SDT.
KOMEN.26
BUDI SAMPURNO.Des.3.22
PENYAKIT YANG MENGGELISAHKAN
Kita
baru saja di terjang virus Covid-19 berserta variannya. Setiap saat semua
lapisan disibukkan, masyarakat yang kaya yang miskin yang berpendidikan, yang
kurang berpendidikan, yang tenaga medis, yang pejabat atapun yang penjahat, ya
tukang penggali kubur dan lain-lain. Korbannya menimpa yang dekat dengan
keluarga kita ataupun yang tidak ada hubungan dengan keluarga kita. Itu
semuanya sangat menyanyat hati.
Belum
reda terjangan virus Covid-19, datang lagi serangan PMK, Penyakit Mulut dan
Kuku. Para peternak di bikin kelimpungan, apalagi waktu itu menjelang Hari Raya
Idhul Adha.
Penyakit
gagal ginjal menyerang anak-anak juga mengejutkan berbagai pihak, terutama para
orang tua yang memiliki anak kecil. Karena sebaran gangguan ginjal akut ini
yang di serang justru anak-anak. Serta secara statistik, grafiknya tiap hari selalu
meningkat. Menggelisahkan memang.
Dari
terjangan itu semua, rupanya Pemerintah berserta masyakat cukup tanggap dan
sigap menanganinya. Tetapi sebenarnya ada suatu penyakit yang sangat
menggelisahkan. Namun effeknya tidak terasa langsung di masyarakat. Bahkan
masyarakat masih bisa tertawa-tawa menghadapinya. Penyakit yang sebenarnya juga
melanda seluruh dunia. Dan menurut catatan penyakit ini sudah ada sejak jaman
dahulu kala, dengan berbagai bentuk dan variannya. Sesuai dengan perkembangan
jaman. Sesuai dengan tingkat intelektual mereka. Yaitu, penyakit KORUPSI dan
SUAP MENYUAP.
Kita
mengenal adanya Hari Anti Korupsi Internasional. Hampir di semua negara, termasuk
Indonesia melakukan peringatan Hari Anti Korupsi tsb. Disertai dengan acara
seminar, dialog-dialog dari berbagai kalangan masyarakat. Di muat di media
cetak, di siarkan di media elektronik, bergema di media sosial. Yang intinya
adalah untuk memahamkan ke semua pihak, semua lapisan masyarakat, lebih-lebih
lapisan para pejabat, bahwa korupsi itu adalah suatu perbuatan yang sangat
tercela, merugikan masyarakat, merugikan negara dan pemerintah.
Namun
sampai saat ini praktek korupsi tetap bergairah, meskipun kita sudah punya KPK,
punya Undang-Undang Anti Korupsi. Dan apabila kita perhatikan justru aparat
penegak hukum dan keadilan, seperti Kepolisian, Kejaksaan serta Kehakiman, dan
tak ketinggalan masyarakat sendiri justru menjadi bagian perkorupsian. Sehingga
persoalan masalah tindak korupsi di tanah air menjadi semakin mbulet, rumit. Bahkan
terkadang kita jadi pesimis menghadapi persoalan rumitnya praktek korupsi serta
pemberantasan korupsi. Ada adekdot yang sangat tidak enak di dengar, yaitu:
korupsi sudah menjadi budaya di Indonesia.
Coba
kita ingat-ingat para pejabat yang di borgol KPK. Misalnya,
Ismunarso Bupati Situbondo th 2008; Bambang Irianto Walikota Madiun th 2016;
Taufiqurrahman Bupati Nganjuk th 2017; Eddy Rumpoko Walikota Batu th 2017; Masud
Yunus Walikota Mojokerto th 2017; Nyono Wiharli Suhandoko Bupati Jombang th
2018; Moch.Anton Walikota Malang, th 2018 dan banyak lagi.
Belakangan
ini KPK juga melakukan OTT terhadap Bupati Penajam Paser Utara, Kalimantan
Timur dengan bukti senilai Rp.950 juta. Uang ini hasil pengelolaan pungutan
uang panas dari berbagai proyek. Penajam Paser Utara termasuk daerah
diperuntukan sebagai pembaangunan IKN.
Yang
lagi diperbincangkan masyarakat dalam waktu belakangan ini adalah di tangkap
tangannya seorang Bupati Bangkalan R.Abdul Latief Amin Imron dengan dugaan
terima suap dan gratifikasi senilai Rp.5,3 M. Bupati ini ternyata terduga
berkasus jual beli jabatan dan pungutan proyek.
Tingkatan
gubernur ya Lukas Enembe, Gubernur Papua dijadikan sebagai tersangka oleh KPK
yang di duga telah melakukan gratifikasi senilai, 1 milyard Rupiah. Dan ketika
mau di periksa, berbuat bandel juga. Dengan berbagai alasan, tidak mau datang
ke Jakarta untuk diperiksa di Gedung KPK.
Di
hari-hari sebelumnya kita juga di buat geleng-geleng kepala dari dunia
pendidikan dengan penangkapan seorang Rektor Universitas Lampung, Prof. Dr.
Karomani, M.Si di tangkap tangan oleh KPK. Tokoh sentral sebuah perguruan
tinggi yang seharusnya menyadarkan, mengingatkan kepada siapapun khususnya kepada
para mahasiswanya, bahwa korupsi, suap menyuap merupakan sesuatu tindakan yang
melanggar hukum. Tetapi itu justru di langgar sendiri bersama dengan beberapa
petinggi perguruan tinggi yang dipimpinnya. Pendaftaran mahasiswa baru dijadikan
obyek suap-menyuap. Memangnya pendaftar sebagai mahasiswa baru itu dianggapnya
sebagai konsumen untuk diperdagangkan.
Dari
pihak penegak hukum ternyata juga subur praktek-praktek nakal dengan tujuan
untuk mempertebal pundi-pundi pribadimya. Kita masih ingat perempuan cantik
bernama Pinangki, karyawan dari Kejaksaan yang karena perbuatannya dijatuhi
hukuman penjara.
Belakangan
ini, di lembaran berbagai surat kabar serta media sosial, kita menerima berita
dengan tindakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang berhasil melakukan OTT
di Jakarta dan Semarang. Anehnya dan yang sangat mengejutkan justru yang
terkena OTT bernama Sudrajat Dimyati seorang Hakim Agung di Mahkamah Agung (MA).
dilengkapi dengan Yosep Parera dan Eko
Suparno yang bertindak sebagai pengacara. Hakim Agung ini di duga menerima uang
sebesar Rp.800 juta.
Bayangkan,
seorang Hakim Agung yang seharusnya menyebarkan kebaikan dan menegakkan
keadilan malah berbuat melalaikan tugasnya, justru melanggar sumpahnya,
melakukan perbuatan sangat tercela, melanggar hukum.
Lagi
tertangkap tangannya Wakil Ketua DPRD Jawa Timur oleh KPK, terduga terlibat
masalah Ijon Dana Hibah. Dalam pengakuannya praktek itu sudah dilakukan sejak
th 2021. Coba bayangkan, jabatan sebagai Wakil Ketua DPRD, tentunya jabatan
yang disandangnya, sudah memberikan jaminan yang sangat cukup untuk menghidupi
keluarga. Tetapi karena moralnya yang miring, masih mau juga mencari tambahan
dengan cara yang melanggar etika dan hukum.
Masyarakat
terkadang juga terbius dengan tingkah manisnya para koruptor, secara tidak
sadar di sanjung-sanjung, kerena mereka berbuat baik di mata masyarakat.
Seperti pergi haji, membangun sekolahan, membangun masjid, menyantuni anak
yatim-piatu dsb.
Semua
pasti tahu, bahwa negara Indonesia dengan seluruh isinya dalam segala kehidupannya
haruslah berdasarkan pada falsafah Pancasila. Itu sudah komitmen bersama.
Bahkan sudah dipikirkan, di rancang sebelum kemerdekaan Indonesia. Setelah
Indonesia merdeka ternyata ada beberapa warga negara yang terpenyakit korupsi.
Mereka pasti paham, tapi pura-pura tidak paham, bahwa korupsi itu sama saja
dengan melanggar ajaran agama, yang terwujud tidak menghayati dan tidak
melaksanakan sila Ketuhanan Yang Maha Esa.
Korupsi
itu artinya menggunakan uang negara atau perusahaan yang seharusnya
dipergunakan untuk kepentingan masyarakat, tetapi di lahap untuk kepentingan
pribadi atau golongannya. Tentunya ini membuat usaha mensejahterakan masyarakat
terhambat. Bila di tarik lebih mendalam, berarti korupsi juga melanggar hak
azasi manusia. Kan sila ke 2, Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab . Hasilnya
korupsi bisa dan sering menimbulkan kecurigaan-kecurigaan, menimbulkan konflik.
Ini artinya si koruptor tidak ikut melaksanakan sila ke tiga, yaitu Persatuan
Indonesia. Ingat Pilkada, Pemilu ada yang dibiayai dengan uang haram hasil
korupsi, dan ini mengakibatkan menurunnya kwalitas Pemilu dan Pilkada yang
berenteng kepada turunnya kwalitas demokrasi. Demokrasi di Indonesia didasari
dengan sila ke 4, Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmah Kebijaksanaan Dalam
Permusyawaratan/Perwakilan. Dan yang pada akhirnya secara keseluruhan tidak
mencerminkan dan mengganggu sila ke 5, Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat
Indonesia.
Pada
intinya, korupsi merupakan kejahatan yang berlipat dan perlu dihadang oleh
seluruh lapisan masyarakat. Meskipun, masyarakat pada umumnya tidak merasa
dirugikan secara langsung. Makanya mereka banyak yang acuh serta hanya
mengomel, ketika ada pejabat atau tokoh yang kena OTT.
Ada
pemikiran pencegahan dan pemberantasan korupsi itu harus benar-benar dilakukan penegakan disiplin oleh interen, melalui
Inspektorat atau Badan Pengawas Perusahaan/Organisasi. Termasuk disini
pendisiplinan, penegakkan profesi para hakim. Sehingga tidak ada cerita lagi,
hakim itu bisa dibeli
Kedua,
penindakan hukuman seberat-beratnya disertai dengan tindakan pemiskinan bagi
mereka yang sudah di vonis bersalah. Bagi para penegak hukum yang terlibat
dalam masalah perkorupsian, harus benar-benar dilaksanakan penindakkan secara
maksimal.Istilah kerennya, tanpa pandang bulu, Jangan sampai terjadi seperti pada kasus jaksa
Pinanti.
Teori
gampang, tetapi dalam pelaksanaannya bukan hal yang gampang. Pengaruh sosial
dan pengaruh politik lebih kental mendampinginya. Korupsi memang penyakit yang
menggelisahkan. Pinjam ilustrasi Sdr.Wahyu Kokkang.Jawa Pos.17.10.2017.
(BUDI
SAMPURNO.Mak’skom.IPJT.24.12.22)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar