya. Cerpen di muat di HARIAN JAWA POS, hari Sabtu 24 September 2022.

Cerpen berbentuk surat yang sangat panjang ini di buka dengan kalimat penuh nada dendam yang membara, yaitu :

SYAHBANDAR Kalianak yang Terkutuk, tentunya kamu kenal dan masih ingat dengan perempuan mulia bernama Maria Anna San Jose. Kamu pasti kaget ketika saya menyebut nama itu. Tahan  amuk ombak yang bergejolak dalam dirimu!. Sebaiknya tuntaskan surat ini!. Buang niatmu untuk merobek atau membakarnya!

Setelah membacanya, jangankan merobek atau membakarnya, bahkan saya rela bila kamu memakan surat ini.

Di Alinea berikutnya, nada dendam semakin terasa. Di tulisnya : Sampai di sini, pasti jidatmu sudah ditumbuhi bulir-bulir keringat yang jatuh membasahi  gulungan kertas yang kamu pegang. Teruskan membaca!. Jangan berhenti sebelum khatam.

Lalu siapa sih  Maria Anna San Jose itu ?!.  EKO DARMOKO sebagai penulis cerpen bercerita, bahwa gadis tsb adalah juru masak di suatu kapal pemburu rempah-rempah disekitar th 1566 . Yang sejak kapal angkat labuh di Samboanga, Maria Anna San Jose berhasil membuat drama guna mempertahankan kesuciannya dari incaran para pelaut fakir birahi. Para fakir birahi tidak berani menjamahnya, karena penyakit ruam misterius yang berada di selangkangan dan kelaminnya. Mereka takut ketularan. Namun ketika kapal menuju perairan Utara Pulau Jawa sisi Timur, drama Maria Anna San Jose terbongkar. Serta merta para pelaut fakir birahi mulai memburunya di kapal.  Beruntung Maria Anna San Jose cukup pandai dan licin dalam bersembunyi . Lama-lama tak tahan juga selalu bersembunyi serta takut dijadikan guling bergilir, maka ia memilih terjun ke laut setelah dilihatnya pulau Jawa sudah dekat. Dengan sekuat tenaga berenang menuju daratan. Setelah sampai di Teluk Kalianak seorang lelaki yang mengaku sebagai Syahbandar, mengangkatnya keatas perahunya membawanya ke daratan.  Maria Anna  San Jose dibawanya di Pos Pantau, dibaringkan di sebuah dipan. Lelaki itu menunggui sampai siuman. Dan membuatkan air jahe serta menyuguhi kentang rebus yang sudah dingin. Apakah lelaki itu benar-benar seorang Syahbandar ?. Menurut EKO DARMOKO, sebagai penulis cerpen, ternyata lelaki itu bukan Syahbandar. Dia adalah seorang lelaki yang pernah bergabung dengan sindikat bajak laut Bandor Berkumis serta sudah sering pergi ke tempat pelacuran . Dijelaskan lebih lanjut oleh EKO DARMOKO, bahwa lelaki itu di suatu senja menggerayangi tubuh Maria Anna San Jose, ketika itu kabut menyelimuti Teluk Kalianak. Maria Anna San Jose menangis, ketika mengetahui roknya copot serta menemukan bercak darah dan mani di sekitar kemaluannya. Sementara lelaki itu buru-buru mengenakan celananya, bersikap se-olah-olah tidak terjadi sesuatu yang memalukan. Belakangan Maria Anna San Jose tahu , bahwa ketika lelaki itu menyuguhkan teh hangat, sebelumnya telah di campur dengan ramuan biji apel, yang mengakibatkan tak sadar ketika disetubuhi. Dan sejak peristiwa itu, si-lelaki  menjelma menjadi seorang jahanam yang hampir setiap malam meniduri Maria Anna San Jose. Kabar gembira disampaikan oleh Tabib, setelah memeriksanya dan menyatakan Maria Anna San Jose hamil. Lelaki jahanam itu menjawab dengan enteng, bahwa akan menjaga dan membesarkan buah hati di Teluk Kalianak ini.

Tetapi ketika lelaki itu sedang menjala ikan di atas sampan, didatangi dua sekoci yang berisi  sejumlah pelaut Spanyol dan lelaki lokal sebagai juru bicara yang mencari Maria Anna San Jose. Dan akan menukarnya dengan sekantong keping emas serta sekotak opium dari Utara Swarnadwipa. Lelaki yang pernah menolong dan mengaku sebagai syahbandar itu, kelakuan aslinya serta-merta muncul. Diseretnya Maria Anna San Jose serta diserahkan kepada  orang-orang Spanyol tsb. Sementara itu, sampan lelaki jahanam dipenuhi dengan opium dan berkeping-keping emas. Maria Anna San Jose rela berlutut agar lelaki itu membatalkan niatnya.Tetapi lelaki setan itu ingkar janji untuk menjaga dan membesarkan anak buah hatinya seperti pernah dijanjikan dihadapan Tabib. Maria Anna San Jose di- bawa ke kapal Spanyol, menjalani hari-hari yang mengerikan selama berada di kapal Spanyol yang sedang merapat di daerah yang di sebut sebagai Nusantara. Maria Anna San Jose tidak sampai lagi di Samboanga, karena ketika sampai di Celebes Selatan, di buang bersama bayinya yang baru dilahirkan. Beruntung, ketika di buang bersama bayi perempuannya Maria Anna San Jose ditemukan dan di pungut oleh sekelompok nelayan. Lambat laun kenestapaannya menjadi lenyap dan berganti dengan kobaran semangat untuk melanjutkan hidup. Mengabdikan diri pada rutinitas kehidupan pesisir hingga akhir hayatnya.

Mengikuti cerpen  EKO DARMOKO sampai di situ, saya masih belum tahu siapa sih  sebenarnya yang menulis surat panjang bernada dendam yang sangat mendalam. Baru setelah membaca lanjutan suratnya, baru saya bisa menduga. Karena cerpen di tutup dengan kalimat:

Sedangkan bayi perempuan itu kini tumbuh menjadi gadis cantik pujaan Celebes. Perlu kamu catat beberapa minggu setelah kamu membaca surat ini, saya sudah tiba di Teluk Kalianak dan berdiri dihadapanmu. Tak sabar saya untuk membunuh lelaki paling jahanam di abad ini. Jaga dirimu baik-baik!. Saya akan datang untuk mengeluarkan jantungmu. Demikian sumpah saya. Celebes, 4 Juli 1586, Caroline Putri Maria Anna San Jose.

Cerpen bagus, lancar, enak di baca. Pesan moralnya : kemunafikan sudah ada sejak jaman dahulu. Rasa sayang dan cintanya serta rasa simpati ibanya terhadap penderitaan sang ibu, membuat Caroline harus tega membalaskan dendam sebagai penebus penderitaan sang ibu. Apakah Caroline Putri Maria Anna San Jose berhasil mengeluarkan jantung lelaki jahanam yang sebnarnya adalah ayahnya sendiri ?. Hanya EKO DARMOKO yang tahu.  Memang semuanya harus berhati-hati dalam mengarungi perjalanan hidup. Iluustrasi oleh BUDIONO (BUDI SAMPURNO.Mak’skom.IPJT.30.9.2022)

 

Jumat, 23 September 2022

 

 

SDT.NGOBROL.17.

BUDI SAMPURNO. SEPT.1



NGOBROL “ INI BARU MENTERI “

Pak RT, pamit kepada Wagiman setelah asyik ngobrol  setengah jam lebih. Membicarakan pandemi yang sudah mulai memudar. Tetapi pak RT tetap mewanti-wanti warganya agar tetap waspada serta tidak lupa mempergunakan masker apabila sedang berada di luar rumah, atau sedang bepergian. Baik mengendarai kendaraan pribadi, lebih-lebih bila mempergunakan kendaraan umum.

Wagiman memutar badannya untuk kembali ke dalam rumah. Wagiarti sudah menunggu di teras rumah sambil membaca kliping koran.

WAGIMAN   : “ Nah…gitu…pinter…baca kliping. Jangan baca TG saja”.

WAGIARTI  : “ He he… Maaf…saya mengambil dan membaca kliping bapak”.

WAGIMAN  : “ Nggak apa-apa bu. Saya lebih suka kalau ibu juga ikut membaca kliping, dari pada membaca berita yang disajikan lewat TG. Karena yang disajikan lewat TG itu sering beritanya tidak netral. Condong ke arah kepentingan pribadi atau kelompoknya”.

WAGIARTI  : “ I ya pak. Beritanya selalu di-ulang-ulang serta di-beri komentar yang aneh-aneh. Nggak elok rasanya. Tadi itu yang saya baca tentang…..Itu lho ibu Menteri Sosial, bu Risma  memohon kepada bapak Presiden Jakowi untuk tidak memberikan remisi kepada para pelaku predaktor seksual. Predaktor itu  harus di beri sanksi maksimal sebagai upaya untuk memberi effek jera”.

WAGIMAN   : “ O…itu. Memang ketika ibu Risma berkunjung di Mapolres Sidoarjo. Kunjungannya dalam rangka menemui korban kekerasan seksual yang masih anak SD”.

WAGIARTI  : “ I ya. Dan korbanya itu anak tirinya. Aneh, ibunya sendiri kok ya memberi ijin kepada suaminya yang berkehendak berbuat bejad”.

WAGIMAN  : “ Pada hal sex itu indah ya bu !”.

WAGIARTI : “ I ya pak. Sex itu memang sangat indah, bila dilakukan atas dasar saling mencintai. Mereka ikhlas melakukannya. Apalagi kalau mereka itu sudah resmi sebagai suami-isteri.  Seperti…bapak dengan saya… he he he…

Kapan saja, di mana saja….Monggo…Ikhlas….”.

WAGIMAN : “ Hebat isteri saya ini! “.

WAGIARTI : “ Gombal…!. Masalah kekerasan seksual itu kan ya sudah ada Undang-Undangnya. Apa nama undang-undangnya  pak !?”.

WAGIMAN :  “ Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual atau di singkat menjadi UU TPKS. Itu nomor 12 Tahun 2022. Bu Risma kemarin juga mengingatkan. Undang-undang itu dapat digunakan untuk menjerat para pelaku kejahatan seksual. Karena pada Paal 11, disebutkan, bahwa pelaku kekerasan seksual tidak hanya memperoleh hukuman penjara dan denda, tetapi pelakunya juga bisa di ancam  mendapat pidana tambahan bila pelakunya keluarga dekat”.

WAGIARTI : “ Ya….undang-undang memang sudah ada pak. Tetapi apakah semua masyarakat tahu dan ngerti sebab dan akibatnya, bila melakukan kekerasan seksual?. Karena menurut berita-berita, mereka yang melakukan kekerasan seksual itu ada yang tingkat pendidikannya kurang. Atau mereka orang berpendidikan, tetapi tidak tersampaikan informasi undang-undang itu kepada mereka. Tidak semua orang mau dan mampu mencari, membaca undang-undang. Hayoo! “.

WAGIMAN : “Memang hebat ibu ini. Kadang emosional berat, tetapi bisa juga berpikir dan bersikap netral. Memang benar bu. Orang kalau sedang terbentur persoalan, baru mencari, membaca, mempelajari undang-undang yang ada kaitannya dengan persoalan yang sedang dihadapi”.

WAGIARTI  : “ Nah, itu artinya sosialisasinya kurang effektif, meskipun ketika undang-undang sudah disyahkan, dianggapnya semua warga negara sudah mengerti. Ya nggak bisa dong !”.

WAGIMAN  : “ Itu masalah klasik bu. Kita saja nggak ngerti kalau bu Risma tidak mengingatkan serta di muat di media, kalau masalah kekerasan sex itu ada undang-undangnya”.

WAGIARTI : “ Ya semoga saja permohonan bu Risma sebagai Menteri Sosial di dengar dan dikabulkan oleh bapak Presiden. Sebab banyak lho kasus kekerasan seksual. Itu yang di Jombang, si Bechi anaknya pengasuh pondok pesantren…..Itu Hery Wirawan guru ngaji yang memperkosa 12 anak santrinya. Haduh….. masih banyak lagi. Ngeri….pak !”.

WAGIMAN : “ Semoga pak Jakowi mengabulkan ya, bu. Tapi maaf bu….bapak kebelet pipis nih !. Sudah sejak ada pak RT, kebeletnya”.

WAGIARTI  : “ Oooooo di ajak diskusi masalah sex kok malah kebelet pipis. Ya, sudah monggo ke kamar kecil”.

WAGIMAN  : “ Kamar besarnya nanti malam ya bu !”.

Berkata begitu Wagiman  berlari kecil ke dalam rumah, sambil tertawa terkekeh-kekeh serta menengok ke arah isterinya.

Wagiarti tersenyum bahagia!. (BUDI SAMPURNO.Mak’skom.IPJT.24.9.2022)

 

Minggu, 18 September 2022

 

SDT. SASTRA.22

BUDI SAMPURNO.Sept.1


PEMBUNUH YANG TERBUNUH

Sabtu kemarin saya membaca cerpen di Harian JAWA POS, tgl. 17 September 2022 di halaman 3. Cerpen ini enak di baca, tegang dan di akhir ceritera saya tertawa terpingkal-pingkal. Judul cerpen sangat sederhana, “ KERIKIL AJAIB “. Di tulis oleh sdr. ARAFAT NUR. Dia adalah seorang pengajar di STKIP PGRI, Ponorogo Jawa Timur. Di bulan Maret 2022, cerpennya juga  di muat di Harian JAWA POS, tertanggal 26 Maret 2022 yang olehnya di beri judul “ MIMPI BURUK TALITA “

Cerpen “KERIKIL AJAIB “ di buka dengan kalimat yang menyentak, yaitu : Lelaki itu tersentak sekaligus menjerit, lalu mengaduh kesakitan. Dia segera membalikkan badan. Menatap Marno dengan wajah tegang tak percaya disertai kemarahan menggelegak.

“ Kau?” ucap Bajra tidak percaya, “ berani melemparku?”.

Mendadak Marno terkesiap, tak percaya kalau batu kecil itu melayang begitu kuat dan bisa secara kebetulan mengenai kepala orang. Lagi pula sepatu kulit yang di pakai Marno untuk menemui pacarnya adalah sepatu kulit palsu murahan, tetapi memiliki sol yang keras.

Siapakah Marno ?. Oleh sdr. ARAFAT NUR digambarkan sebagai seorang pemuda yang sedang geram karena di tolak untuk menemui pacarnya. Saking geramnya Marno menyepak kerikil yang tergeletak di badan jalan aspal. Dan ternyata melayang kencang menghantam tengkuk belakang Bajra.

Lalu siapakah Bajra?. Digambarkan , Bajra bukanlah orang biasa. Lelaki bertubuh besar dan gagah itu adalah seorang dukun berilmu hitam. Tidak ada sedikit pun ilmu putih padanya. Penduduk sangat menakutinya. Tidak ada orang yang berani melawannya. Orang-orang yang berani menentangnya akan mati, atau setidaknya muntah darah. Polisi pun tidak punya alasan untuk meringkusnya, karena tidak ada bukti kejahatan yang dilakukan oleh Bajra. Dalam dunia perdukunan, apapun yang dimiliki Bajra dan perbuatannya, tidak bisa dijadikan barang bukti kejahatan. Oleh karena itulah Barja bisa bebas berkeliaran dan bebas melakukan apa saja, tanpa takut berhadapan dengan hukum.

Di desa Marno tinggal, desa Ketro, selalu saja ada penduduk yang mati dengan tidak wajar

Mukhsin, seorang pendatang  dan jadi tetangga Bajra, tiba-tiba jatuh sakit. Dokter tidak bisa mengatasinya. Para dokter spesialis tidak pahan dengan penyakit yang di derita Mukhsin. Digambarkan Mukhsin tidak bisa bangkit karena kelelahan. Akhirnya sesuai anjuran para dokter, Mukhsin di minta istirahat dan akhirnya mengambil cuti panjang. Anehnya ketika jatuh sakit, diusianya yang hampir empat puluhan, Mukhsin tumbuh gigi baru di tempat gigi gerahamnya yang tanggal. Sungguh tidak masuk akal. Dan tak lama kemudian Muhksin meninggal. dokter tetap berkesimpulan, meninggalnya karena kelelahan, pada hal dia tidak pernah kerja, semua pekerjaan rumah selalu diselesaikan isterinya. Sebagai guru, dia juga tidak banyak dibebani tugas.

Kasus-kasus yang aneh selalu ada di setiap tahun, terutama mereka yang bersinggungan dengan si dukun Bajra. Ada yang kakinya luka tidak bisa sembuh. Ada yang tidak lama kemudian mati setelah bertengkar mulut dengan Bajra. Kematiannya pasti tidak wajar.

Tapi mereka yang tidak pernah ada masalah dengan Bajra, kematiannya selalu wajar, tidak ada yang aneh.

Tokoh sentral dalam cerpen sebenarnya adalah Marno yang baru saja di tolak untuk menemui pacarnya. Ketika Marno di tolak menemui pacarnya, dengan geramnya Marno menendang batu kerikil yang ada di badan jalan beraspal dan tidak di sangka batu kerikil itu melayang dengan cepat dan kerasnya. Marno memakai sepatu murah, yang terbuat dari kulit palsu tetapi ber sol sangat keras.

Seperti yang di tulis dalam pembuka, batu kerikil yang di tendang ternyata mengenai belakang kepala si Dukun Barja. Melihat Barja murka serta berkata dengan kasarnya ”Beraninya kau melemparku”. Tuding Barja geram penuh kemarahan. Mendadak wajah Marno pucat. Mulutnya tergagap, “Bukan aku,Pak!”.

“ Lalu siapa?”. Tanya Bajra sambil menebarkan pandangannya. Tak ada seorang pun di jalan itu. Bajra mengerang dengan wajah keras dan mata membelalak, “Beraninya kau, bocah ingusan. Beraninya kau melemparku dengan batu!”

“Ampun, Pak. Ampuni aku. Aku tidak melemparmu”, Marno memohon.

“Slompret!”, sembur Barja geram dengan wajah semakin tegang dan amarah menggelegak. Tubuhnya gemetaran karena marah dan juga kesakitan. Sambil memegang belakang kepalanya, dia menghapiri Marno dengan salah satu tangan mengepal kuat. Dia mengerang,

dalam jarak sekitar sepuluh langkah, tiba-tiba Barja mencabut keris dari balik pinggangnya.

Menyadari hal itu, bila masih tetap berdiri di tempat, Marno akan mati. Ketimbang mati, lebih baik aku lari, batin Marno langsung balik badan dan kabur sekencangnya. Lari dan lari terus. Sejam kemudian Marno sampai di kota Kecamatan. Selama hidupnya belum pernah dia berlari sejauh dan secepat itu dengan durasi yang hampir tanpa berhenti. Tenaganya terkuras habis dengan nafas hampir putus dan mulut sangat kering. Dan seumur hidupnya dia belum pernah ketakutan sedemikian hebat, yang sekarang membuat tubuhnya lemas terduduk. Jangankan untuk berjalan, bangkit saja tiba-tiba dia tidak mampu lagi. Tubuh Marno tergeletak di bawah sebatang pohon mangga di halaman masjid kecil. Dia mencoba mengangkat tangannya untuk mengusap keringat. Aneh, tangannya tidak bisa digerakkan. Jangan-jangan dukun itu sudah menyantetku, pikirnya ngeri.  Seandainya dukun itu tiba sekarang atau sebentar lagi, tentu dia bisa langsung membunuh Marno tanpa sedikit pun perlawanan. Dalam kengerian yang membuat keringatnya terus bercucuran, Marno hanya bisa pasrah. Kalau memang aku mati hari ini, ya matilah. Mungkin aku lebih baik mati hari ini. Dia pingsan, tak sadarkan diri. Marno terjaga setelah hari sudah gelap dan masjid dalam keadaan gelap. Sedangkan lampu-lampu dari bangunan lain tidak sampai sinarnya ke halaman masjid. Lampu jalan juga sudah lama rusak.

Apakah sekarang aku sudah berada di alam kubur?, batin Marno. Tangannya terangkat perlahan. Tubuhnya dirasakan sakit dan pegal-pegal. Berusaha bangkit untuk duduk dengan susah payah. “Ini nyata dan aku masih hidup “, batinnya.

Setelah sadar diri, meskipun masih beranggapan dirinya akan mati malam ini. Maka Marno ingin mati di tempat yang tenang, tidak di jalan. Marno teringat rumah Suroso, teman sekolah yang sering dikunjungi untuk sama-sama mengerjakan pekerjaaan rumah. Tidak jauh dari masjid di tempat Marno menggeletak. Marno berusaha dengan sekuat tenaga berjalan menuju rumah Suroso.

Sesampai di rumah Suroso, di copotnya sepatu dan ngelonyor menerobos kamar Suroso.  Langsung merebahkan dirinya di ranjang, menarik selimut hingga menutupi wajahnya.

“ Aku demam”, ucap Marno lemah. “Mungkin aku akan mati malam ini”.

Suroso agak geli melihat kelakuan Marno yang konyol, seperti tingkah di buat-buat.

“ Kau kenapa Marno? Apa baru diputusi Mira?”.

Karena sulit menjawab, Marno mengangguk malas. Selang beberapa lama Suroso bilang

“ Aku punya kabar baik”. Marno tetap diam seperti tertidur. Tetapi Suroso menyakini, Marno tidak tidur. “Ini tentang Bajra…”.

Tiba-tiba saja kedua tangan Marno mengempas selimut yang menutupi wajahnya. Dia menunggu Suroso melanjutkan. Lantaran Suroso diam saja, maka Marno bertanya,”Kenapa?”

Suroso menjawab,” Kau belum tahu”. Marno menggeleng.

“Aku baru saja dari rumahnya. Sial betul dukun santet itu. Pasti ada seseorang yang mengetapel sangat kuat. Kerikil itu menghantam tengkorak belakangnya sampai pecah. Batu bersarang di otaknya. Tentu dia tahu siapa yang telah membunuhnya”.

Dada Marno berdegup kencang. Jantungnya seperti tiba-tiba lepas, “Kenapa bisa?”.

“ Sebab, ketika ditemukan mayatnya tergeletak di pinggir jalan, tangan Bajra masih menggenggam keris”, jawab Suroso.

“ Dia mati ?”, tanya Marno tidak percaya.

“ Ya, mati. Batu kerikil itu memecah tengkorak belakangnya dan tersangkut di dalam. Mungkin otaknya hancur”.

“Kok bisa ?”, tanya Marno sulit percaya.

“ Mana aku tahu,” jawab Suroso dengan nada tinggi. “Tadi sore aku baru dari rumahnya. Ramai sekali orang datang. Kulihat mayat Bajra tergeletak dengan begitu menyedihkan”.

Cerpen ini di tutup oleh Sdr.ARAFAT NUR  ( saya tertawa membaca penutup cerpen ini).

Tiba-tiba, tanpa tertahan, Marno tergelak sendiri. Penyakit sesaknya mendadak hilang. Dia tampak begitu sehat dan kembali bersemangat yang membuat Suroso sangat terheran-heran.

Bagi saya cerpen ini bagus. Lancar cara penguraiannya. Pesan moralnya ada. Orang yang sengaja berbuat jahat, pasti suatu ketika akan tergelincir. Menodai dirinya sendiri.

Suatu pertanyaan yang sedikit menggelitik di hati saya. Dukun Barja dan Marno itu tinggal di desa Ketro. Suroso tinggal di kota Kecamatan. Dari desa Ketro, Marno menghindar di bunuh Barja, harus lari sekencang-kencangnya selama satu jam tanpa berhenti, sampai pingsan. Berarti dari kota Kecamatan ke desa Ketro itu jauh ya. Suroso yang tinggal di kota Kecamatan, tahu Barja meninggal dengan  melihat sendiri ke rumah Basrja. Datangnya Suroso ke rumah Barja itu sengaja atau hanya secara kebetulan lewat saja ya?!. Jauh lho dari kota Kecamatan ke desa Ketro. Apa Suroso sengaja melayat?? Hanya Sdr.ARAFAT NUR yang tahu jawabnya.. (Budi Sampurno.Mak’skom.IPJT.18.9.2022)