SDT.KOMEN.34
BUDI
SAMPURNO.JUNI.2
CALON WAPRES JAELANI NARO
Tajuk HARIAN KOMPAS, tgl 3 Maret 1988 di
beri judul “ TEROBOSAN POLITIK YANG DILAKUKAN OLEH JAELANI NARO. Di tulis dalam tajuk : “ Dua reaksi
timbul, ketika Fraksi Persatuan Pembangunan dalam Majelis Permusyawaratan
Rakyat mengajukan Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan, Jaelani Naro sebagai
calon Wakil Presiden.
Reaksi
pertama berkomentar, Fraksi Persatuan dan Jaelani Naro berolok-olok atau istilah
yang di pakai, main-main.
Reaksi
demikian beralasan, toh FPP maupun Jaelani Naro tahu, mereka tidak akan
berhasil. Mengapa masih juga maju?.
Reaksi
kedua menilai, Langkah FPP dan ketua umum partai itu merupakan terobosan
terhadap lontaran lima kriteria calon Wakil Presiden yang dikemukakan oleh
Ketua Dewan Pembina Golkar .
Bagi mereka yang hidup di sekitar th 1988,
pastilah tahu, bahwa pada masa-masa itu, partai Golkar merupakan partai yang
berkuasa penuh dengan pak Soeharto sebagai Presiden yang kala itu masih kuat
pengaruhnya kepada MPR.
Jadi
pemilihan Wakil Presiden sebenarnya juga sangat tergantung kepada pak Harto
sendiri. Kita juga merasakan, ketika masa-masa itu lahirnya pemimpin formal
atapun nonformal merupakan floating leader atau penunjukan dari atas. Dasar
penunjukan yaitu kekuasaan yang diartikan kepatuhan karena kekuasaan.
Tetapi
untuk mencerminkan bahwa penentuan siapa Wakil Presiden tetap berazaskan
Demokrasi, maka Dewan Pembina Golkar memberikan kreteria atau persyaratan untuk
bisa menduduki kursi Wakil Presiden. Waktu itu dua partai lainnya, yaitu PPP
dan PDIP tidak memiliki kekuatan untuk mengajukan siapa yang patut untuk
menjadi Wakil Presiden Soeharto. Namun PPP mencoba memberanikan mendobrak
kebekuan politik, tetapi toh saja yang jadi Wakil Presiden tetap dari Partai
Golkar.
Bagaimana saat sekarang ini. Kita juga
sedang disibukkan dengan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Tetapi sekarang
partai-partai mempunyai hak sama untuk mengajukan siapa Presiden dan Wakil
Presiden. Namun masing-masing partai tidak bisa mengajukan calon-calonnya. Itulah
sebabnya untuk memenuhi syarat bisa mengajukan Capres Cawapres, partai-partai
harus membentuk koalisi. Untuk bergabung membentuk koalisi juga bukan merupakan
hal yang gampang. Mereka harus bersepakat dan mempersamakan visi-misinya serta
memkompromikan kepentingan masing-masing partai. Tentunya tidak segampang yang
kita bayangkan, suatu partai mau mengalah dengan kepentingan partai lain. Kalau
toh ada partai yang mengalah, pastilah akan meminta kontribusinya yang seimbang,
kalau Capres dan Cawapres yang di dukung bersama memperoleh kemenangan.
Seperti
sekarang ini masih saling tawar menawar. Ganjar Pranowo yang sudah jelas-jelas
di dukung PDIP, juga belum berhasil bersepakat siapa yang dicalonkan untuk
menjadi Calon Wakil Presidennya. Demikian pula dengan Prabowo Subianto yang
diunggulkan oleh partainya sendiri, Gerindra. Apalagi dengan Anies Baswedan. Nasdem
tampaknya mau melakukan terobosan politik, seperti yang dilakukan Jaelani Naro,
Ketua Umum PPP saat itu. Nasdem yang sebenarnya masih harus berkoalisi dengan
koalisi Pemerintah serta mendukung Presiden Joko Widodo sampai akhir
pemerintahannya, mencoba mendahului mendeklarasikan Capresnya. Tetapi karena
kepentingan yang masih saling berbeda serta belum adanya kesepakatan
partai-partai yang diharapkan menjadi koalisinya, sampai sekarang juga belum
dimunculkan siapakah Cawapresnya Anies Baswedan. Nasdem pasti juga sudah
berhitung, jika nantinya Anies Baswedan
tidak berhasil menjadi Presiden.
Tetapi yang terpenting, siapapun nanti yang
terpilih menjadi Presiden dan Wakil Presiden NKRI, harus bisa menjaga
stabilitas, agar Indonesia tidak terpecah belah dalam bidang sosial, politik,
budaya dan keamanan, demi keutuhan NKRI yang sama-sama kita cintai. (BUDI
SAMPURNO.Mak’skom,IPJT, 30.6.2023)