SDT.
SASTRA.22
BUDI SAMPURNO.Sept.1
PEMBUNUH
YANG TERBUNUH
Sabtu
kemarin saya membaca cerpen di Harian JAWA POS, tgl. 17 September 2022 di
halaman 3. Cerpen ini enak di baca, tegang dan di akhir ceritera saya tertawa terpingkal-pingkal.
Judul cerpen sangat sederhana, “ KERIKIL AJAIB “. Di tulis oleh sdr. ARAFAT
NUR. Dia adalah seorang pengajar di STKIP PGRI, Ponorogo Jawa Timur. Di bulan
Maret 2022, cerpennya juga di muat di
Harian JAWA POS, tertanggal 26 Maret 2022 yang olehnya di beri judul “ MIMPI
BURUK TALITA “
Cerpen
“KERIKIL AJAIB “ di buka dengan kalimat yang menyentak, yaitu : Lelaki itu
tersentak sekaligus menjerit, lalu mengaduh kesakitan. Dia segera membalikkan
badan. Menatap Marno dengan wajah tegang tak percaya disertai kemarahan
menggelegak.
“
Kau?” ucap Bajra tidak percaya, “ berani melemparku?”.
Mendadak
Marno terkesiap, tak percaya kalau batu kecil itu melayang begitu kuat dan bisa
secara kebetulan mengenai kepala orang. Lagi pula sepatu kulit yang di pakai
Marno untuk menemui pacarnya adalah sepatu kulit palsu murahan, tetapi memiliki
sol yang keras.
Siapakah
Marno ?. Oleh sdr. ARAFAT NUR digambarkan sebagai seorang pemuda yang sedang
geram karena di tolak untuk menemui pacarnya. Saking geramnya Marno menyepak
kerikil yang tergeletak di badan jalan aspal. Dan ternyata melayang kencang
menghantam tengkuk belakang Bajra.
Lalu
siapakah Bajra?. Digambarkan , Bajra bukanlah orang biasa. Lelaki bertubuh
besar dan gagah itu adalah seorang dukun berilmu hitam. Tidak ada sedikit pun
ilmu putih padanya. Penduduk sangat menakutinya. Tidak ada orang yang berani
melawannya. Orang-orang yang berani menentangnya akan mati, atau setidaknya
muntah darah. Polisi pun tidak punya alasan untuk meringkusnya, karena tidak ada
bukti kejahatan yang dilakukan oleh Bajra. Dalam dunia perdukunan, apapun yang
dimiliki Bajra dan perbuatannya, tidak bisa dijadikan barang bukti kejahatan.
Oleh karena itulah Barja bisa bebas berkeliaran dan bebas melakukan apa saja,
tanpa takut berhadapan dengan hukum.
Di
desa Marno tinggal, desa Ketro, selalu saja ada penduduk yang mati dengan tidak
wajar
Mukhsin,
seorang pendatang dan jadi tetangga
Bajra, tiba-tiba jatuh sakit. Dokter tidak bisa mengatasinya. Para dokter
spesialis tidak pahan dengan penyakit yang di derita Mukhsin. Digambarkan
Mukhsin tidak bisa bangkit karena kelelahan. Akhirnya sesuai anjuran para
dokter, Mukhsin di minta istirahat dan akhirnya mengambil cuti panjang. Anehnya
ketika jatuh sakit, diusianya yang hampir empat puluhan, Mukhsin tumbuh gigi
baru di tempat gigi gerahamnya yang tanggal. Sungguh tidak masuk akal. Dan tak
lama kemudian Muhksin meninggal. dokter tetap berkesimpulan, meninggalnya
karena kelelahan, pada hal dia tidak pernah kerja, semua pekerjaan rumah selalu
diselesaikan isterinya. Sebagai guru, dia juga tidak banyak dibebani tugas.
Kasus-kasus
yang aneh selalu ada di setiap tahun, terutama mereka yang bersinggungan dengan
si dukun Bajra. Ada yang kakinya luka tidak bisa sembuh. Ada yang tidak lama
kemudian mati setelah bertengkar mulut dengan Bajra. Kematiannya pasti tidak
wajar.
Tapi
mereka yang tidak pernah ada masalah dengan Bajra, kematiannya selalu wajar,
tidak ada yang aneh.
Tokoh
sentral dalam cerpen sebenarnya adalah Marno yang baru saja di tolak untuk
menemui pacarnya. Ketika Marno di tolak menemui pacarnya, dengan geramnya Marno
menendang batu kerikil yang ada di badan jalan beraspal dan tidak di sangka
batu kerikil itu melayang dengan cepat dan kerasnya. Marno memakai sepatu murah,
yang terbuat dari kulit palsu tetapi ber sol sangat keras.
Seperti
yang di tulis dalam pembuka, batu kerikil yang di tendang ternyata mengenai
belakang kepala si Dukun Barja. Melihat Barja murka serta berkata dengan
kasarnya ”Beraninya kau melemparku”. Tuding Barja geram penuh kemarahan.
Mendadak wajah Marno pucat. Mulutnya tergagap, “Bukan aku,Pak!”.
“
Lalu siapa?”. Tanya Bajra sambil menebarkan pandangannya. Tak ada seorang pun
di jalan itu. Bajra mengerang dengan wajah keras dan mata membelalak,
“Beraninya kau, bocah ingusan. Beraninya kau melemparku dengan batu!”
“Ampun,
Pak. Ampuni aku. Aku tidak melemparmu”, Marno memohon.
“Slompret!”,
sembur Barja geram dengan wajah semakin tegang dan amarah menggelegak. Tubuhnya
gemetaran karena marah dan juga kesakitan. Sambil memegang belakang kepalanya,
dia menghapiri Marno dengan salah satu tangan mengepal kuat. Dia mengerang,
dalam
jarak sekitar sepuluh langkah, tiba-tiba Barja mencabut keris dari balik
pinggangnya.
Menyadari
hal itu, bila masih tetap berdiri di tempat, Marno akan mati. Ketimbang
mati, lebih baik aku lari, batin Marno langsung balik badan dan kabur
sekencangnya. Lari dan lari terus. Sejam kemudian Marno sampai di kota
Kecamatan. Selama hidupnya belum pernah dia berlari sejauh dan secepat itu dengan
durasi yang hampir tanpa berhenti. Tenaganya terkuras habis dengan nafas hampir
putus dan mulut sangat kering. Dan seumur hidupnya dia belum pernah ketakutan
sedemikian hebat, yang sekarang membuat tubuhnya lemas terduduk. Jangankan
untuk berjalan, bangkit saja tiba-tiba dia tidak mampu lagi. Tubuh Marno
tergeletak di bawah sebatang pohon mangga di halaman masjid kecil. Dia mencoba
mengangkat tangannya untuk mengusap keringat. Aneh, tangannya tidak bisa
digerakkan. Jangan-jangan dukun itu sudah menyantetku, pikirnya ngeri. Seandainya dukun itu tiba sekarang atau
sebentar lagi, tentu dia bisa langsung membunuh Marno tanpa sedikit pun
perlawanan. Dalam kengerian yang membuat keringatnya terus bercucuran, Marno
hanya bisa pasrah. Kalau memang aku mati hari ini, ya matilah. Mungkin aku
lebih baik mati hari ini. Dia pingsan, tak sadarkan diri. Marno terjaga
setelah hari sudah gelap dan masjid dalam keadaan gelap. Sedangkan lampu-lampu
dari bangunan lain tidak sampai sinarnya ke halaman masjid. Lampu jalan juga
sudah lama rusak.
Apakah
sekarang aku sudah berada di alam kubur?, batin Marno.
Tangannya terangkat perlahan. Tubuhnya dirasakan sakit dan pegal-pegal. Berusaha
bangkit untuk duduk dengan susah payah. “Ini nyata dan aku masih hidup “, batinnya.
Setelah
sadar diri, meskipun masih beranggapan dirinya akan mati malam ini. Maka Marno
ingin mati di tempat yang tenang, tidak di jalan. Marno teringat rumah Suroso,
teman sekolah yang sering dikunjungi untuk sama-sama mengerjakan pekerjaaan
rumah. Tidak jauh dari masjid di tempat Marno menggeletak. Marno berusaha
dengan sekuat tenaga berjalan menuju rumah Suroso.
Sesampai
di rumah Suroso, di copotnya sepatu dan ngelonyor menerobos kamar Suroso. Langsung merebahkan dirinya di ranjang,
menarik selimut hingga menutupi wajahnya.
“
Aku demam”, ucap Marno lemah. “Mungkin aku akan mati malam ini”.
Suroso
agak geli melihat kelakuan Marno yang konyol, seperti tingkah di buat-buat.
“
Kau kenapa Marno? Apa baru diputusi Mira?”.
Karena
sulit menjawab, Marno mengangguk malas. Selang beberapa lama Suroso bilang
“
Aku punya kabar baik”. Marno tetap diam seperti tertidur. Tetapi Suroso
menyakini, Marno tidak tidur. “Ini tentang Bajra…”.
Tiba-tiba
saja kedua tangan Marno mengempas selimut yang menutupi wajahnya. Dia menunggu
Suroso melanjutkan. Lantaran Suroso diam saja, maka Marno bertanya,”Kenapa?”
Suroso
menjawab,” Kau belum tahu”. Marno menggeleng.
“Aku
baru saja dari rumahnya. Sial betul dukun santet itu. Pasti ada seseorang yang
mengetapel sangat kuat. Kerikil itu menghantam tengkorak belakangnya sampai
pecah. Batu bersarang di otaknya. Tentu dia tahu siapa yang telah membunuhnya”.
Dada
Marno berdegup kencang. Jantungnya seperti tiba-tiba lepas, “Kenapa bisa?”.
“
Sebab, ketika ditemukan mayatnya tergeletak di pinggir jalan, tangan Bajra
masih menggenggam keris”, jawab Suroso.
“
Dia mati ?”, tanya Marno tidak percaya.
“
Ya, mati. Batu kerikil itu memecah tengkorak belakangnya dan tersangkut di
dalam. Mungkin otaknya hancur”.
“Kok
bisa ?”, tanya Marno sulit percaya.
“
Mana aku tahu,” jawab Suroso dengan nada tinggi. “Tadi sore aku baru dari
rumahnya. Ramai sekali orang datang. Kulihat mayat Bajra tergeletak dengan begitu
menyedihkan”.
Cerpen
ini di tutup oleh Sdr.ARAFAT NUR ( saya
tertawa membaca penutup cerpen ini).
Tiba-tiba,
tanpa tertahan, Marno tergelak sendiri. Penyakit sesaknya mendadak hilang. Dia
tampak begitu sehat dan kembali bersemangat yang membuat Suroso sangat
terheran-heran.
Bagi
saya cerpen ini bagus. Lancar cara penguraiannya. Pesan moralnya ada. Orang
yang sengaja berbuat jahat, pasti suatu ketika akan tergelincir. Menodai
dirinya sendiri.
Suatu
pertanyaan yang sedikit menggelitik di hati saya. Dukun Barja dan Marno itu
tinggal di desa Ketro. Suroso tinggal di kota Kecamatan. Dari desa Ketro, Marno
menghindar di bunuh Barja, harus lari sekencang-kencangnya selama satu jam
tanpa berhenti, sampai pingsan. Berarti dari kota Kecamatan ke desa Ketro itu
jauh ya. Suroso yang tinggal di kota Kecamatan, tahu Barja meninggal
dengan melihat sendiri ke rumah Basrja.
Datangnya Suroso ke rumah Barja itu sengaja atau hanya secara kebetulan lewat
saja ya?!. Jauh lho dari kota Kecamatan ke desa Ketro. Apa Suroso sengaja
melayat?? Hanya Sdr.ARAFAT NUR yang tahu jawabnya.. (Budi
Sampurno.Mak’skom.IPJT.18.9.2022)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar