Jumat, 30 Juni 2023

 

SDT.KOMEN.34

BUDI SAMPURNO.JUNI.2



CALON WAPRES JAELANI NARO

    Tajuk HARIAN KOMPAS, tgl 3 Maret 1988 di beri judul “ TEROBOSAN POLITIK YANG DILAKUKAN OLEH JAELANI NARO.  Di tulis dalam tajuk : “ Dua reaksi timbul, ketika Fraksi Persatuan Pembangunan dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat mengajukan Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan, Jaelani Naro sebagai calon Wakil Presiden.

Reaksi pertama berkomentar, Fraksi Persatuan dan Jaelani Naro berolok-olok atau istilah yang di pakai, main-main.

Reaksi demikian beralasan, toh FPP maupun Jaelani Naro tahu, mereka tidak akan berhasil. Mengapa masih juga maju?.

Reaksi kedua menilai, Langkah FPP dan ketua umum partai itu merupakan terobosan terhadap lontaran lima kriteria calon Wakil Presiden yang dikemukakan oleh Ketua Dewan Pembina Golkar .

    Bagi mereka yang hidup di sekitar th 1988, pastilah tahu, bahwa pada masa-masa itu, partai Golkar merupakan partai yang berkuasa penuh dengan pak Soeharto sebagai Presiden yang kala itu masih kuat pengaruhnya kepada MPR.

Jadi pemilihan Wakil Presiden sebenarnya juga sangat tergantung kepada pak Harto sendiri. Kita juga merasakan, ketika masa-masa itu lahirnya pemimpin formal atapun nonformal merupakan floating leader atau penunjukan dari atas. Dasar penunjukan yaitu kekuasaan yang diartikan kepatuhan karena kekuasaan.

Tetapi untuk mencerminkan bahwa penentuan siapa Wakil Presiden tetap berazaskan Demokrasi, maka Dewan Pembina Golkar memberikan kreteria atau persyaratan untuk bisa menduduki kursi Wakil Presiden. Waktu itu dua partai lainnya, yaitu PPP dan PDIP tidak memiliki kekuatan untuk mengajukan siapa yang patut untuk menjadi Wakil Presiden Soeharto. Namun PPP mencoba memberanikan mendobrak kebekuan politik, tetapi toh saja yang jadi Wakil Presiden tetap dari Partai Golkar.

    Bagaimana saat sekarang ini. Kita juga sedang disibukkan dengan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Tetapi sekarang partai-partai mempunyai hak sama untuk mengajukan siapa Presiden dan Wakil Presiden. Namun masing-masing partai tidak bisa mengajukan calon-calonnya. Itulah sebabnya untuk memenuhi syarat bisa mengajukan Capres Cawapres, partai-partai harus membentuk koalisi. Untuk bergabung membentuk koalisi juga bukan merupakan hal yang gampang. Mereka harus bersepakat dan mempersamakan visi-misinya serta memkompromikan kepentingan masing-masing partai. Tentunya tidak segampang yang kita bayangkan, suatu partai mau mengalah dengan kepentingan partai lain. Kalau toh ada partai yang mengalah, pastilah akan meminta kontribusinya yang seimbang, kalau Capres dan Cawapres yang di dukung bersama memperoleh kemenangan.

Seperti sekarang ini masih saling tawar menawar. Ganjar Pranowo yang sudah jelas-jelas di dukung PDIP, juga belum berhasil bersepakat siapa yang dicalonkan untuk menjadi Calon Wakil Presidennya. Demikian pula dengan Prabowo Subianto yang diunggulkan oleh partainya sendiri, Gerindra. Apalagi dengan Anies Baswedan. Nasdem tampaknya mau melakukan terobosan politik, seperti yang dilakukan Jaelani Naro, Ketua Umum PPP saat itu. Nasdem yang sebenarnya masih harus berkoalisi dengan koalisi Pemerintah serta mendukung Presiden Joko Widodo sampai akhir pemerintahannya, mencoba mendahului mendeklarasikan Capresnya. Tetapi karena kepentingan yang masih saling berbeda serta belum adanya kesepakatan partai-partai yang diharapkan menjadi koalisinya, sampai sekarang juga belum dimunculkan siapakah Cawapresnya Anies Baswedan. Nasdem pasti juga sudah berhitung,  jika nantinya Anies Baswedan tidak berhasil menjadi Presiden.

    Tetapi yang terpenting, siapapun nanti yang terpilih menjadi Presiden dan Wakil Presiden NKRI, harus bisa menjaga stabilitas, agar Indonesia tidak terpecah belah dalam bidang sosial, politik, budaya dan keamanan, demi keutuhan NKRI yang sama-sama kita cintai. (BUDI SAMPURNO.Mak’skom,IPJT, 30.6.2023)

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar