Sabtu, 24 Desember 2022

 

 

SDT. KOMEN.26

BUDI SAMPURNO.Des.3.22




PENYAKIT YANG MENGGELISAHKAN

Kita baru saja di terjang virus Covid-19 berserta variannya. Setiap saat semua lapisan disibukkan, masyarakat yang kaya yang miskin yang berpendidikan, yang kurang berpendidikan, yang tenaga medis, yang pejabat atapun yang penjahat, ya tukang penggali kubur dan lain-lain. Korbannya menimpa yang dekat dengan keluarga kita ataupun yang tidak ada hubungan dengan keluarga kita. Itu semuanya sangat menyanyat hati.

Belum reda terjangan virus Covid-19, datang lagi serangan PMK, Penyakit Mulut dan Kuku. Para peternak di bikin kelimpungan, apalagi waktu itu menjelang Hari Raya Idhul Adha.

Penyakit gagal ginjal menyerang anak-anak juga mengejutkan berbagai pihak, terutama para orang tua yang memiliki anak kecil. Karena sebaran gangguan ginjal akut ini yang di serang justru anak-anak. Serta secara statistik, grafiknya tiap hari selalu meningkat. Menggelisahkan memang.

Dari terjangan itu semua, rupanya Pemerintah berserta masyakat cukup tanggap dan sigap menanganinya. Tetapi sebenarnya ada suatu penyakit yang sangat menggelisahkan. Namun effeknya tidak terasa langsung di masyarakat. Bahkan masyarakat masih bisa tertawa-tawa menghadapinya. Penyakit yang sebenarnya juga melanda seluruh dunia. Dan menurut catatan penyakit ini sudah ada sejak jaman dahulu kala, dengan berbagai bentuk dan variannya. Sesuai dengan perkembangan jaman. Sesuai dengan tingkat intelektual mereka. Yaitu, penyakit KORUPSI dan SUAP MENYUAP.

Kita mengenal adanya Hari Anti Korupsi Internasional. Hampir di semua negara, termasuk Indonesia melakukan peringatan Hari Anti Korupsi tsb. Disertai dengan acara seminar, dialog-dialog dari berbagai kalangan masyarakat. Di muat di media cetak, di siarkan di media elektronik, bergema di media sosial. Yang intinya adalah untuk memahamkan ke semua pihak, semua lapisan masyarakat, lebih-lebih lapisan para pejabat, bahwa korupsi itu adalah suatu perbuatan yang sangat tercela, merugikan masyarakat, merugikan negara dan pemerintah.

Namun sampai saat ini praktek korupsi tetap bergairah, meskipun kita sudah punya KPK, punya Undang-Undang Anti Korupsi. Dan apabila kita perhatikan justru aparat penegak hukum dan keadilan, seperti Kepolisian, Kejaksaan serta Kehakiman, dan tak ketinggalan masyarakat sendiri justru menjadi bagian perkorupsian. Sehingga persoalan masalah tindak korupsi di tanah air menjadi semakin mbulet, rumit. Bahkan terkadang kita jadi pesimis menghadapi persoalan rumitnya praktek korupsi serta pemberantasan korupsi. Ada adekdot yang sangat tidak enak di dengar, yaitu: korupsi sudah menjadi budaya di Indonesia.

Coba kita ingat-ingat para pejabat yang di borgol KPK. Misalnya, Ismunarso Bupati Situbondo th 2008; Bambang Irianto Walikota Madiun th 2016; Taufiqurrahman Bupati Nganjuk th 2017; Eddy Rumpoko Walikota Batu th 2017; Masud Yunus Walikota Mojokerto th 2017; Nyono Wiharli Suhandoko Bupati Jombang th 2018; Moch.Anton Walikota Malang, th 2018 dan banyak lagi.

Belakangan ini KPK juga melakukan OTT terhadap Bupati Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur dengan bukti senilai Rp.950 juta. Uang ini hasil pengelolaan pungutan uang panas dari berbagai proyek. Penajam Paser Utara termasuk daerah diperuntukan sebagai pembaangunan  IKN.

Yang lagi diperbincangkan masyarakat dalam waktu belakangan ini adalah di tangkap tangannya seorang Bupati Bangkalan R.Abdul Latief Amin Imron dengan dugaan terima suap dan gratifikasi senilai Rp.5,3 M. Bupati ini ternyata terduga berkasus jual beli jabatan dan pungutan proyek.

Tingkatan gubernur ya Lukas Enembe, Gubernur Papua dijadikan sebagai tersangka oleh KPK yang di duga telah melakukan gratifikasi senilai, 1 milyard Rupiah. Dan ketika mau di periksa, berbuat bandel juga. Dengan berbagai alasan, tidak mau datang ke Jakarta untuk diperiksa di Gedung KPK.

Di hari-hari sebelumnya kita juga di buat geleng-geleng kepala dari dunia pendidikan dengan penangkapan seorang Rektor Universitas Lampung, Prof. Dr. Karomani, M.Si di tangkap tangan oleh KPK. Tokoh sentral sebuah perguruan tinggi yang seharusnya menyadarkan, mengingatkan kepada siapapun khususnya kepada para mahasiswanya, bahwa korupsi, suap menyuap merupakan sesuatu tindakan yang melanggar hukum. Tetapi itu justru di langgar sendiri bersama dengan beberapa petinggi perguruan tinggi yang dipimpinnya. Pendaftaran mahasiswa baru dijadikan obyek suap-menyuap. Memangnya pendaftar sebagai mahasiswa baru itu dianggapnya sebagai konsumen untuk diperdagangkan.

Dari pihak penegak hukum ternyata juga subur praktek-praktek nakal dengan tujuan untuk mempertebal pundi-pundi pribadimya. Kita masih ingat perempuan cantik bernama Pinangki, karyawan dari Kejaksaan yang karena perbuatannya dijatuhi hukuman penjara.

Belakangan ini, di lembaran berbagai surat kabar serta media sosial, kita menerima berita dengan tindakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang berhasil melakukan OTT di Jakarta dan Semarang. Anehnya dan yang sangat mengejutkan justru yang terkena OTT bernama Sudrajat Dimyati seorang Hakim Agung di Mahkamah Agung (MA). dilengkapi dengan  Yosep Parera dan Eko Suparno yang bertindak sebagai pengacara. Hakim Agung ini di duga menerima uang sebesar Rp.800 juta.

Bayangkan, seorang Hakim Agung yang seharusnya menyebarkan kebaikan dan menegakkan keadilan malah berbuat melalaikan tugasnya, justru melanggar sumpahnya, melakukan perbuatan sangat tercela, melanggar hukum.

Lagi tertangkap tangannya Wakil Ketua DPRD Jawa Timur oleh KPK, terduga terlibat masalah Ijon Dana Hibah. Dalam pengakuannya praktek itu sudah dilakukan sejak th 2021. Coba bayangkan, jabatan sebagai Wakil Ketua DPRD, tentunya jabatan yang disandangnya, sudah memberikan jaminan yang sangat cukup untuk menghidupi keluarga. Tetapi karena moralnya yang miring, masih mau juga mencari tambahan dengan cara yang melanggar etika dan hukum.

Masyarakat terkadang juga terbius dengan tingkah manisnya para koruptor, secara tidak sadar di sanjung-sanjung, kerena mereka berbuat baik di mata masyarakat. Seperti pergi haji, membangun sekolahan, membangun masjid, menyantuni anak yatim-piatu dsb.

Semua pasti tahu, bahwa negara Indonesia dengan seluruh isinya dalam segala kehidupannya haruslah berdasarkan pada falsafah Pancasila. Itu sudah komitmen bersama. Bahkan sudah dipikirkan, di rancang sebelum kemerdekaan Indonesia. Setelah Indonesia merdeka ternyata ada beberapa warga negara yang terpenyakit korupsi. Mereka pasti paham, tapi pura-pura tidak paham, bahwa korupsi itu sama saja dengan melanggar ajaran agama, yang terwujud tidak menghayati dan tidak melaksanakan sila Ketuhanan Yang Maha Esa.

Korupsi itu artinya menggunakan uang negara atau perusahaan yang seharusnya dipergunakan untuk kepentingan masyarakat, tetapi di lahap untuk kepentingan pribadi atau golongannya. Tentunya ini membuat usaha mensejahterakan masyarakat terhambat. Bila di tarik lebih mendalam, berarti korupsi juga melanggar hak azasi manusia. Kan sila ke 2, Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab . Hasilnya korupsi bisa dan sering menimbulkan kecurigaan-kecurigaan, menimbulkan konflik. Ini artinya si koruptor tidak ikut melaksanakan sila ke tiga, yaitu Persatuan Indonesia. Ingat Pilkada, Pemilu ada yang dibiayai dengan uang haram hasil korupsi, dan ini mengakibatkan menurunnya kwalitas Pemilu dan Pilkada yang berenteng kepada turunnya kwalitas demokrasi. Demokrasi di Indonesia didasari dengan sila ke 4, Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmah Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan/Perwakilan. Dan yang pada akhirnya secara keseluruhan tidak mencerminkan dan mengganggu sila ke 5, Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

Pada intinya, korupsi merupakan kejahatan yang berlipat dan perlu dihadang oleh seluruh lapisan masyarakat. Meskipun, masyarakat pada umumnya tidak merasa dirugikan secara langsung. Makanya mereka banyak yang acuh serta hanya mengomel, ketika ada pejabat atau tokoh yang kena OTT.

Ada pemikiran pencegahan dan pemberantasan korupsi itu harus benar-benar  dilakukan penegakan disiplin oleh interen, melalui Inspektorat atau Badan Pengawas Perusahaan/Organisasi. Termasuk disini pendisiplinan, penegakkan profesi para hakim. Sehingga tidak ada cerita lagi, hakim itu bisa dibeli

Kedua, penindakan hukuman seberat-beratnya disertai dengan tindakan pemiskinan bagi mereka yang sudah di vonis bersalah. Bagi para penegak hukum yang terlibat dalam masalah perkorupsian, harus benar-benar dilaksanakan penindakkan secara maksimal.Istilah kerennya, tanpa pandang bulu,  Jangan sampai terjadi seperti pada kasus jaksa Pinanti.

Teori gampang, tetapi dalam pelaksanaannya bukan hal yang gampang. Pengaruh sosial dan pengaruh politik lebih kental mendampinginya. Korupsi memang penyakit yang menggelisahkan. Pinjam ilustrasi Sdr.Wahyu Kokkang.Jawa Pos.17.10.2017.

(BUDI SAMPURNO.Mak’skom.IPJT.24.12.22)

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar