Rabu, 14 Desember 2022

 

 

SDT.SASTRA.29

BUDI SAMPURNO.Des.2



PEREMPUAN YANG MENUNGGU HUJAN

Harian KOMPAS terbitan Minggu, tgl 27 Nopember, memuat cerpen dijuduli “PEREMPUAN YANG MENUNGGU HUJAN”. Di reka-reka oleh RIDA K LIAMSI, kelahiran 17 Juli 1943, juga seorang penyair, tinggal di Tanjung Pinang Riau, dapat dihubungi lewat email: rliamsi-pku@gmail.com. Cerpen dihiasi ilustrasi oleh YUSUF SUSILO HARTONO, seorang pelukis, penyair dan wartawan.

Cerpen ini berkisah tentang seorang perempuan dan seorang laki-laki. Perempuan berprofesi sebagai pramuniaga dan yang laki-laki adalah seorang guru di sekolah swasta Laki-laki itu lebih tua dari pada yang perempuan. Laki-laki itu tampak berwibawa, selalu senyum serta tatapan matanya selalu teduh bila saling berpapasan. Selalu pula melambaikan tangannya. Perempuan itu merasa laki-laki ini, satu-satunya lelaki yang  berhasil menggetarkan hatinya. Mereka tidak saling kenal dan saling tidak tahu namanya. Pertemuan yang berulang-ulang setiap pulang kerja serta tidak saling tahu namanya, tidak berlanjut dengan kebahagiaan. Tetapi peristiwa tragislah yang melanjutkan pertemuan manusia berlainan jenis itu. Dibukanya cerpen ini dengan kalimat .

Setiap langit mendung dan tebal, perempuan itu pergi ke ujung pelantar rumahnya. Dia duduk menatap langit, menunggu hujan turun sambil mendengar suara gemuruh ombak. Dia berharap hujan segera turun dan ingin merasakan tajamnya jarum air menerpa kepalanya, tubuhnya. Jarum hujan yang membangkitkan endapan memori dikepalanya.. Begitu jarum jam itu menyentak akar rambutnya, pikirannya seperti mesin akan membangkitkan sensasi kenangannya

Tubuhnya terasa berdenyar dan seperti ada geliat halus merayapi energi hidupnya. Dia akan segera memejam matanya, dan merasakan sensasi jarum hujan itu menjelajah pembuluh darahnya.

Kena apa perempuan itu selalu berbuat begitu. Diceritakan oleh RIDA K LIAMSI, disuatu saat kedua insan itu bertemu ketika hari sedang hujan. Mereka saling menyapa, saling jalan bersama dari jalan beraspal sampai jalan yang tidak beraspal. Disebelahnya terhampar lapangan sepak bola yang dipenuhi dengan rumput serta ilalang. Hujan tetap turun. Mereka duduk di lapangan dekat dengan gawang. Dengan asumsi kalau ada kilat yang di sambar adalah tiang gawang, karena lebih tinggi dari mereka berdua. Mereka tersenyum, mereka tertawa, mereka saling menggenggam tangan, mereka saling memeluk. Imajinasi pembaca di putus oleh RIDA K LIAMSI dengan menuliskan :

 Tiba-tiba mendung pergi. Renyai beranjak teduh Dan sayup-sayup terdengar suara azan maghrib. Mereka terbangun. Merapikan pakaian. Berdiri. Meninggalkan lapangan sepak bola. Tanpa bicara. Saling menjeling. Saling tersenyum. Di ujung lapangan, di jalan tanah, di sebuah simpang, mereka berpisah.  Saling melambai dan berjalan menyongsong malam.

Setelah itu mereka tak pernah lagi bertemu. Perempuan itu, setibanya di rumah, menggigil hebat dan jatuh sakit. Demam panjang dan mengingau. Meracau. Beberapa hari dia terkapar di tempat tidur. Setelah dua suntikan anti demam dari dokter, baru dia pulih. Dan begitu terbangun di pagi hari, dia ingat lelaki itu. Dia bergegasa mandi, dan bersiap akan ke tempat kerjanya lagi. Ingin bertemu dan berpapasan lagi dengan lelaki itu.

Di meja makan dia mendengar cerita, lelaki itu, guru SMP sekolah swasta temannya tidur di rerumputan di lapangan bola, di bawah hujan itu, tewas. Rupanya, setelah berpisah, setelah hujan teduh, ketika berjalan ke rumah kostnya, sebuah sepeda motor yang dikendarai seorang lelaki yang sedang fly, menabrak lelaki itu, yang rupanya juga sedang  melamun dan berjalan terlalu ke tengah.

Lelaki yang sedang fly itu mati karena terpelanting dari sepeda motornya yang di pacu kencang, tapi lelaki itupun juga terpelanting dan tercampak ke dalam parit. Tewas karena pendarahan di kepalanya.

Perempuan itu benar-benar merasa dunianya runtuh. Dia merasa kehilangan yang sangat. Tak sempat bicara dan kembali pingsan. Kembali demam dan meracau. Mengigau

Semenjak itu, perempuan itu selalu menyendiri, tak mau bicara dengan siapapun. Dia berhenti bekerja. Duduk di rumah sepanjang hari. Merasakan kehilangan dan kepedihan. Keseimbangan hidupnya terganggu. Takut tidur dan di ganggu mimpi buruk.

Tentu saja keluarga menjadi bingung. Terutama ibunya. Keluarga berusaha menyadarkan serta mendesak supaya mau menikah. Akhirnya perempuan itu mau menikah dengan lelaki teman sekerja yang sudah lama menaksirnya. Pernikahan mereka tidak bisa berlangsung lama. Suaminya tidak mau diajak tidur di lapangan sepak bola dan bercinta disana. Perbedaan pandangan serta selera keduanya dijelaskan dengan gamblang oleh sang penulis.

“ Gila kamu. Inikan tempat terbuka dan orang bisa melihat kita melakukan apa-apa. Kan kita punya rumah. Punya ranjang. Mengapa mesti bermesraan di sini?. Di tempat terbuka dan dalam hujan pula. Aneh kamu ini!”, kata suaminya itu.

Kemudian perempuan itu ditinggalkan sendiri di pada ilalang itu. Dan perempuan itu kecewa.Di rumah mereka bertengkar hebat. Suaminya menuduhnya tidak perawan. Dan mempraktekkan sex bebas.“Memang kenapa kalau tidak perawan”.

“Kamu sendiri memangnya bujang ting-ting. Dari cara kamu meniduri aku, aku tahu kamu sudah biasa. Entah perempuan ke berapa aku ini yang kau tiduri. Jangan mau enaknya sendiri”, pekik perempuan itu.

Sejak malam itu, perempuan itu tidak mau lagi tidur dengan suaminya. Dia merasa tidak ada kenikmatan hidup sebagai suami isteri. Hubungan yang hambar. Dia merasa dilecehkan.

Tak lama kemudian mereka bercerai karena perbedaan prinsip dalam bercinta sebagai suami isteri. Kembali keluarganya bersedih dan gelisah. Ibunya mendesak supaya segera nikah lagi. Ibunya tidak ingin melihat anaknya lama-lama menjanda. Menurut ibunya, janda akan menjadi buah bibir negatif oleh orang orang. Ibunyapun beralasan sudah tua serta ingin segera menimang cucu. Ibunya menangis.

Akhirnya perempuan itu mau menikah lagi dengan lelaki pilihan ibunya. Perbedaan tajam kembali menggelayut suami isteri ini. Perempuan itu tetap mengajak suaminya bercinta di lapangan bola beralaskan rumput ilalang. Kehidupan rumah tangga perempuan itu bergolak kembali. Dia di tuduh perempuan berkelainan sex. Tumbanglah rumah tangganya. Perempuan itu kembali menolak keinginan ibunya agar mau menikah lagi. Tetap pada pendiriannya. Menolak kawin lagi. Ibunya meninggal.

Pulang bekerja, dia kembali berjalan menyusuri jalan yang dulu dia lalui dengan lelaki, guru sekolah swasta itu. Jika mendung dan hujan turun saat dia sedang berjalan pulang, sekali dia akan bergegas dan setengah berlari menuju ke lapangan bola. Berbaring di atas rumpun ilalang dan tertidur di sana.

Hal yang paling sering, dia akan bergegas pulang ke rumahnya, dan berbaring di pelatar rumahnya. Tidur di bawah deraian hujan. Menikmati tikaman jarum hujan dan kemudian malamnya dia demam dan mengigau. Bermimpi seakan dia bercinta di lapangan terbuka, di bawah tikaman jarum hujan. Dan dia merasa seakan semua ilalang di padang rumput atau lantai papan dipelatarannya mengerang. 

Membaca cerpen ini memang asyik, terus menurus ingin membaca sampai segera habis. Setelah itu saya baru berpikir tentang logika. Laki-laki itu seorang guru, perempuan seorang pramuniaga, lokasi masih dalam kota, terbukti dengan adanya mall. Artinya daerah letak lapangan bola tidak jauh dari keramaian orang. Lalu bercinta di lapangan terbuka yang amat sangat mudah di lihat orang disekitarnya. Apakah mereka tidak bereaksi?

Mungkinkah pengalaman pertama bercinta akan membekas amat sangat dalam, sehingga menguasai alam sadar dan pikiran waras perempuan itu.

Lalu pesan moral apa yang bisa kita peroleh, resapi dari cerpen ini ?. Saya kok agak susah mencerna, mencari pesan moral positifnya. Selain mendapatkan contoh ego yang tinggi, yang tidak bisa bertoleransi dengan orang lain, terutama kepada suami-suaminya. Tapi ini adalah sebuah cerpen, buah imajinasi yang dipadukan dengan pengalaman pribadi dan pengalaman orang-orang lain. Cerpen memang kadang menyimpang dari kehidupan nyata. (BUDI SAMPURNO.Mak’skom.IPJT. 14.12.2022)

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar