Minggu, 18 September 2022

 

SDT. SASTRA.22

BUDI SAMPURNO.Sept.1


PEMBUNUH YANG TERBUNUH

Sabtu kemarin saya membaca cerpen di Harian JAWA POS, tgl. 17 September 2022 di halaman 3. Cerpen ini enak di baca, tegang dan di akhir ceritera saya tertawa terpingkal-pingkal. Judul cerpen sangat sederhana, “ KERIKIL AJAIB “. Di tulis oleh sdr. ARAFAT NUR. Dia adalah seorang pengajar di STKIP PGRI, Ponorogo Jawa Timur. Di bulan Maret 2022, cerpennya juga  di muat di Harian JAWA POS, tertanggal 26 Maret 2022 yang olehnya di beri judul “ MIMPI BURUK TALITA “

Cerpen “KERIKIL AJAIB “ di buka dengan kalimat yang menyentak, yaitu : Lelaki itu tersentak sekaligus menjerit, lalu mengaduh kesakitan. Dia segera membalikkan badan. Menatap Marno dengan wajah tegang tak percaya disertai kemarahan menggelegak.

“ Kau?” ucap Bajra tidak percaya, “ berani melemparku?”.

Mendadak Marno terkesiap, tak percaya kalau batu kecil itu melayang begitu kuat dan bisa secara kebetulan mengenai kepala orang. Lagi pula sepatu kulit yang di pakai Marno untuk menemui pacarnya adalah sepatu kulit palsu murahan, tetapi memiliki sol yang keras.

Siapakah Marno ?. Oleh sdr. ARAFAT NUR digambarkan sebagai seorang pemuda yang sedang geram karena di tolak untuk menemui pacarnya. Saking geramnya Marno menyepak kerikil yang tergeletak di badan jalan aspal. Dan ternyata melayang kencang menghantam tengkuk belakang Bajra.

Lalu siapakah Bajra?. Digambarkan , Bajra bukanlah orang biasa. Lelaki bertubuh besar dan gagah itu adalah seorang dukun berilmu hitam. Tidak ada sedikit pun ilmu putih padanya. Penduduk sangat menakutinya. Tidak ada orang yang berani melawannya. Orang-orang yang berani menentangnya akan mati, atau setidaknya muntah darah. Polisi pun tidak punya alasan untuk meringkusnya, karena tidak ada bukti kejahatan yang dilakukan oleh Bajra. Dalam dunia perdukunan, apapun yang dimiliki Bajra dan perbuatannya, tidak bisa dijadikan barang bukti kejahatan. Oleh karena itulah Barja bisa bebas berkeliaran dan bebas melakukan apa saja, tanpa takut berhadapan dengan hukum.

Di desa Marno tinggal, desa Ketro, selalu saja ada penduduk yang mati dengan tidak wajar

Mukhsin, seorang pendatang  dan jadi tetangga Bajra, tiba-tiba jatuh sakit. Dokter tidak bisa mengatasinya. Para dokter spesialis tidak pahan dengan penyakit yang di derita Mukhsin. Digambarkan Mukhsin tidak bisa bangkit karena kelelahan. Akhirnya sesuai anjuran para dokter, Mukhsin di minta istirahat dan akhirnya mengambil cuti panjang. Anehnya ketika jatuh sakit, diusianya yang hampir empat puluhan, Mukhsin tumbuh gigi baru di tempat gigi gerahamnya yang tanggal. Sungguh tidak masuk akal. Dan tak lama kemudian Muhksin meninggal. dokter tetap berkesimpulan, meninggalnya karena kelelahan, pada hal dia tidak pernah kerja, semua pekerjaan rumah selalu diselesaikan isterinya. Sebagai guru, dia juga tidak banyak dibebani tugas.

Kasus-kasus yang aneh selalu ada di setiap tahun, terutama mereka yang bersinggungan dengan si dukun Bajra. Ada yang kakinya luka tidak bisa sembuh. Ada yang tidak lama kemudian mati setelah bertengkar mulut dengan Bajra. Kematiannya pasti tidak wajar.

Tapi mereka yang tidak pernah ada masalah dengan Bajra, kematiannya selalu wajar, tidak ada yang aneh.

Tokoh sentral dalam cerpen sebenarnya adalah Marno yang baru saja di tolak untuk menemui pacarnya. Ketika Marno di tolak menemui pacarnya, dengan geramnya Marno menendang batu kerikil yang ada di badan jalan beraspal dan tidak di sangka batu kerikil itu melayang dengan cepat dan kerasnya. Marno memakai sepatu murah, yang terbuat dari kulit palsu tetapi ber sol sangat keras.

Seperti yang di tulis dalam pembuka, batu kerikil yang di tendang ternyata mengenai belakang kepala si Dukun Barja. Melihat Barja murka serta berkata dengan kasarnya ”Beraninya kau melemparku”. Tuding Barja geram penuh kemarahan. Mendadak wajah Marno pucat. Mulutnya tergagap, “Bukan aku,Pak!”.

“ Lalu siapa?”. Tanya Bajra sambil menebarkan pandangannya. Tak ada seorang pun di jalan itu. Bajra mengerang dengan wajah keras dan mata membelalak, “Beraninya kau, bocah ingusan. Beraninya kau melemparku dengan batu!”

“Ampun, Pak. Ampuni aku. Aku tidak melemparmu”, Marno memohon.

“Slompret!”, sembur Barja geram dengan wajah semakin tegang dan amarah menggelegak. Tubuhnya gemetaran karena marah dan juga kesakitan. Sambil memegang belakang kepalanya, dia menghapiri Marno dengan salah satu tangan mengepal kuat. Dia mengerang,

dalam jarak sekitar sepuluh langkah, tiba-tiba Barja mencabut keris dari balik pinggangnya.

Menyadari hal itu, bila masih tetap berdiri di tempat, Marno akan mati. Ketimbang mati, lebih baik aku lari, batin Marno langsung balik badan dan kabur sekencangnya. Lari dan lari terus. Sejam kemudian Marno sampai di kota Kecamatan. Selama hidupnya belum pernah dia berlari sejauh dan secepat itu dengan durasi yang hampir tanpa berhenti. Tenaganya terkuras habis dengan nafas hampir putus dan mulut sangat kering. Dan seumur hidupnya dia belum pernah ketakutan sedemikian hebat, yang sekarang membuat tubuhnya lemas terduduk. Jangankan untuk berjalan, bangkit saja tiba-tiba dia tidak mampu lagi. Tubuh Marno tergeletak di bawah sebatang pohon mangga di halaman masjid kecil. Dia mencoba mengangkat tangannya untuk mengusap keringat. Aneh, tangannya tidak bisa digerakkan. Jangan-jangan dukun itu sudah menyantetku, pikirnya ngeri.  Seandainya dukun itu tiba sekarang atau sebentar lagi, tentu dia bisa langsung membunuh Marno tanpa sedikit pun perlawanan. Dalam kengerian yang membuat keringatnya terus bercucuran, Marno hanya bisa pasrah. Kalau memang aku mati hari ini, ya matilah. Mungkin aku lebih baik mati hari ini. Dia pingsan, tak sadarkan diri. Marno terjaga setelah hari sudah gelap dan masjid dalam keadaan gelap. Sedangkan lampu-lampu dari bangunan lain tidak sampai sinarnya ke halaman masjid. Lampu jalan juga sudah lama rusak.

Apakah sekarang aku sudah berada di alam kubur?, batin Marno. Tangannya terangkat perlahan. Tubuhnya dirasakan sakit dan pegal-pegal. Berusaha bangkit untuk duduk dengan susah payah. “Ini nyata dan aku masih hidup “, batinnya.

Setelah sadar diri, meskipun masih beranggapan dirinya akan mati malam ini. Maka Marno ingin mati di tempat yang tenang, tidak di jalan. Marno teringat rumah Suroso, teman sekolah yang sering dikunjungi untuk sama-sama mengerjakan pekerjaaan rumah. Tidak jauh dari masjid di tempat Marno menggeletak. Marno berusaha dengan sekuat tenaga berjalan menuju rumah Suroso.

Sesampai di rumah Suroso, di copotnya sepatu dan ngelonyor menerobos kamar Suroso.  Langsung merebahkan dirinya di ranjang, menarik selimut hingga menutupi wajahnya.

“ Aku demam”, ucap Marno lemah. “Mungkin aku akan mati malam ini”.

Suroso agak geli melihat kelakuan Marno yang konyol, seperti tingkah di buat-buat.

“ Kau kenapa Marno? Apa baru diputusi Mira?”.

Karena sulit menjawab, Marno mengangguk malas. Selang beberapa lama Suroso bilang

“ Aku punya kabar baik”. Marno tetap diam seperti tertidur. Tetapi Suroso menyakini, Marno tidak tidur. “Ini tentang Bajra…”.

Tiba-tiba saja kedua tangan Marno mengempas selimut yang menutupi wajahnya. Dia menunggu Suroso melanjutkan. Lantaran Suroso diam saja, maka Marno bertanya,”Kenapa?”

Suroso menjawab,” Kau belum tahu”. Marno menggeleng.

“Aku baru saja dari rumahnya. Sial betul dukun santet itu. Pasti ada seseorang yang mengetapel sangat kuat. Kerikil itu menghantam tengkorak belakangnya sampai pecah. Batu bersarang di otaknya. Tentu dia tahu siapa yang telah membunuhnya”.

Dada Marno berdegup kencang. Jantungnya seperti tiba-tiba lepas, “Kenapa bisa?”.

“ Sebab, ketika ditemukan mayatnya tergeletak di pinggir jalan, tangan Bajra masih menggenggam keris”, jawab Suroso.

“ Dia mati ?”, tanya Marno tidak percaya.

“ Ya, mati. Batu kerikil itu memecah tengkorak belakangnya dan tersangkut di dalam. Mungkin otaknya hancur”.

“Kok bisa ?”, tanya Marno sulit percaya.

“ Mana aku tahu,” jawab Suroso dengan nada tinggi. “Tadi sore aku baru dari rumahnya. Ramai sekali orang datang. Kulihat mayat Bajra tergeletak dengan begitu menyedihkan”.

Cerpen ini di tutup oleh Sdr.ARAFAT NUR  ( saya tertawa membaca penutup cerpen ini).

Tiba-tiba, tanpa tertahan, Marno tergelak sendiri. Penyakit sesaknya mendadak hilang. Dia tampak begitu sehat dan kembali bersemangat yang membuat Suroso sangat terheran-heran.

Bagi saya cerpen ini bagus. Lancar cara penguraiannya. Pesan moralnya ada. Orang yang sengaja berbuat jahat, pasti suatu ketika akan tergelincir. Menodai dirinya sendiri.

Suatu pertanyaan yang sedikit menggelitik di hati saya. Dukun Barja dan Marno itu tinggal di desa Ketro. Suroso tinggal di kota Kecamatan. Dari desa Ketro, Marno menghindar di bunuh Barja, harus lari sekencang-kencangnya selama satu jam tanpa berhenti, sampai pingsan. Berarti dari kota Kecamatan ke desa Ketro itu jauh ya. Suroso yang tinggal di kota Kecamatan, tahu Barja meninggal dengan  melihat sendiri ke rumah Basrja. Datangnya Suroso ke rumah Barja itu sengaja atau hanya secara kebetulan lewat saja ya?!. Jauh lho dari kota Kecamatan ke desa Ketro. Apa Suroso sengaja melayat?? Hanya Sdr.ARAFAT NUR yang tahu jawabnya.. (Budi Sampurno.Mak’skom.IPJT.18.9.2022)

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar