Kamis, 10 November 2022

 

 

SDT.SASTRA.27

BUDI SAMPURNO.NOP.2


MBAH DIMAN TERBANG BERSAYAP MALAM.

Hari Minggu ini tgl. 6 Nopember 2022, Harian KOMPAS membuat saya tergelitik, karena memuat sebuah cerpen yang berbau kejawen. Di tulis oleh AHIMSA MARGA. Dia adalah wartawan senior yang sebenarnya bernama MARIA HARTININGSIH. Di masanya di kenal sebagai sosok yang gigih memperjuangkan hak-hak azasi manusia, terutama bagi anak, perempuan,  dan kelompok yang dimarjinalkan. Pernah mendapat penghargaan YAP THIAM HIEN di bidang edukasi HAM di tahun 2003. Judul cerpennya terdengar sangat puitis “MBAH DIMAN TERBANG BERSAYAP MALAM”

Cerpen ini juga dilengkapi illustrasi oleh LAKSMI SHITARESMI . Sudah sering dia mengadakan pameran tunggal di dalam negeri dan di luar negeri. Antara lain di Jepang dan di Chile.

Dalam cerpen ini, tokoh “Aku” mendapat tugas dari keluarga untuk ngopeni rumah warisan dari Ibu. Tapi “Aku” tinggal di luar kota, maka yang dipasrahi atau dititipi menjaga serta merawat rumah almarhumah Ibu adalah Pardi dan keluarganya. Suatu ketika “Aku” menengok rumah Ibu, Pardi melapor dan meminta ijin dan ini yang menjadi pembuka cerpen AHIMSA MARGA :

 

“Bude, ini mbah Diman”, ujar Pardi, anak tetangga yang di anggap mendiang ibuku sebagai cucunya. Aku menitipkan rumah ibu kepada Pardi dan keluarganya, untuk dijaga dan dirawat.” Saya minta maaf, lancang, tidak bilang sama bude dulu. Tapi boleh, ya Mbah Diman tinggal disini sekalian jaga rumah”.

Tubuh tua itu sedikit membungkuk, lalu kedua telapak tangannya ditangkupkan, memandangku dengan tatapan teduh.

Menurut Pardi, diizinkan tinggal di tumah itu adalah berkah bagi Mbah Diman setelah beberapa tahun harus pindah dari tempat ke satu ke tampat lain di rumah-rumah mereka yang katanya kerabat. Ketika tak ada lagi yang mau menampungnya, Mbah Diman tidur di pos-pos ronda. Tapi bagiku, kehadirannnya adalah berkah. Kuyakini tidak ada kebetulan di dunia ini.

Kehadiran Mbah Diman di rumah almarhumah Ibu membawa kesan tersendiri terhadap “Aku” dan pada suatu saat, Mbah Diman berbicara :

“ Nduk, Mbah sering membersihkan kamar ibumu. Boleh kan…”

“ Mbah berani masuk kamar itu karena ibumu yang minta kamarnya dibersihkan”, sambungnya sebelum sempat kujawab.

Aku tertegun. Kupandang wajahnya dengan mata berkaca-kaca, bukan karena urusan kamar ibu, tetapi dari wajah itu aku melihat kilasan gambar tentang hidupnya.

Dia seperti membaca pikiranku

“ Mbah tidak apa-apa, Ndhuk. Terima kasih sekali sudah boleh numpang di sini”. Dia melanjutkan, “Hidup ini cuma harus dijalani, tidak usah banyak tanya karena banyak hal tidak butuh jawaban”.

Aaah….aku seperti mendengar suara ibuku.

Tapi, aku bergeming, malah terus berusaha memenuhi rasa ingin tahuku.

Mbah tidak marah pada nasib?. Tidak benci pada mereka yang jahat pada Mbah?.

 “ Lha buat apa, Nduk…” jawabnya, terkesan ringan dengan nada suara rendah. “ Wong nandur, ngundhuh, utang , mbayar”. Yang nenanam, menuai, yang utang harus bayar, katanya. “ Mungkin, entah kapan, Mbah juga pernah nandur barang jelek, pernah utang tapi ngemplang, nggak pernah bayar…. Semua harus di bayar, Ndhuk, kapanpun waktunya”.

“Aku” mendengarkan terus apa yang dibicarakan Mbah Diman, ini benar-benar memberi makna yang dalam tentang kehidupan manusia. Pemahaman kehidupan disampaikan :

“ Senang susah itu hanya istilah Ndhuk. Seperti pagi dan sore, fajar dan senja, panas dingin…semua itu kelengkapan hidup, terus berputar, tidak ada yang tetap. Semua hanya ada pada satu kedipan mata. Jadi, mau direndahkan, di hina, di cerca, ibaratnya di lempar kotoran, ya wis, tak tampa wae, saya terima saja. Mbah hanya  menjalani yang harus dijalani. Tidak kurang, tidak lebih”.

Tokoh si “Aku” merasa menjadi lebih dekat dengan sosok Mbah Diman : Entah mulai kapan terbersit keinginan untuk selalu menjumpainya. Secara perlahan, aku merasa menemukan ibuku dalam sosok renta ini.

Meski dadaku selalu berpasir setiap kali menyimaknya, mata batinku semakin terang benderang.

Penulis AHIMSA MARGA memberi kesan, bahwa ternyata Mbah Diman itu punya selera yang cukup tinggi dalam hal menikmati musik, karena “Aku” pernah memergoki :

Pernah suatu saat, tanpa memberi tahu, aku datang begitu saja. Ketika wajah sejuk itu muncul dari balik pintu, kudengar denting piano dari sepotong “Spring Waltz” nya Chopin, sebelum dia buru-buru minta izin untuk kekamarnya, dan musik lembut segera di sapu denyut sepi di ruang tamu.

“ Kok dimatikan, Mbah?. Saya suka…”

Mbah Diman hanya tersenyum

Dalam memenuhi kebutuhan hidup phisiknya Mbah Diman juga amat sederhana :

Mbah Diman hanya makan umbi-umbian dan dedaunan tanpa garam. Dia tidak merokok, tidak minum kopi, teh, gula, hanya air panas. Dia jengah ketika kusebut pilihan itu sebagai “puasa” atau “tirakat”.

“ Cuma kebiasaan, Ndhuk. Ngleremaken ingkang wonten ngriki, ujarnya sambil menaruh ke dua telapak tangannya ke dada. Menenangkan yang di dalam ini, katanya.

Saya sebagai pembaca memberanikan diri untuk mengatakan, bahwa sosok Mbah Diman adalah sosok yang menjabarkan dengan jelas gamblang arti kehidupan manusia. Kedekatan batin tokoh “Aku” menjadi lebih gamblang lagi diceriterakan oleh AHIMSA MARGA  dalam penutup cerpennya:

Semalam aku bermimpi, menjumpainya di suatu padang yang sangat lapang. Dia tampak segar. Wajahnya bersih, berseri. Aku lupa dia bicara apa, kecuali “Nduk, gaman hidup ini hanyalah tekad untuk terus berjalan ke depan, menempatkan yang sudah lewat, dibelakang. Ilmunya pasrah, berserah. Mantranya keadilan dari Sang Pemberi Hidup. Pangeran Ingkang Paring Gesang.

Sebuah kereta sudah menunggunya.

“ Terima kasih sekali sudah bersedia menampung Simbah. Simbah berangkat ya. Andum slamet, Nduk….”.

Kereta melesat. Aku tergagap bangun, subuh. Mataku basah.

Selama beberapa pekan ini tak kudengar kabar Mbah Diman. Semoga dia baik-baik saja. “ Bulan depan aku datang Mbah…., “ bisikku.

Pagi itu seperti biasa, ku buka Whasapp.

Dari Pardi, “ Bude, Mbah Diman sampun kondur, semalam, pukul 23.55”.

Bagi saya cerpen AHIMSA MARGA  ini memberikan pesan moral yang kuat. Sering kita dengar dalam piwulang manusia Jawa. Manusia hidup di dunia ini memang tidak selamanya. Hanya sebentar, ” Mampir ngombe”. Oleh karenanya, untuk sangu hidup di alam “sana”, harus punya bekal. Makanya hidup ini harus dijalani dengan sabar, ikhlas dan mensyukuri apa adanya yang diberikan oleh Sang Maha Pencipta. Kita harus pasrah, tetapi juga harus selalu berusaha untuk kesempurnaan hidup.

Dalam usaha mencapai kesempurnaan hidup, pasti pernah punya salah, oleh karenanya pasti pada suatu saat akan memperoleh seperti yang dikatakan oleh Mbah Diman. Wong nandur, ngunduh, utang mbayar. Yang menanam, menuai, yang utang harus bayar. Mungkin entah kapan Mbah juga pernah nandur barang jelek, pernah utang tapi ngemplang, nggak pernah bayar. Namun itu semua harus di bayar, kapanpun waktunya. Hidup ini cuma harus dijalani, tidak usah banyak tanya karena banyak hal tidak butuh jawaban.

Dan memang manusia itu hanyalah “wayang”. Jadi kesemuanya tergantung pada Sang Pencipta. Kita tidak bisa membantah. (BUDI SAMPURNO.Mak’skom.IPJT.10.11.2022)

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar