Sabtu, 10 Desember 2022

 

 

SDT.SASTRA.28

BUDI SAMPURNO.Des.1




SUCI SANG “GENTAYANGAN”

Cerpen ini di muat di HARIAN JAWA POS terbitan hari Sabtu tgl 9 Juli 2022. Di kemas oleh GUNTUR ALAM. Tinggal di Penukal Abab Lematang Ilir. Sebagai Aparatur Sipil Negara telah membukukan kumpulan cerpennya MAGI PEREMPUAN dan MALAM KUNANG-KUNANG serta beberapa novel horornya yang di cetak GRAMEDIA PUSTAKA UTAMA.

Cerpennya yang di muat di harian JAWA POS  ini di beri judul GENTAYANGAN, serta ilustrasi dikerjakan oleh BUDIONO.Cerpen ini sebenarnya cerita seorang “Aku” yang sedang pulang kekampungnya dan mendapatkan ceritera tentang arwah yang gentayangan. Yang di maksud arwah gentayangan adalah arwah Wahyu yang baru saja meninggal.

 Cerpen ini di buka dengan kalimat : Suci meninggal tujuh hari lalu. Sejak hari itu, setiap malam, orang-orang kampung kami ketakutan lantaran banyak yang melihat arwahnya gentayangan. Tak hanya meneror dengan wujud pocong berwajah pucat, arwah Suci kerap juga muncul dengan pakaian biasa dan rambut panjangnya tergerai sebatas pinggang. Saat di sapa, dia akan menoleh dan memperlihatkan wajahnya yang kadang pucat, kadang pula membusuk penuh ulat yang menggeliat

.Membaca kalimat pembuka serta melihat ilustrasi yang dikerjakan BUDIONO, berupa gambar pocong, sekilas pembaca sudah pasti bisa memahami cerpen ini adalah cerpen yang berceritera bernuansa horror.

Lalu kena apa arwah Suci (Wahyu) kok bisa gentayangan ?. Itu yang diceriterakan oleh GUNTUR ALAM. Suci, ternyata nama aslinya adalah “Wahyu”. Dia dilahirkan sebagai laki-laki. Tetapi tingkah lakunya sejak kanak-kanak menyerupai tingkah sebagai anak perempuan. Ketika sudah menginjak remaja bersekolah SMP, juga masih bertingkah laku seperti remaja perempuan. Bapaknya serta kakaknya sangat tidak senang dengan tingkah lakunya dan sangat membencinya. Sering ditangani sangat kasar . Wahyu sebenarnya anak yang pintar, saleh dan penurut. Suaranya merdu jika mengaji. Berkali-kali diikutkan lomba tingkat Kabupaten sampai Propinsi dan menjadi juara. Bahkan ketika SMP diikutkan lomba Olimpiade Matematika di Jakarta. Setamat SMP, tidak melanjutkan ke SMA. Dia bahkan kabur, karena tak tahan digebuki bapaknya serta kakak-kakaknya yang tidak menyukai tingkah laku Wahyu seperti perempuan.

Di kota tempat pelariannya,”Wahyu “ bekerja di salon dan berganti nama dengan “Suci”.

Ketika Suci (Wahyu) meninggal dunia, di kubur dikampungnya, sesuai permintaan sebelumnya, waktu pulang kampung . Setelah di kubur dan menginjak hari ke-tujuh, mulailah banyak ceritera miring, bahwa arwah Wahyu  bergentayangan serta menakut-nakuti penduduk kampung.

GUNTUR ALAM menggambarkan gelisah dan takutnya orang kampung dengan berbagai contoh kejadian. Misalnya, ketika Bik Anmah habis wudhu di belakang rumahnya, untuk sembahyang mahgrib, melihat seorang perempuan berambut panjang berbalut handuk, berjalan melenggang-lenggok sembari menenteng ember kecil, melewati sumurnya. Bik Anmah menduga, anak gadis itu adalah seseorang yang baru saja selesai mandi. Dan ketika di sapa oleh  Bik Anmah: 

 “Pas ku panggil, menengok dia”, pada bagian ini, suara Bik Anmah mulai bergetar. “ Ya Allah ya Rabbi, terkencing-kencing di celana aku. Sampai terduduk di lantai sumur. Itu Wahyu. Aku ingat persis wajahnya. Dia menyeringai. Aku cuma bisa ngomong …ya Allah…ya…Allah…lalu dia tertawa cekikikan. Pas dengar tawa itu, aku bisa berdiri dan lari lintang pukang menabrak pintu dapur rumah”.

 GUNTUR ALAM menggambarkan lagi arwah gentayangan itu dari obrolan orang-orang yang sedang nongkrong di sebuah warung. Diceritakan ada seorang pemuda yang habis pulang dari rumah pacarnya “ Malam itu, malam ketiga kematiannya,” buka bujang (Idham) umur tujuh belas tahun itu, “Aku baru saja pulang dari rumah pacarku. Kawanku yang ikut membonceng sudah pulang, rumahnya di kampung satu, sementara kita ada di kampung empat”, dia terlihat gugup ketika mengutarakan kisah seram yang dialami. “Awalnya tak ada apa-apa, cuma langit sedikit gerimis. Tapi…” dia menelan ludah mungkin yang sudah terasa pahit. Saat sekitar tiga sampai empat rumah lagi rumahnya almarhum itu”, sejak kejadian malam itu, dia tak berani lagi menyebut nama Suci ataupun Wahyu, “Aku mencium bau jeruk purut dan kapur barus. Aku ingat, bau  macam itu bau mayit. Bulu kudukku meriap. Nah, nah, tengoklah,” dia menunjuk lengannya yang berbulu, rambut-rambut halus itu, tegak menyangkak, seperti duri landak, “Persis seperti ini. Ya Allah….” desaunya.” Menceritakan ulang saja, aku masih takut”.

“ Ketika mendekati rumahnya, aku melihat ada kain putih yang terjuntai dari dahan jambu”, dia menelan ludah. “Tentu saja aku dengan buyannya mendongak keatas. Mati maaaakk, aku kencing di celana. Motorku mendadak mati pula. Almarhum itu duduk berayun-ayun di dahan jambu”.

 Pergunjingan di warung kopi itu semakin memanas. Mereka mereka-reka, kena apa arwah Wahyu sampai gentayangan menakuti-nakuti orang kampung di mana tempat dia dilahirkan. Seseorang mengatakan, bahwa Wahyu tidak di terima di tanah bumi. Karena dia adalah banci. Ada yang berkesimpulan, ketika Wahyu di kubur diperlakukan seperti seorang perempuan, padahal dia adalah laki-laki. Dikuburkan sebagai seorang perempuan itu atas permintaan Wahyu sendiri kepada warga ketika pulang mudik ke kampung. Dan ketika meninggal orang kampung tidak banyak yang datang melayat. Yang melayat dan mengurus jenazahnya justru teman-teman bancinya dari kota. Dimungkinkan ngurusnya tidak sesuai syariat.

Yang lain menduga-duga bahwa waktu dimasukkan ke liang lahat, mereka lupa melepaskan tali pocongnya.Yang hadir di warung itu  saling berpikir, bagaimana cara mengatasinya supaya tidak ada lagi roh yang gentayangan menteror warga kampung. Seorang mengusulkan :

“ Ada dua cara”, orang yang terus menerus mencibir itu terdengar lagi berbicara.

Langkah pertama yang pasti sulit dan berat, ya minta kelurganya gali kuburan si Wahyu itu. Urus ulang jenazahnya sesuai syariat. Tapi siapa yang mau?. Baru awal mati saja, banyak yang tidak mau. Apalagi kalau sudah seminggu di dalam tanah”.Beberapa orang pasi dan menelan ludah." Langkah ke dua, yang termudah”, suaranya terdengar riang. “Katanya, kalau ada yang mati dan arwahnya gentayangan, kita siram kuburannya dengan air perasan jeruk atau arak putih. Di jamin arwahnya tidak bisa kabur lagi”.

 Suasana di warung itu menjadi sepi. Si “Aku” yang ikut duduk di warung serta mendengarkan celotehan para pengunjung warung, terdiam. Tidak bisa memberikan komentar apa-apa. Wahyu adik kelas dan dia memang anak yang cerdas ketika SD serta SMP. Kekurang dekatan hubungan dikarenakan beda kelas menyebabkan “Aku” tidak banyak tahu tentang luka-luka yang di simpan Wahyu dalam menjalani hidupnya. Wahyu terombang-ambing dalam menjalani takdir serta nasibnya. Tetapi “Aku” tetap menghargai permintaannya.

 Aku selalu ingat permintaannya saat aku menggunting rambut ditempatnya bekerja dulu.“ Jangan panggil Wahyu, Bang. Panggil aku Suci”. Aku memanggil Suci. Wajahnya terlihat senang. Aku tak tahu, apakah yang kulakukan itu sangat berarti baginya. Ada beberapa hal yang kuyakini, salah satunya setiap orang berhak di panggil dengan nama yang dia sukai. Aku tidak ingin bicara tentang benar dan salah. Sebab, setiap orang dewasa bebas memilih jalan hidupnya. Urusan dosa, itu urusan dia dengan Tuhan-nya. Aku tak berhak menghakiminya.

 Cerpen yang pada awalnya mengindikasikan horror, tetapi setelah di baca kesan horornya luntur dengan sendirinya di akhir cerita. Cerpen yang di kemas oleh GUNTUR ALAM membawa pesan moral yang pantas kita renungkan. Siapapun yang memiliki kekurangan, termasuk banci, pasti bukan atas kehendaknya. Tetapi atas kehendakNya. Dan di dalam kehidupan bermasyarakat sebaiknya jangan mereka-reka hal yang tidak pasti. Hal yang tidak pasti jangan dibicarakan dengan menduga-duga. Benarkah ada arwah yang gentayangan?. GUNTUR ALAM menutup kemasan cerpennya dengan petuah guru ngajinya. Yang tentu itu bisa lebih di percaya.

 Tentang arwah Suci yang gentayangan, aku juga tak tahu, apakah itu benar arwah Suci yang tidak diterima  tanah bumi seperti yang diucapkan orang-orang kampung kami?.

Namun aku ingat, dulu guru ngaji kami pernah mengatakan, “Tak ada hantu. Roh orang yang meninggal tidak akan bisa gentayangan. Yang kalian lihat itu jin. Jin yang menyerupai dan menakut-nakuti”Selamat buat sdr.GUNTUR.(BUDI SAMPURNO.Maks’kom.IPJT.10.12.2022)

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar