SDT.SASTRA. 11
Budi Sampurno. Oktober.1
SEPATU DI TOKO
WONG
Harian KOMPAS,
Minggu tgl.3 OKTOBER 2021
RAUDAL TANJUNG
BANUA sebagai penulis memberi judul yang bagi pembaca secara otomatis tergambarkan
sesuatu yang berbau etnis Cina, pada cerpennya, yaitu TOKO WONG. Sedangkan
KARYA SUGIJO DWIARSO sebagai ilustator gambar, memberikan kesan sesuatu yang
gelap, menyelimuti alur ceritera TOKO WONG.
Dikisahkan,
“aku” sering pulang ke Kabupaten Ujung Pulau. Sejak awal ke sana, sampai
sekarang, bangunan itu masih tegak tak tergoyahkan. Jalan itu sendiri terkesan
ditinggalkan dari yang semula jadi pusat geliat kota. Cerita RAUDAL, retak
dinding mencuatkan tembok seperti tulang belikat di dada penyakitan. Lumut,
jamur dan pakis tumbuh di bekas rembesan air hujan, lembab sepanjang musim
persis bekas luka tak kunjung mengering. Ada sepuluh rumah toko, masing-masing
berdiri terpisah, sehingga ada sedikit ruang kosong di kiri-kanannya. Beberapa
bangunan telah beralih fungsi, yaitu jadi bengkel sepeda motor, toko mainan
anak, sebuah kafe, toko alat pancing, laundry. Hanya satu toko yang tetap
seperti dulu, pintu dan jendelanya tutup abadi, memberikan kesan tidak pernah
di sentuh sejak tutup lehih 50 tahun lalu. Tetapi namanya masih terbaca. Sebab diterakan langsung secara timbul di dinding
depan atas pintu, yaitu” TOKO WONG”.
“ aku “ sendiri
bukan penduduk asli, maka tidak tahu banyak tentang deretan toko-toko tsb.
Isterinya yang penduduk asli. Itulah sebabnya “aku” sering ikut pulang ke
Kabupaten Ujung Pulau. Dan setiap pulang pasti menyempatkan berkeliling dan
meliwati daerah bangunan Tionghoa yang merupakan kampung pecinan. Tetap saja yang berdiri tegak serta
sunyi-sepi adalah Toko Wong.
“aku” juga
sering mendengar ceritera tentang Toko Wong yang dilatar-belakangi huru-hara
politik ’65. Di tempat itulah dulu sebagai tempat pembantaian orang-orang yang
dianggap anggota partai terlarang. Ada yag bilang semua dilakukan menggunakan pistol. Sebab
ditemukan banyak selongsong peluru serta bekas lubang di dinding. Tapi, lebih
banyak lagi menggunakan senjata tajam atau kombinasi keduanya. Dan darah banyak
yang menggenang di lantai, maka diceritakan algojonya terpaksa memakai sepatu
bot. Di teras samping terdapat berpasang-pasang sepatu bot bercampur dengan
sepatu tentara. Karena ada anggota polisi dan militer yang di-tuduh berkhianat.
Dan yang di-kirim ke tempat itu ada ratusan orang, maka algojonya ada yang
menceriterakan delapan orang. Tetapi ada juga yang mengatakan hanya tiga orang.
Itupun hanya seorang yang benar-benar mengayunkan pedang dan dua orang lainnya
hanya membantu.
Isteri “aku”
punya Datuk yang ternyata tahu banyak tentang kota tsb. Karena leluhurnya ikut
sejak awal membangun kota. Datuk mengetahui pula peristiwa ’65, bahkan ikut
mengalami sendiri. Sayang, Datuk meninggal sepuluh tahun lalu, pada hal
sangatlah penting sebagai saksi dalam peristiwa yang menyangkut kehidupan
bernegara. Datuk merupakan tokoh penting dari kota tsb. Ini terbukti ketika
meninggal, begitu panjang barisan takziah, kerandanya sudah sampai tempat kompleks
makam sejauh tiga kilometer dari rumah duka, ujung para pelayat masih ada di
halaman rumah almarhum. Datuk di kenal sebagai orang dermawan. Banyak orang
yang ditolongnya. Datuk juga di kenal sebagai tokoh silat serta pernah ikut
berburu buaya yang memangsa korban di tepian sungai.
“aku”
menceriterakan, bahwa di suatu saat ketika sedang pulang lagi, bersama anak
bayinya di kereta dorong. menelusuri jalan dan sampailah di-depan Toko Wong. Dan berhenti serta berdiri agak
serong, serta dapat melihat bagian belakang Toko Wong. Yang tampak daun pisang
compang-camping di cakar angin santer. Melalui pintu berlubang terlihat
sepasang sepatu bot menganga ke langit terbuka. Perasaan ngeri menyelimuti
“aku”, membayangkan buaya-buaya yang di buru dan di bunuh serta menggelepar ber
darah-darah. Tetapi “aku” lebih ngeri lagi membayangkan pemilik sepatu bot itu
mengayunkan pedangnya dan darah kental menggenangi lantai Toko Wong.
Belum sempat “aku”
berpikir lebih lanjut, anak banyinya nangis. Namun ada perasan aneh yang membuatnya
menggigil. “aku” teringat sepatu yang mirip, tergeletak di sudut kamar Datuk.
Sebilah kelewang masih tergantung di dinding kamar Datuk.
Segera didorongnya
kereta dan bayinya meninggalkan Toko Wong yang berwajah buram.
Dengan hati-hati
saya mencoba meraba siapa sebenarnya tokoh Datuk itu yang oleh RAUDAL TANJUNG
BANUA tampaknya disembunyikan.
Saya berani
menyimpulkan, bahwa Datuk adalah salah satu algojo pelaku peristiwa
berdarah-darah di Toko WONG.(Budi Sampurno.Mak’skom.IPJT.9.10.2021)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar