Minggu, 27 November 2022

 

 

SDT.NGOBROL.19

BUDI SAMPURNO.NOP.2



NGOBROL PUTUSAN HAKIM

Wagiarti wajahnya tegang, ketika Wagiman kembali ke teras sambil membawa gunting dan botol lem. Wagiman heran melihat wajah isterinya tegang. Setelah duduk disampingnya Wagiman mulai melempar pertanyaan.

WAGIMAN     : “Ada apa bu?. Kok sambil mbanting koran. Salah apa koran kok di banting gitu?”

WAGIARTI    : “ Itu……!. Hakim nggak beres. Coba kalau anaknya sendiri yang digituin, apa nggak marah, apa nggak prihatin. Apa nggak sedih. Apa nggak malu?”.

WAGIMAN     : “ Lho…lho kok bawa-bawa hakim”.

WAGIARTI    : “ Itu lho pak…hakim yang mengadili pemerkosa di Jombang. Sudah bikin malu warga Jombang, yang katanya Jombang itu kota santri. Tapi kok punya warga yang bejad gitu!”.

WAGIMAN     : “ Ooooo Siapa itu…si Bechi”.

WAGIARTI    : “ Ya!. Anaknya yang punya pondok pesantren. Masa cuma di putus tujuh tahun penjara”.  

WAGIMAN     : “ Lho, hakim itu kan pasti punya alasan, dan berbagai pertimbangan yang valid dan syah, bu”.

WAGIARTI    :  “ Alasan sih alasan…… Pertimbangan sih pertimbangan, pak. Padahal sangat tidak kooperatif, waktu mau di tangkap, di jemput polisi dipondoknya kan sangat sulit. Bapaknya kan ya melindungi. Sampai Kapolsek

atau Kapolres itu dulu yang viral di medsos. polisi kok munduk-munduk pada bapaknya. Viral, rame dicemooh masyarakat di medsos.

WAGIMAN  : “ Sabar, bu…sabar… nggak usah emosi”.

WAGIARTI  : “ Ya emosi pak. Saya ini perempuan. Sama dengan santriwatinya yang jadi korban”.

WAGIMAN  : “ I…ya…isteriku. Tekanan darah tingginya naik lagi lho “.

WAGIARTI  : “ Gombal…!. Coba bapak baca alasan dan pertimbangan hakim memutuskan tujuh tahun”.

WAGIMAN  : “ Nggih, bu isteriku sayang…. Mana korannya”.

WAGIARTI : “ Nih, pak korannya. Beritanya di halaman pertama, ada fotonya si bejad lagi tuh….”.

WAGIMAN : “ Bapak baca yang beritanya tentang alasan hakim….Vonis tujuh tahun yang di terima Bechi  itu lebih ringan dari pada tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU). Sebelumnya jaksa meminta hakim menjatuhkan hukuman pidana 16 tahun penjara. Majelis berpendapat  bahwa Bechi  memiliki tanggungan keluarga. Pria 42 tahun itu juga di anggap masih muda sehingga masih bisa memperbaiki diri”.

WAGIARTI   : “ Nah…tuh…alasan hakim, coba kalau anaknya sendiri yang di perkosa, apa nggak penceng dia”.

WAGIMAN   : “ Sabar, bu…ini kan belum putusan akhir .Dan hakim beralasan, terdakwa itu masih muda jadi masih bisa memperbaiki diri. Harapannya menjadi orang baik-baik”.

WAGIARTI : “ Lho kok bapak itu mbelain dia si Bechi bekicot itu. Pak…Saya ini perempuan, pak! “.

WAGIMAN : “ Lah…ya tahu bu. Kalau ibu itu perempuan. Kan sudah jadi isteri bapak bertahun-tahun dan sudah menghasilkan anak-anak yang hebat-hebat. Masak bapak itu nggak tahu kalau ibu  seorang perempuan “.

WAGIARTI  : “ Gombal….saya perempuan makanya saya ngomong. Alasannya Bechi bekicot itu masih muda dan masih bisa memperbaiki diri dan menjadi orang baik”.

WAGIMAN  : “ Ya itu harapan majelis hakim….”

WAGIARTI  : “  Lalu…para santriwati yang di perkosa itu apa ya bisa balik jadi perawan lagi….Nggak bisa pak !”.

WAGIMAN  : “ Wah…wah…. Kalau itu bapak nyerahlah….Kalau bisa enak ya….Ibu bisa jadi perawan lagi, meskipun bapak tidak pernah memperkosa ibu…”.

WAGIARTI  : “ Gombal lagi bapak ini “.

WAGIMAN  : “ Ha ha ha…..Lho bu ada tamu itu. Bu siapa itu…?!”.

WAGIARTI : “ O…bu Sonny…..Ibu ini juga marah dengan putusan hakim penceng itu, pak!”.

WAGIMAN  : “ Wah…nanti ini bisa seru pembicaraan. Sudah, saya tak masuk saja…. Tidur…enak…”.

WAGIARTI : ” Gombal lagi bapak ini….! Mari bu Sonny, masuk….duduk di teras …”.

Wagiman berdiri dan buru-buru masuk rumah sambil menyaut tumpukan klipingnya. Wagiarti menyambut tamunya dengan senyum ramah.(Budi Sampurno.Mak’skom.IPJT.27.11.2022)

 

 

 

 

Selasa, 15 November 2022

 SDT.NGOBROL.18

BUDI SAMPURNO.NOP.1



NGOBROL MELAMIN

Begitu acara sosialisasi selesai, Wagiarti mendekat Ibu Direktur Akademi Pharmasi, untuk pamit. Ibu Direktur menyambut ramah dengan senyum penuh keibuan. Sosialisasi diselenggarakan di Balai RW dan materi di isi oleh Akademi Pharmasi Ketintang Surabaya dengan tema “ SOSIALISASI PEMILIHAN PERALATAN MAKAN DAN MINUM BERBAHAN MELAMIN “.

Sesampai di rumah sudah terlihat Wagiman duduk di teras sambil membaca koran, disampingnya terlihat tumpukan kliping kesayangannya. Setelah cuci tangan, cuci kaki dan menyemprot pakaiannya dengan alkohol, langsung masuk ke dalam rumah. Tak lama, Wagiarti beranjak ke teras lagi sambil membawa baki berisi segelas kopi panas. Lalu ikut duduk di dekat Wagiman. Tangannya meraih brosur sosialisasi di atas meja.

WAGIARTI    : “ Maaf ya pak. Tadi nggak sempat membuatkan kopi. Habis tadi acaranya pagi sekali. Sebelum ceramah, senam dulu”.

WAGIMAN      : “ Nggak apa-apa bu. Toh sekarang ibu sudah membuatkan kopinya. Bapak ini kan suami yang baik, penuh pengertian”.

WAGIARTI    : “ O…. Gombal”.

WAGIMAN     : “ Tadi sosialisasi apa bu , kok kelihatannya serius dan penting, gitu…Kok pulang bawa brosur?”.

WAGIARTI    : “ Penting pak, itu…pemakaian alat masak-memasak yang bahannya terbuat dari melamin. Ternyata bisa berbahaya kalau salah pilih alat yang bermelamin. Ya boleh sih pakai, tetapi harus di pilih betul”.

WAGIMAN   : “ Maksudnya ? Kan kita juga punya piring yang bahannya dari melamin. Ada piring, ada gelas.”

WAGIARTI   : “ Ya, untungnya piring dan gelas melamin yang kita beli itu sudah betul pak. Sesuai dengan syarat untuk kesehatan. Karena ternyata yang di produksi dan di jual di toko-toko itu ada yang sudah memenuhi syarat, tetapi ada pula yang  belum dan tidak memenuhi syarat kesehatan”.

WAGIMAN   : “ Lah kok…?. Bapak yakin masyarakat pasti banyak yang tidak tahu!. Untung ibu tadi datang memenuhi undangan acara di Balai RW”.

WAGIARTI  : “  Ya itulah pak “.

WAGIMAN  : “ Lalu bagaimana caranya kita tahu, peralatan itu memenuhi sysrat apa tidak, bu ?”.

WAGIARTI  : “ Nih pak. Di brosur disebutkan, melamin asli itu. Lebih mengkilat; harga lebih mahal; tidak mengeluarkan bau menyengat bila di rebus; permukaan piring licin dan lebih berkilau serta lebih berat,  lebih tebal”.

WAGIMAN   : “ Itu ciri-ciri yang asli. Lha yang palsu ?. Pasti harga lebih murah…he he he…”.

WAGIARTI   : “ Pak ini serius pak!. Kalau salah pilih bisa terkena penyakit kanker lho…!. Nah ini ciri-ciri melamin yang palsu pak.  Warnanya lebih kusam: harga lebih murah; mengeluarkan bau menyengat bila di rebus yang merupakan bau formalin; permukaan piring melamin palsu mudah ternoda oleh makanan atau bahan yang berwarna seperti kopi, teh. Dan warnanya akan berubah lebih gelap dalam waktu yang singkat. Melamin palsu itu lebih terkesan seperti piring plastik”.

WAGIMAN   : “ Kalau begitu acara tadi amat bermanfaat ya bu..”.

WAGIARTI  : “ I ya  pak. Ibu-ibu tadi juga manggut-manggut, ketika Bu Direktur….siapa tadi namanya….Bu Nunik…atau Ninik gitu lho. Nah…katanya, melamin yang aman itu, ketika membeli harus di pilih yang ciri-cirinya ada logo SNI; ada stiker Food Grade Melamine; terdapat merek dan nama produsen yang jelas; pilih yang berlogo PP—Polyprophylene.

WAGIMAN   : “ Apa itu bu,  polyprophylene…?”

WAGIARTI   : “ Lha ini pak….yang tadi saya nggak nangkap artinya. Ah… besuk kalau ketemu bu Direktur…bu Ninik mau saya tanyakan lagi ah. Biar saya lebih mudeng dan nantinya nggak salah pilih”.

WAGIMAN   : “ Bu Direktur tadi memberi penjelasan apa lagi?. Misalnya, peralatan itu melamin itu jangan digunakan lagi…apa bila……”.

WAGIARTI   : “ O…I ya pak. Seperti, kalau sudah tergores jangan di pakai lagi; jangan mengukus atau meng-oven peralatan melamin, jangan digunakan untuk masakan yang asem, apa lagi dalam keadaan panas; jangan menggunakan detergen yang keras untuk membersihkan karena permukaannya cepat rusak”.

WAGIMAN   : “ Nah itu bu. Ikuti petunjuknya tadi”.

WAGIARTI  : “ Pasti pak !. Kalau nggak…bisa terserang kanker dan radang ginjal. Ngeri pak!.

Wagiarti mendongak arah langit. Langsung berdiri lari ke belakang sambil berteriak : “ Gerimis pak. Ibu angkat jemuran dulu. Itu…kopinya dihabisin…kalau nggak habis, nggak mau bikini lagi lho…!”.

Wagiman berdiri, tersenyum sambil mereguk habis wedang kopinya. (BUDI SAMPURNO. Mak’skom.IPJT.15.11.2022)

 

 

 

Kamis, 10 November 2022

 

 

SDT.SASTRA.27

BUDI SAMPURNO.NOP.2


MBAH DIMAN TERBANG BERSAYAP MALAM.

Hari Minggu ini tgl. 6 Nopember 2022, Harian KOMPAS membuat saya tergelitik, karena memuat sebuah cerpen yang berbau kejawen. Di tulis oleh AHIMSA MARGA. Dia adalah wartawan senior yang sebenarnya bernama MARIA HARTININGSIH. Di masanya di kenal sebagai sosok yang gigih memperjuangkan hak-hak azasi manusia, terutama bagi anak, perempuan,  dan kelompok yang dimarjinalkan. Pernah mendapat penghargaan YAP THIAM HIEN di bidang edukasi HAM di tahun 2003. Judul cerpennya terdengar sangat puitis “MBAH DIMAN TERBANG BERSAYAP MALAM”

Cerpen ini juga dilengkapi illustrasi oleh LAKSMI SHITARESMI . Sudah sering dia mengadakan pameran tunggal di dalam negeri dan di luar negeri. Antara lain di Jepang dan di Chile.

Dalam cerpen ini, tokoh “Aku” mendapat tugas dari keluarga untuk ngopeni rumah warisan dari Ibu. Tapi “Aku” tinggal di luar kota, maka yang dipasrahi atau dititipi menjaga serta merawat rumah almarhumah Ibu adalah Pardi dan keluarganya. Suatu ketika “Aku” menengok rumah Ibu, Pardi melapor dan meminta ijin dan ini yang menjadi pembuka cerpen AHIMSA MARGA :

 

“Bude, ini mbah Diman”, ujar Pardi, anak tetangga yang di anggap mendiang ibuku sebagai cucunya. Aku menitipkan rumah ibu kepada Pardi dan keluarganya, untuk dijaga dan dirawat.” Saya minta maaf, lancang, tidak bilang sama bude dulu. Tapi boleh, ya Mbah Diman tinggal disini sekalian jaga rumah”.

Tubuh tua itu sedikit membungkuk, lalu kedua telapak tangannya ditangkupkan, memandangku dengan tatapan teduh.

Menurut Pardi, diizinkan tinggal di tumah itu adalah berkah bagi Mbah Diman setelah beberapa tahun harus pindah dari tempat ke satu ke tampat lain di rumah-rumah mereka yang katanya kerabat. Ketika tak ada lagi yang mau menampungnya, Mbah Diman tidur di pos-pos ronda. Tapi bagiku, kehadirannnya adalah berkah. Kuyakini tidak ada kebetulan di dunia ini.

Kehadiran Mbah Diman di rumah almarhumah Ibu membawa kesan tersendiri terhadap “Aku” dan pada suatu saat, Mbah Diman berbicara :

“ Nduk, Mbah sering membersihkan kamar ibumu. Boleh kan…”

“ Mbah berani masuk kamar itu karena ibumu yang minta kamarnya dibersihkan”, sambungnya sebelum sempat kujawab.

Aku tertegun. Kupandang wajahnya dengan mata berkaca-kaca, bukan karena urusan kamar ibu, tetapi dari wajah itu aku melihat kilasan gambar tentang hidupnya.

Dia seperti membaca pikiranku

“ Mbah tidak apa-apa, Ndhuk. Terima kasih sekali sudah boleh numpang di sini”. Dia melanjutkan, “Hidup ini cuma harus dijalani, tidak usah banyak tanya karena banyak hal tidak butuh jawaban”.

Aaah….aku seperti mendengar suara ibuku.

Tapi, aku bergeming, malah terus berusaha memenuhi rasa ingin tahuku.

Mbah tidak marah pada nasib?. Tidak benci pada mereka yang jahat pada Mbah?.

 “ Lha buat apa, Nduk…” jawabnya, terkesan ringan dengan nada suara rendah. “ Wong nandur, ngundhuh, utang , mbayar”. Yang nenanam, menuai, yang utang harus bayar, katanya. “ Mungkin, entah kapan, Mbah juga pernah nandur barang jelek, pernah utang tapi ngemplang, nggak pernah bayar…. Semua harus di bayar, Ndhuk, kapanpun waktunya”.

“Aku” mendengarkan terus apa yang dibicarakan Mbah Diman, ini benar-benar memberi makna yang dalam tentang kehidupan manusia. Pemahaman kehidupan disampaikan :

“ Senang susah itu hanya istilah Ndhuk. Seperti pagi dan sore, fajar dan senja, panas dingin…semua itu kelengkapan hidup, terus berputar, tidak ada yang tetap. Semua hanya ada pada satu kedipan mata. Jadi, mau direndahkan, di hina, di cerca, ibaratnya di lempar kotoran, ya wis, tak tampa wae, saya terima saja. Mbah hanya  menjalani yang harus dijalani. Tidak kurang, tidak lebih”.

Tokoh si “Aku” merasa menjadi lebih dekat dengan sosok Mbah Diman : Entah mulai kapan terbersit keinginan untuk selalu menjumpainya. Secara perlahan, aku merasa menemukan ibuku dalam sosok renta ini.

Meski dadaku selalu berpasir setiap kali menyimaknya, mata batinku semakin terang benderang.

Penulis AHIMSA MARGA memberi kesan, bahwa ternyata Mbah Diman itu punya selera yang cukup tinggi dalam hal menikmati musik, karena “Aku” pernah memergoki :

Pernah suatu saat, tanpa memberi tahu, aku datang begitu saja. Ketika wajah sejuk itu muncul dari balik pintu, kudengar denting piano dari sepotong “Spring Waltz” nya Chopin, sebelum dia buru-buru minta izin untuk kekamarnya, dan musik lembut segera di sapu denyut sepi di ruang tamu.

“ Kok dimatikan, Mbah?. Saya suka…”

Mbah Diman hanya tersenyum

Dalam memenuhi kebutuhan hidup phisiknya Mbah Diman juga amat sederhana :

Mbah Diman hanya makan umbi-umbian dan dedaunan tanpa garam. Dia tidak merokok, tidak minum kopi, teh, gula, hanya air panas. Dia jengah ketika kusebut pilihan itu sebagai “puasa” atau “tirakat”.

“ Cuma kebiasaan, Ndhuk. Ngleremaken ingkang wonten ngriki, ujarnya sambil menaruh ke dua telapak tangannya ke dada. Menenangkan yang di dalam ini, katanya.

Saya sebagai pembaca memberanikan diri untuk mengatakan, bahwa sosok Mbah Diman adalah sosok yang menjabarkan dengan jelas gamblang arti kehidupan manusia. Kedekatan batin tokoh “Aku” menjadi lebih gamblang lagi diceriterakan oleh AHIMSA MARGA  dalam penutup cerpennya:

Semalam aku bermimpi, menjumpainya di suatu padang yang sangat lapang. Dia tampak segar. Wajahnya bersih, berseri. Aku lupa dia bicara apa, kecuali “Nduk, gaman hidup ini hanyalah tekad untuk terus berjalan ke depan, menempatkan yang sudah lewat, dibelakang. Ilmunya pasrah, berserah. Mantranya keadilan dari Sang Pemberi Hidup. Pangeran Ingkang Paring Gesang.

Sebuah kereta sudah menunggunya.

“ Terima kasih sekali sudah bersedia menampung Simbah. Simbah berangkat ya. Andum slamet, Nduk….”.

Kereta melesat. Aku tergagap bangun, subuh. Mataku basah.

Selama beberapa pekan ini tak kudengar kabar Mbah Diman. Semoga dia baik-baik saja. “ Bulan depan aku datang Mbah…., “ bisikku.

Pagi itu seperti biasa, ku buka Whasapp.

Dari Pardi, “ Bude, Mbah Diman sampun kondur, semalam, pukul 23.55”.

Bagi saya cerpen AHIMSA MARGA  ini memberikan pesan moral yang kuat. Sering kita dengar dalam piwulang manusia Jawa. Manusia hidup di dunia ini memang tidak selamanya. Hanya sebentar, ” Mampir ngombe”. Oleh karenanya, untuk sangu hidup di alam “sana”, harus punya bekal. Makanya hidup ini harus dijalani dengan sabar, ikhlas dan mensyukuri apa adanya yang diberikan oleh Sang Maha Pencipta. Kita harus pasrah, tetapi juga harus selalu berusaha untuk kesempurnaan hidup.

Dalam usaha mencapai kesempurnaan hidup, pasti pernah punya salah, oleh karenanya pasti pada suatu saat akan memperoleh seperti yang dikatakan oleh Mbah Diman. Wong nandur, ngunduh, utang mbayar. Yang menanam, menuai, yang utang harus bayar. Mungkin entah kapan Mbah juga pernah nandur barang jelek, pernah utang tapi ngemplang, nggak pernah bayar. Namun itu semua harus di bayar, kapanpun waktunya. Hidup ini cuma harus dijalani, tidak usah banyak tanya karena banyak hal tidak butuh jawaban.

Dan memang manusia itu hanyalah “wayang”. Jadi kesemuanya tergantung pada Sang Pencipta. Kita tidak bisa membantah. (BUDI SAMPURNO.Mak’skom.IPJT.10.11.2022)

 

 

Sabtu, 05 November 2022

 

SDT.SASTRA.26

BUDI SAMPURNO.Nop.1


PILIHAN BAPAK : KELUARGA RUWET

Seperti biasa harian KOMPAS di hari Minggu pasti memuat cerita pendek. Kali ini karya ATTA VERIN yang di pilih, berjudul PILIHAN BAPAK. Di muat tgl 4 September 2022.  Penulis tinggal di Ponggok, Klaten, Jawa Tengah. Dan dibuatkan ilustrasi oleh THOMAS ARI KRISTIANTO, pengajar desain di ITS.

Cerpen di buka dengan pendahuluan: “ Kamu punya pilihan untuk membenciku seumur hidupmu atau tetap mencintaiku seperti saat kamu kecil dulu. Pesan singkat itu menjadi alasan aku memutuskan untuk mengunjunginya di penjara dua hari menjelang dia dieksekusi. Sebelumnya, aku tak mau bertemu dengannya meskipun dia mengiba-iba ingin memandangi wajah cucu-cucunya untuk terakhir kalinya “.

     Cerpen ini menjabarkan suatu keadaan satu keluarga yang ruwet. Ada bapak, ibu, dan empat orang anaknya. Paskal anak pertama, Sidik anak kedua, Widi anak ke tiga dan Jenar anak ke empat. Ibu dan ke empat anaknya digambarkan sangat membenci bapaknya dengan kadar kebencian yang berbeda-beda. Bapaknya di anggap sebagai pembunuh ibunya. Tercermin dalam kalimat yang disusun dengan apik oleh ATTA VERIN :

     Aku tak bisa memaafkan malam terkutuk  ketika Bapak membiarkan ibu merangkak ke dapur. Ibu sakit parah sehingga tak mampu berjalan sendiri dan waktu itu di rumah hanya ada Bapak. Rekaman CCTV rumah memperlihatkan Ibu memanggil-manggil Bapak di kamarnya—mungkin berteriak, tapi tentu saja CCTV tidak memunculkan suara apapun—dan Bapak tak juga keluar. Ibu lalu merangkak sendiri dari ranjangnya menuju dapur, mungkin untuk mengambil air minum. Sebelum sampai ke dapur, salah satu kakinya menabrak kaki penyangga TV di ruang tengah. Kotak pelantang yang besar dan berat itu jatuh tepat di kepala  Ibu.

     Di ruang gawat darurat Bapak menghampiri Ibu untuk membacakan Surat Yasin, tetapi Ibu hanya menatap wajah Bapak dengan sorot kebencian, lalu memalingkan wajah. Sampai akhir hayatnya, Ibu tak pernah memaafkan Bapak.

    Tiga bulan setelah kami menguburkan Ibu, Bapak di tangkap polisi karena membunuh seorang janda kaya. Berita di media massa menyebut Bapak sebagai pembunuh keji berdarah dingin. Bapak kemudian dijatuhi hukuman mati.

ATTA VERIN mempertunjukkan kebencian dengan kadar yang berbeda satu persatu anaknya kepada bapaknya sbb:

       Abang sulungku itu yang paling memusuhi Bapak setelah Ibu wafat. Dia berpikir Bapak sengaja tidak keluar kamar, sehingga ibu terpaksa merangkak dan kejatuhan pelantang suara yang menyebabkan kematiannya. Diantara kami berempat, hanya mas Pakal yang secara frontal menunjukkan kemarahannya.

“Bapak sudah lama tidak cinta lagi sama ibu. Bapak pasti punya simpanan. Gelagatnya jelas begitu. Bapak pasti sengaja membiarkan ibu merangkak”

Ketika mendengar Bapaknya mau di hukum tembak mati, Paskal pun berkata: “ Semoga tak langsung mati. Kuharap dia merasakan dulu kesakitan yang lebih sakit dari rasa sakit yang di derita ibu!”.

     Anak kedua, Sidik, melihat situasi dan kondisi orang tuanya hanya berkomentar : Kalau soal pisah kamar itu karena keduanya saling  tidak nyaman.  Bapak tidak nyaman tidur di kamar dekat pintu gerbang masuk yang menurutnya berisik. Sementara Ibu tak nyaman tidur di kamar yang gelap dan sunyi. Jadi bukan karena keduanya saling berkhianat.

     Anak terakhir, Jenar lain lagi. Dia pernah berkata:” Mbak tahu apa artinya lahir dari dua orang yang tak saling mencintai?. Artinya kita lahir hanya karena nafsu kebinatangan”. Lalu Jenar merobek foto Bapak dan Ibu yang di simpan dalam dompetnya. Dia lalu memasukkan potongan foto Ibu kembali ke dalam dompetnya. “ Aku tak akan pernah memaafkan Bapak!, katanya lagi.

    Widi anak perempuan yang ke tiga, ketika mendapat pesan singkat dari bapaknya kalau akan segera di hukum tembak mati, melalui HP petugas lapas, menyempatkan berkunjung ke lapas.

     Widi, anak perempuan yang ditokohkan dalam cerpen ini, menunggu di ruang tunggu lapas, dan keluarlah lelaki tua menghampirinya dengan kedua tangan terentang akan memeluk. Widi tidak meladeni, menghindar pelukan lelaki tua yang juga bapaknya.

Pembicaraan antara bapak dan anak, membuat saya sebagai pembaca, cukup terkejut. ATTA VERIN membuat puncak drama ceritera ini dengan menuliskan, sbb:

        “Bapak akan mati dua hari lagi. Ini kesempatan terakhir Bapak untuk berbicara kepadamu. Sampaikan apa yang bapak katakan ini kepada saudara-saudaramu, Nak…”.

Lelaki tua itu meneteskan air mata, tetapi tak terdengar isakan.

“ Ketika Paskal berusia tiga tahun, Bapak dan Ibu sempat berpisah. Kami tinggal di dua kota yang berbeda. Ibumu meninggalkan Bapak karena Bapak tidak  mau menjadi pegawai negeri seperti yang dia inginkan. Bapak malah ikut pertunjukkan keliling, menikmati kehidupan sebagai pemain kendang. Bapak menyukainya meskipun uangnya sedikit. Ibumu bertemu mantan kekasihnya, lalu mengandung Sidik. Tetapi, tiga bulan setelah kelahiran Sidik, mantan pacar ibumu itu meninggal karena kecelakaan…”.

     Aku tercekat. Ternyata Mas Sidik dan mas Paskal berbeda bapak. Tak ada yang mengetahuinya selama ini. Tiada satu gunjingan pun.

Ibumu kembali kepadaku, lalu aku bekerja di pabrik dan memawarisi kebun jeruk dari kakekmu. Tetapi, aku sulit memaafkan pengkhianatannya. Aku jadi sering bertengkar dengan ibumu. Kami berusaha memperbaiki keadaan. Kami berpikir mengadopsimu sejak bayi dari panti asuhan adalah salah satu cara untuk memperbaiki  hubungan kami. Aku selalu menginginkan anak perempuan.

     Kini aku merasa dunia disekitarku runtuh. Aku tak mampu mencerna semuanya dengan baik selain menelan kenyataaan bahwa aku sesungguhnya anak pungut di keluarga ini.

    “ Namun, Tuhan Maha Baik, Widi. Setelah kamu berumur dua tahun, ibumu mengandung adikmu. Aku mulai memaafkan ibumu dan merasa bahagia dengan ke empat anakku. Tetapi, ibumu berpikir lain. Dia mengira aku tak setia dan mencurigai perubahan sikapku. Dia berpikir aku mesra lagi karena aku telah membalas dendam dengan berselingkuh. Kami sering bertengkar lagi. Ibumu di sandera perasaan bersalahnya sendiri. Itu tak saja menghukum dirinya, tetapi juga menghukumku….”.

     Setelah dilaksanakan hukuman mati dengan di tembak, ke tiga anaknya tidak ada yang mau mengurusi pemakamannya. Jadi, Widi yang mengurusui semuanya.

Dipenutup cerpen ini, barulah ATTA VARIN membuka siapakah atau kena apa ibu mereka meninggal setelah tertimpa pelantang tv yang jatuh persis dikepalanya. Inilah penutup yang sekaligus menjawab kematian itu.

       Petugas lapas menyerahkan barang-barang pribadi Bapak di dalam kantong plastik hitam. Di dalamnya ada head-phone putih besar kado ulang tahun dariku sembilan tahun lalu. Aku memberi Bapak benda itu agar dia bisa mendengarkan musik kesukaannya tanpa membuat orang disekitarnya terganggu. Ibu tak menyukai musik jazz.

Di bagian dalam lengkungan putih headphone itu terbaca tulisan “Bapak sedang mendengarkan Chick Corea waktu ibumu memanggilku pada hari naas itu. Maafkan Bapak karena tak mendengar teriakan ibumu”.(BUDI SAMPURNO.Mak’skom.IPJT.5.11.2022)