SDT.SASTRA.28
BUDI
SAMPURNO.Des.1
SUCI
SANG “GENTAYANGAN”
Cerpen
ini di muat di HARIAN JAWA POS terbitan hari Sabtu tgl 9 Juli 2022. Di kemas
oleh GUNTUR ALAM. Tinggal di Penukal Abab Lematang Ilir. Sebagai Aparatur Sipil
Negara telah membukukan kumpulan cerpennya MAGI PEREMPUAN dan MALAM
KUNANG-KUNANG serta beberapa novel horornya yang di cetak GRAMEDIA PUSTAKA
UTAMA.
Cerpennya
yang di muat di harian JAWA POS ini di
beri judul GENTAYANGAN, serta ilustrasi dikerjakan oleh BUDIONO.Cerpen
ini sebenarnya cerita seorang “Aku” yang sedang pulang kekampungnya dan
mendapatkan ceritera tentang arwah yang gentayangan. Yang di maksud arwah
gentayangan adalah arwah Wahyu yang baru saja meninggal.
Cerpen
ini di buka dengan kalimat : Suci meninggal tujuh hari lalu. Sejak hari itu,
setiap malam, orang-orang kampung kami ketakutan lantaran banyak yang melihat
arwahnya gentayangan. Tak hanya meneror dengan wujud pocong berwajah pucat,
arwah Suci kerap juga muncul dengan pakaian biasa dan rambut panjangnya
tergerai sebatas pinggang. Saat di sapa, dia akan menoleh dan memperlihatkan
wajahnya yang kadang pucat, kadang pula membusuk penuh ulat yang menggeliat
.Membaca
kalimat pembuka serta melihat ilustrasi yang dikerjakan BUDIONO, berupa gambar
pocong, sekilas pembaca sudah pasti bisa memahami cerpen ini adalah cerpen yang
berceritera bernuansa horror.
Lalu
kena apa arwah Suci (Wahyu) kok bisa gentayangan ?. Itu yang diceriterakan oleh
GUNTUR ALAM. Suci, ternyata nama aslinya adalah “Wahyu”. Dia dilahirkan sebagai
laki-laki. Tetapi tingkah lakunya sejak kanak-kanak menyerupai tingkah sebagai
anak perempuan. Ketika sudah menginjak remaja bersekolah SMP, juga masih
bertingkah laku seperti remaja perempuan. Bapaknya serta kakaknya sangat tidak
senang dengan tingkah lakunya dan sangat membencinya. Sering ditangani sangat
kasar . Wahyu sebenarnya anak yang pintar, saleh dan penurut. Suaranya merdu
jika mengaji. Berkali-kali diikutkan lomba tingkat Kabupaten sampai Propinsi
dan menjadi juara. Bahkan ketika SMP diikutkan lomba Olimpiade Matematika di
Jakarta. Setamat SMP, tidak melanjutkan ke SMA. Dia bahkan kabur, karena tak
tahan digebuki bapaknya serta kakak-kakaknya yang tidak menyukai tingkah laku
Wahyu seperti perempuan.
Di
kota tempat pelariannya,”Wahyu “ bekerja di salon dan berganti nama dengan
“Suci”.
Ketika
Suci (Wahyu) meninggal dunia, di kubur dikampungnya, sesuai permintaan
sebelumnya, waktu pulang kampung . Setelah di kubur dan menginjak hari
ke-tujuh, mulailah banyak ceritera miring, bahwa arwah Wahyu bergentayangan serta menakut-nakuti penduduk
kampung.
GUNTUR
ALAM menggambarkan gelisah dan takutnya orang kampung dengan berbagai contoh
kejadian. Misalnya, ketika Bik Anmah habis wudhu di belakang rumahnya, untuk
sembahyang mahgrib, melihat seorang perempuan berambut panjang berbalut handuk,
berjalan melenggang-lenggok sembari menenteng ember kecil, melewati sumurnya.
Bik Anmah menduga, anak gadis itu adalah seseorang yang baru saja selesai
mandi. Dan ketika di sapa oleh Bik Anmah:
“Pas
ku panggil, menengok dia”, pada bagian ini, suara Bik Anmah mulai bergetar. “
Ya Allah ya Rabbi, terkencing-kencing di celana aku. Sampai terduduk di lantai
sumur. Itu Wahyu. Aku ingat persis wajahnya. Dia menyeringai. Aku cuma bisa
ngomong …ya Allah…ya…Allah…lalu dia tertawa cekikikan. Pas dengar tawa itu, aku
bisa berdiri dan lari lintang pukang menabrak pintu dapur rumah”.
GUNTUR
ALAM menggambarkan lagi arwah gentayangan itu dari obrolan orang-orang yang
sedang nongkrong di sebuah warung. Diceritakan ada seorang pemuda yang habis
pulang dari rumah pacarnya “ Malam itu, malam ketiga kematiannya,” buka
bujang (Idham) umur tujuh belas tahun itu, “Aku baru saja pulang dari rumah
pacarku. Kawanku yang ikut membonceng sudah pulang, rumahnya di kampung satu,
sementara kita ada di kampung empat”, dia terlihat gugup ketika mengutarakan
kisah seram yang dialami. “Awalnya tak ada apa-apa, cuma langit sedikit
gerimis. Tapi…” dia menelan ludah mungkin yang sudah terasa pahit. Saat sekitar
tiga sampai empat rumah lagi rumahnya almarhum itu”, sejak kejadian malam itu,
dia tak berani lagi menyebut nama Suci ataupun Wahyu, “Aku mencium bau
jeruk purut dan kapur barus. Aku ingat, bau macam itu bau mayit. Bulu kudukku meriap. Nah,
nah, tengoklah,” dia menunjuk lengannya yang berbulu, rambut-rambut halus itu,
tegak menyangkak, seperti duri landak, “Persis seperti ini. Ya Allah….”
desaunya.” Menceritakan ulang saja, aku masih takut”.
“
Ketika mendekati rumahnya, aku melihat ada kain putih yang terjuntai dari dahan
jambu”, dia menelan ludah. “Tentu saja aku dengan buyannya mendongak keatas.
Mati maaaakk, aku kencing di celana. Motorku mendadak mati pula. Almarhum itu
duduk berayun-ayun di dahan jambu”.
Pergunjingan
di warung kopi itu semakin memanas. Mereka mereka-reka, kena apa arwah Wahyu
sampai gentayangan menakuti-nakuti orang kampung di mana tempat dia dilahirkan.
Seseorang mengatakan, bahwa Wahyu tidak di terima di tanah bumi. Karena dia
adalah banci. Ada yang berkesimpulan, ketika Wahyu di kubur diperlakukan
seperti seorang perempuan, padahal dia adalah laki-laki. Dikuburkan sebagai
seorang perempuan itu atas permintaan Wahyu sendiri kepada warga ketika pulang
mudik ke kampung. Dan ketika meninggal orang kampung tidak banyak yang datang
melayat. Yang melayat dan mengurus jenazahnya justru teman-teman bancinya dari
kota. Dimungkinkan ngurusnya tidak sesuai syariat.
Yang
lain menduga-duga bahwa waktu dimasukkan ke liang lahat, mereka lupa melepaskan
tali pocongnya.Yang
hadir di warung itu saling berpikir,
bagaimana cara mengatasinya supaya tidak ada lagi roh yang gentayangan menteror
warga kampung. Seorang mengusulkan :
“
Ada dua cara”, orang yang terus menerus mencibir itu terdengar lagi berbicara.
Langkah
pertama yang pasti sulit dan berat, ya minta kelurganya gali kuburan si Wahyu
itu. Urus ulang jenazahnya sesuai syariat. Tapi siapa yang mau?. Baru awal mati
saja, banyak yang tidak mau. Apalagi kalau sudah seminggu di dalam tanah”.Beberapa
orang pasi dan menelan ludah." Langkah ke dua, yang termudah”, suaranya terdengar riang. “Katanya, kalau ada
yang mati dan arwahnya gentayangan, kita siram kuburannya dengan air perasan
jeruk atau arak putih. Di jamin arwahnya tidak bisa kabur lagi”.
Suasana
di warung itu menjadi sepi. Si
“Aku” yang ikut duduk di warung serta mendengarkan celotehan para pengunjung
warung, terdiam. Tidak bisa memberikan komentar apa-apa. Wahyu adik kelas dan
dia memang anak yang cerdas ketika SD serta SMP. Kekurang dekatan hubungan
dikarenakan beda kelas menyebabkan “Aku” tidak banyak tahu tentang luka-luka
yang di simpan Wahyu dalam menjalani hidupnya. Wahyu terombang-ambing dalam
menjalani takdir serta nasibnya. Tetapi “Aku” tetap menghargai permintaannya.
Aku
selalu ingat permintaannya saat aku menggunting rambut ditempatnya bekerja
dulu.“
Jangan panggil Wahyu, Bang. Panggil aku Suci”. Aku memanggil Suci. Wajahnya
terlihat senang. Aku tak tahu, apakah yang kulakukan itu sangat berarti
baginya. Ada beberapa hal yang kuyakini, salah satunya setiap orang berhak di
panggil dengan nama yang dia sukai. Aku tidak ingin bicara tentang benar dan
salah. Sebab, setiap orang dewasa bebas memilih jalan hidupnya. Urusan dosa,
itu urusan dia dengan Tuhan-nya. Aku tak berhak menghakiminya.
Cerpen
yang pada awalnya mengindikasikan horror, tetapi setelah di baca kesan horornya
luntur dengan sendirinya di akhir cerita. Cerpen yang di kemas oleh GUNTUR ALAM
membawa pesan moral yang pantas kita renungkan. Siapapun yang memiliki
kekurangan, termasuk banci, pasti bukan atas kehendaknya. Tetapi atas
kehendakNya. Dan di dalam kehidupan bermasyarakat sebaiknya jangan mereka-reka
hal yang tidak pasti. Hal yang tidak pasti jangan dibicarakan dengan
menduga-duga. Benarkah ada arwah yang gentayangan?. GUNTUR ALAM menutup kemasan
cerpennya dengan petuah guru ngajinya. Yang tentu itu bisa lebih di percaya.
Tentang
arwah Suci yang gentayangan, aku juga tak tahu, apakah itu benar arwah Suci
yang tidak diterima tanah bumi seperti
yang diucapkan orang-orang kampung kami?.
Namun
aku ingat, dulu guru ngaji kami pernah mengatakan, “Tak ada hantu. Roh orang
yang meninggal tidak akan bisa gentayangan. Yang kalian lihat itu jin. Jin yang
menyerupai dan menakut-nakuti”Selamat
buat sdr.GUNTUR.(BUDI SAMPURNO.Maks’kom.IPJT.10.12.2022)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar