Sabtu, 09 Oktober 2021

 

SDT.SASTRA. 11

Budi Sampurno. Oktober.1

 

SEPATU DI TOKO WONG

Harian KOMPAS, Minggu tgl.3 OKTOBER 2021

RAUDAL TANJUNG BANUA sebagai penulis memberi judul yang bagi pembaca secara otomatis tergambarkan sesuatu yang berbau etnis Cina, pada cerpennya, yaitu TOKO WONG. Sedangkan KARYA SUGIJO DWIARSO sebagai ilustator gambar, memberikan kesan sesuatu yang gelap, menyelimuti alur ceritera TOKO WONG.

Dikisahkan, “aku” sering pulang ke Kabupaten Ujung Pulau. Sejak awal ke sana, sampai sekarang, bangunan itu masih tegak tak tergoyahkan. Jalan itu sendiri terkesan ditinggalkan dari yang semula jadi pusat geliat kota. Cerita RAUDAL, retak dinding mencuatkan tembok seperti tulang belikat di dada penyakitan. Lumut, jamur dan pakis tumbuh di bekas rembesan air hujan, lembab sepanjang musim persis bekas luka tak kunjung mengering. Ada sepuluh rumah toko, masing-masing berdiri terpisah, sehingga ada sedikit ruang kosong di kiri-kanannya. Beberapa bangunan telah beralih fungsi, yaitu jadi bengkel sepeda motor, toko mainan anak, sebuah kafe, toko alat pancing, laundry. Hanya satu toko yang tetap seperti dulu, pintu dan jendelanya tutup abadi, memberikan kesan tidak pernah di sentuh sejak tutup lehih 50 tahun lalu. Tetapi namanya masih  terbaca. Sebab  diterakan langsung secara timbul di dinding depan atas pintu, yaitu” TOKO WONG”.

“ aku “ sendiri bukan penduduk asli, maka tidak tahu banyak tentang deretan toko-toko tsb. Isterinya yang penduduk asli. Itulah sebabnya “aku” sering ikut pulang ke Kabupaten Ujung Pulau. Dan setiap pulang pasti menyempatkan berkeliling dan meliwati daerah bangunan Tionghoa yang merupakan kampung  pecinan. Tetap saja yang berdiri tegak serta sunyi-sepi adalah Toko Wong.

“aku” juga sering mendengar ceritera tentang Toko Wong yang dilatar-belakangi huru-hara politik ’65. Di tempat itulah dulu sebagai tempat pembantaian orang-orang yang dianggap anggota partai terlarang. Ada yag bilang  semua dilakukan menggunakan pistol. Sebab ditemukan banyak selongsong peluru serta bekas lubang di dinding. Tapi, lebih banyak lagi menggunakan senjata tajam atau kombinasi keduanya. Dan darah banyak yang menggenang di lantai, maka diceritakan algojonya terpaksa memakai sepatu bot. Di teras samping terdapat berpasang-pasang sepatu bot bercampur dengan sepatu tentara. Karena ada anggota polisi dan militer yang di-tuduh berkhianat. Dan yang di-kirim ke tempat itu ada ratusan orang, maka algojonya ada yang menceriterakan delapan orang. Tetapi ada juga yang mengatakan hanya tiga orang. Itupun hanya seorang yang benar-benar mengayunkan pedang dan dua orang lainnya hanya membantu.

Isteri “aku” punya Datuk yang ternyata tahu banyak tentang kota tsb. Karena leluhurnya ikut sejak awal membangun kota. Datuk mengetahui pula peristiwa ’65, bahkan ikut mengalami sendiri. Sayang, Datuk meninggal sepuluh tahun lalu, pada hal sangatlah penting sebagai saksi dalam peristiwa yang menyangkut kehidupan bernegara. Datuk merupakan tokoh penting dari kota tsb. Ini terbukti ketika meninggal, begitu panjang barisan takziah, kerandanya sudah sampai tempat kompleks makam sejauh tiga kilometer dari rumah duka, ujung para pelayat masih ada di halaman rumah almarhum. Datuk di kenal sebagai orang dermawan. Banyak orang yang ditolongnya. Datuk juga di kenal sebagai tokoh silat serta pernah ikut berburu buaya yang memangsa korban di tepian sungai.

“aku” menceriterakan, bahwa di suatu saat ketika sedang pulang lagi, bersama anak bayinya di kereta dorong. menelusuri jalan dan sampailah di-depan  Toko Wong. Dan berhenti serta berdiri agak serong, serta dapat melihat bagian belakang Toko Wong. Yang tampak daun pisang compang-camping di cakar angin santer. Melalui pintu berlubang terlihat sepasang sepatu bot menganga ke langit terbuka. Perasaan ngeri menyelimuti “aku”, membayangkan buaya-buaya yang di buru dan di bunuh serta menggelepar ber darah-darah. Tetapi “aku” lebih ngeri lagi membayangkan pemilik sepatu bot itu mengayunkan pedangnya dan darah kental menggenangi lantai Toko Wong.

Belum sempat “aku” berpikir lebih lanjut, anak banyinya nangis. Namun ada perasan aneh yang membuatnya menggigil. “aku” teringat sepatu yang mirip, tergeletak di sudut kamar Datuk. Sebilah kelewang masih tergantung di dinding kamar Datuk.

Segera didorongnya kereta dan bayinya meninggalkan Toko Wong yang berwajah buram.

Dengan hati-hati saya mencoba meraba siapa sebenarnya tokoh Datuk itu yang oleh RAUDAL TANJUNG BANUA tampaknya disembunyikan.

Saya berani menyimpulkan, bahwa Datuk adalah salah satu algojo pelaku peristiwa berdarah-darah di Toko WONG.(Budi Sampurno.Mak’skom.IPJT.9.10.2021)

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar