SDT.SASTRA.27
BUDI SAMPURNO.NOP.2
MBAH DIMAN TERBANG BERSAYAP MALAM.
Hari
Minggu ini tgl. 6 Nopember 2022, Harian KOMPAS membuat saya tergelitik, karena
memuat sebuah cerpen yang berbau kejawen. Di tulis oleh AHIMSA MARGA. Dia
adalah wartawan senior yang sebenarnya bernama MARIA HARTININGSIH. Di masanya
di kenal sebagai sosok yang gigih memperjuangkan hak-hak azasi manusia,
terutama bagi anak, perempuan, dan
kelompok yang dimarjinalkan. Pernah mendapat penghargaan YAP THIAM HIEN di
bidang edukasi HAM di tahun 2003. Judul cerpennya terdengar sangat puitis “MBAH
DIMAN TERBANG BERSAYAP MALAM”
Cerpen
ini juga dilengkapi illustrasi oleh LAKSMI SHITARESMI . Sudah sering dia mengadakan
pameran tunggal di dalam negeri dan di luar negeri. Antara lain di Jepang dan
di Chile.
Dalam
cerpen ini, tokoh “Aku” mendapat tugas dari keluarga untuk ngopeni rumah
warisan dari Ibu. Tapi “Aku” tinggal di luar kota, maka yang dipasrahi atau
dititipi menjaga serta merawat rumah almarhumah Ibu adalah Pardi dan keluarganya.
Suatu ketika “Aku” menengok rumah Ibu, Pardi melapor dan meminta ijin dan ini
yang menjadi pembuka cerpen AHIMSA MARGA :
“Bude,
ini mbah Diman”, ujar Pardi, anak tetangga yang di anggap mendiang ibuku
sebagai cucunya. Aku menitipkan rumah ibu kepada Pardi dan keluarganya, untuk
dijaga dan dirawat.” Saya minta maaf, lancang, tidak bilang sama bude dulu.
Tapi boleh, ya Mbah Diman tinggal disini sekalian jaga rumah”.
Tubuh
tua itu sedikit membungkuk, lalu kedua telapak tangannya ditangkupkan,
memandangku dengan tatapan teduh.
Menurut
Pardi, diizinkan tinggal di tumah itu adalah berkah bagi Mbah Diman setelah
beberapa tahun harus pindah dari tempat ke satu ke tampat lain di rumah-rumah
mereka yang katanya kerabat. Ketika tak ada lagi yang mau menampungnya, Mbah
Diman tidur di pos-pos ronda. Tapi bagiku, kehadirannnya adalah berkah.
Kuyakini tidak ada kebetulan di dunia ini.
Kehadiran
Mbah Diman di rumah almarhumah Ibu membawa kesan tersendiri terhadap “Aku” dan
pada suatu saat, Mbah Diman berbicara :
“
Nduk, Mbah sering membersihkan kamar ibumu. Boleh kan…”
“
Mbah berani masuk kamar itu karena ibumu yang minta kamarnya dibersihkan”,
sambungnya sebelum sempat kujawab.
Aku
tertegun. Kupandang wajahnya dengan mata berkaca-kaca, bukan karena urusan
kamar ibu, tetapi dari wajah itu aku melihat kilasan gambar tentang hidupnya.
Dia
seperti membaca pikiranku
“
Mbah tidak apa-apa, Ndhuk. Terima kasih sekali sudah boleh numpang di sini”.
Dia melanjutkan, “Hidup ini cuma harus dijalani, tidak usah banyak tanya karena
banyak hal tidak butuh jawaban”.
Aaah….aku
seperti mendengar suara ibuku.
Tapi,
aku bergeming, malah terus berusaha memenuhi rasa ingin tahuku.
Mbah
tidak marah pada nasib?. Tidak benci pada mereka yang jahat pada Mbah?.
“ Lha buat apa, Nduk…” jawabnya, terkesan
ringan dengan nada suara rendah. “ Wong nandur, ngundhuh, utang , mbayar”. Yang
nenanam, menuai, yang utang harus bayar, katanya. “ Mungkin, entah kapan, Mbah
juga pernah nandur barang jelek, pernah utang tapi ngemplang, nggak pernah
bayar…. Semua harus di bayar, Ndhuk, kapanpun waktunya”.
“Aku”
mendengarkan terus apa yang dibicarakan Mbah Diman, ini benar-benar memberi
makna yang dalam tentang kehidupan manusia. Pemahaman kehidupan disampaikan :
“
Senang susah itu hanya istilah Ndhuk. Seperti pagi dan sore, fajar dan senja,
panas dingin…semua itu kelengkapan hidup, terus berputar, tidak ada yang tetap.
Semua hanya ada pada satu kedipan mata. Jadi, mau direndahkan, di hina, di cerca,
ibaratnya di lempar kotoran, ya wis, tak tampa wae, saya terima saja. Mbah
hanya menjalani yang harus dijalani.
Tidak kurang, tidak lebih”.
Tokoh
si “Aku” merasa menjadi lebih dekat dengan sosok Mbah Diman : Entah mulai
kapan terbersit keinginan untuk selalu menjumpainya. Secara perlahan, aku
merasa menemukan ibuku dalam sosok renta ini.
Meski
dadaku selalu berpasir setiap kali menyimaknya, mata batinku semakin terang
benderang.
Penulis
AHIMSA MARGA memberi kesan, bahwa ternyata Mbah Diman itu punya selera yang cukup
tinggi dalam hal menikmati musik, karena “Aku” pernah memergoki :
Pernah
suatu saat, tanpa memberi tahu, aku datang begitu saja. Ketika wajah sejuk itu
muncul dari balik pintu, kudengar denting piano dari sepotong “Spring Waltz” nya
Chopin, sebelum dia buru-buru minta izin untuk kekamarnya, dan musik lembut
segera di sapu denyut sepi di ruang tamu.
“
Kok dimatikan, Mbah?. Saya suka…”
Mbah
Diman hanya tersenyum
Dalam
memenuhi kebutuhan hidup phisiknya Mbah Diman juga amat sederhana :
Mbah
Diman hanya makan umbi-umbian dan dedaunan tanpa garam. Dia tidak merokok,
tidak minum kopi, teh, gula, hanya air panas. Dia jengah ketika kusebut pilihan
itu sebagai “puasa” atau “tirakat”.
“
Cuma kebiasaan, Ndhuk. Ngleremaken ingkang wonten ngriki, ujarnya sambil
menaruh ke dua telapak tangannya ke dada. Menenangkan yang di dalam ini,
katanya.
Saya
sebagai pembaca memberanikan diri untuk mengatakan, bahwa sosok Mbah Diman
adalah sosok yang menjabarkan dengan jelas gamblang arti kehidupan manusia.
Kedekatan batin tokoh “Aku” menjadi lebih gamblang lagi diceriterakan oleh AHIMSA
MARGA dalam penutup cerpennya:
Semalam
aku bermimpi, menjumpainya di suatu padang yang sangat lapang. Dia tampak
segar. Wajahnya bersih, berseri. Aku lupa dia bicara apa, kecuali “Nduk, gaman
hidup ini hanyalah tekad untuk terus berjalan ke depan, menempatkan yang sudah
lewat, dibelakang. Ilmunya pasrah, berserah. Mantranya keadilan dari Sang Pemberi
Hidup. Pangeran Ingkang Paring Gesang.
Sebuah
kereta sudah menunggunya.
“
Terima kasih sekali sudah bersedia menampung Simbah. Simbah berangkat ya. Andum
slamet, Nduk….”.
Kereta
melesat. Aku tergagap bangun, subuh. Mataku basah.
Selama
beberapa pekan ini tak kudengar kabar Mbah Diman. Semoga dia baik-baik saja. “ Bulan
depan aku datang Mbah…., “ bisikku.
Pagi
itu seperti biasa, ku buka Whasapp.
Dari
Pardi, “ Bude, Mbah Diman sampun kondur, semalam, pukul 23.55”.
Bagi
saya cerpen AHIMSA MARGA ini memberikan
pesan moral yang kuat. Sering kita dengar dalam piwulang manusia Jawa. Manusia
hidup di dunia ini memang tidak selamanya. Hanya sebentar, ” Mampir ngombe”.
Oleh karenanya, untuk sangu hidup di alam “sana”, harus punya bekal. Makanya
hidup ini harus dijalani dengan sabar, ikhlas dan mensyukuri apa adanya yang
diberikan oleh Sang Maha Pencipta. Kita harus pasrah, tetapi juga harus selalu
berusaha untuk kesempurnaan hidup.
Dalam
usaha mencapai kesempurnaan hidup, pasti pernah punya salah, oleh karenanya pasti
pada suatu saat akan memperoleh seperti yang dikatakan oleh Mbah Diman. Wong
nandur, ngunduh, utang mbayar. Yang menanam, menuai, yang utang harus bayar.
Mungkin entah kapan Mbah juga pernah nandur barang jelek, pernah utang tapi
ngemplang, nggak pernah bayar. Namun itu semua harus di bayar, kapanpun waktunya.
Hidup ini cuma harus dijalani, tidak usah banyak tanya karena banyak hal tidak
butuh jawaban.
Dan
memang manusia itu hanyalah “wayang”. Jadi kesemuanya tergantung pada Sang
Pencipta. Kita tidak bisa membantah. (BUDI SAMPURNO.Mak’skom.IPJT.10.11.2022)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar