Kamis, 30 Maret 2023

 

SDT.KOMEN.31

BUDI SAMPURNO.MARET.3



HARI FILM NASIONAL

Tgl. 30 Maret merupakan Hari Film NASIONAL. Bulan Maret biasa di sebut sebagai BULAN FILM NASIONAL. Perjuangan masyarakat perfilman agar memiliki Hari Film Nasioanal sebenarnya sudah lama diperjuangkan. Tetapi tidak bisa segera disyahkan, karena adanya perbedaan pendapat diantara orang-orang film.

Bactiar Siagian, yang beraliran garis politik kiri, bersama kelompoknya mengikrarkan, Hari Film Nasional tgl 30 April 1964, acuannya tanggal tsb adalah Hari Aksi Pemboikotan Film-Film Imperalis Amerika Serikat. Tetapi ikrar kelompok ini tidak menghasilkan pengakuan secara luas. Persoalan Hari Film Nasional kembali menghangat dengan pemikiran pada tanggal 6 Oktober1945  merupakan tanggal peristiwa studio film Nippon Eiga Sha diserahkan kepada Pemerintah Indonesia dari tangan Jepang. Dulu sebelum Jepang masuk, studio milik Pemerintah Pendudukan Belanda, bernama Multi Film. Ketika di rebut Jepang dari tangan Belanda, perusahaan itu di ganti nama menjadi Nippon Eiga Sha. Penyerahan dari Tentara Pendudukan Jepang kepada Pemerintah Indonesia dilaksanakan pada tanggal 6 Oktober 1945, pihak Indonesia diwakili oleh RM. Soetarto. Peristiwa ini di anggap sebagai “ perebutan kekuasaan dari pihak penjajah di bidang perfilman “, yang dijiwai oleh semangat Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. Perusahaan film tsb di ganti nama menjadi Berita Film Indonesia( BFI ). Belanda kembali menduduki Indonesia dengan mendompleng tentara Inggris, perusahaan film dikembalikan pada nama semula yaitu Multi Film. Namun begitu tentara Belanda hengkang dari Indonesia, Multi Film kembali kepangkuan Indonesia dan oleh Pemerintah diganti nama menjadi Perusahaan Perfilman Negara, disingkat PPN, kemudian berganti nama menjadi Perusahaan Film Negara ( PFN ), berada di jalan Otto Iskandardinata, Jakarta Timur. Peristiwa tanggal 6 Oktober 1945, dianggap sebagai tonggak awal perfilman Indonesia oleh kelompok Yayasan Mahasiswa Fim Indonesia ( YASMI ).

Persoalan Hari Film Nasional kembali mencuat pada Konggres Karyawan Film dan Televisi ( KFT ) kesatu pada th 1972 di Jakarta. Pada awalnya konggres menyuarakan Hari Film Nasional jatuh pada tanggal 6 Oktober 1945, tetapi di akhir konggres KFT hanya dapat mengeluarkan memorandum. KFT mengusulkan kepada DPR RI dan Pemerintah, supaya Hari Fim Nasional segera diputuskan antara tanggal 30 Maret 1950 atau tanggal 6 Oktober 1945.

Dalam Rapat Kerja Dewan Film Indonesia pada tanggal 11 Oktober 1962 mensepakati, bahwa Hari Film Nasional adalah tanggal 30 Maret 1950. Dengan dasar tanggal 30 Maret 1950 merupakan tanggal pertama kali dilakukan pengambilan gambar film cerita yang secara keseluruhan di buat dan dilaksanakan oleh perusahaan film orang Indonesia. Perusahaan Film Nasional Indonesia (PERFINI), merupakan perusahaan film pertama di Indonesia serta milik orang Indonesia, yaitu Djamaluddin Malik. Pada tanggal itulah pengambilan gambar pertama film ceritera berjudul “The Long March” atau “Darah Dan Doa”, disutradarai oleh Usmar Ismail.  Sebelumnya, Djamaluddin Malik maupun Usmar Ismail sudah lama malang melintang di dunia perfilman, tetapi mereka masih bekerja pada perusahaan, bukan milik orang Indonesia, ceritanyapun bukan cerita asli Indonesia. Usmar Ismail berpendapat, yang bisa di sebut sebagai Film Nasional Indonesia adalah film yang di buat oleh orang, perusahaan Indonesia serta ide cerita dan visualisasinya berpijak pada budaya Indonesia.

Kita kenal dengan nama BJ.Habibie, orang yang tekun mengawal perkembangan teknologi yang dipadukan dengan budaya bangsa Indonesia. Pejabat tinggi Negara yang mau, tidak malu beramai-ramai menonton film-film Indonsia secara terang-terangan. Maka tidaklah heran, ketika menjadi Presiden, atas usul Masyarakat Perfilman Indonesia, segera menetapkan Hari Film Nasional dengan mengeluarkan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 1999, tanggal 29 Maret 1999, Tentang Hari Film Nasional, yaitu tanggal 30 Maret. Penetapan ini juga sebagai upaya meningkatkan kepercayaan diri, motivasi dan kreativitas para insan film Indonesia serta untuk meningkatkan prestasi yang mampu mengangkat derajat film Indonesia secara regional, nasional dan internasional.(BUDI SAMPURNO.Mak’skom.IPJT.30.3.2023)

 

 

Senin, 27 Maret 2023

 

SDT.KOMEN.30

BUDI SAMPURNO.Maret.2



REKTOR "KOK BEGITU"

Seseorang menjadi Rektor, tentulah melalui proses yang sangat panjang. Harus di mulai sebagai dosen biasa. Tidak bisa, ujug-ujug bisa terpilih menjadi seorang Rektor. Dosen biasa sampai menjadi Rektor adalah masuk rumpun pendidik, karena tugasnya di suatu perguruan tinggi.

Pendidik dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi ke dua, Pusat Pembinaan Dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Balai Pustaka, 1997. di  hal. 232, disebutkan, sebagai orang yang mendidik. Pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tingkah laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan.

Rektor sebagai pejabat tertinggi di kampus, tentunya harus menjalankan tugasnya sesuai dengan apa yang tertera dalam kamus tsb. Dia membawahi para dosen dan para karyawan administrasi, harus mengarahkan dengan segala cara sesuai dengan peraturan yang ada, guna tercapainya pendidikan yang diembannya.

Tetapi tragisnya, Prof. Karomani , Rektor Univeritas Lampung di tangkap KPK, lantaran kesandung  kasus penerimaan mahasiswa baru. Peristiwa ini betul-betul mengejutkan dunia akademis.

Selang waktu berjalan, kembali dunia akademis dikagetkan dengan ditangkapnya Rektor Universitas Udayana Bali, Prof.Dr.Ir I Nyoman Gde Antara oleh Kajati Propinsi Bali. Di tangkap dalam kasus dana sumbangan pengembangan institusi (SPI) mahasiswa baru tahun akademik 2018 sampai 2022. Diperkirakan negara dirugikan senilai Rp 443,9 miliar. Kejati Prop. Bali menetapkan sebagai tersangka setelah beberapa kali melakukan ekpose perkara dan hasil dari pengumpulan barang bukti.

Di Indonesia ini banyak Perguruan Tinggi, serta tiap tahun pasti menyelenggarakan penerimaan mahasiswa baru. Lalu apakah peristiwa kasus penerimaan mahasiswa baru dengan jalan yang tidak wajar itu juga terjadi. Berpikir secara logika, karena banyak orang tua atau calon mahasiswa yang ingin di terima di perguruan tinggi. Maka apakah kasus-kasus semacam merupakan peristiwa “gunung es”?.

Lalu apa peyebabnya kira-kira ?

Pertama, mahasiswa atau orang tua menginginkan bisa di terima di suatu perguruan tinggi yang di pilih. Karena kawatir tidak di terima, maka mereka akal-akalan memanfaatkan nilai rupiah. Mahasiswa atau orang tua mendekati dosen atau karyawan yang moralnya "penceng". Dua kepentingan bertemu, meskipun sama-sama mengetahui kalau hal itu menyalahi aturan;

Ke dua, kalaulah karyawan, memang gajinya mungkin kurang mencukupi dengan keperluannya sehari-hari. Kalaulah dosen, ya memang untuk memperoleh gelar akademis, juga perlu biaya yang tidak sedikit. Misalnya untuk ambil S2, S3, Prof;

Ke tiga, seperti pernah di ulas di media, untuk mencapai berbagai gelar tsb. diperlukan joki-joki, yang pastinya juga harus memberi imbalan yang bernilai rupiah.

Ke empat, apakah dalam pemilihan jabatan Rektor, berserta jajarannya juga timbul hal-hal yang aneh dan "penceng" bernilai rupiah?!.

Mungkin begini ini wajah "moral terselubung" perguruan tinggi kita, sehingga memungkinkan perguruan tinggi juga bisa jadi sarang korupsi. Didikan yang dihasilkan, lalu bagaimana?!

(Budi Sampurno.Mak’skom.IPJT.27.3.2023)

 

 

Senin, 20 Maret 2023

 

 

SDT.NGOBROL25

BUDI SAMPURNO.Maret 2



NGOBROL HAKIM AMBROL

Wagiarti jalan cepetan nenteng belanjaan, langsung masuk dapur. Setelah menyemprot dengan alkohol belanjaan serta tangannya, langsung duduk di samping Wagiman yang sedang membaca surat kabar.

WAGIARTI : “ Sekarang kok banyak hakim yang ambrol, ya pak!”.

WAGIMAN  : “ Hah…Sembarangan ibu ngomong. Nggak baik ah…!”

WAGIARTI  : “ I ya pak. Ada saja berita yang menyatakan hakim ambrol. Ada hakim yang tersangkut suap. Siapa itu….dari Mahkamah Agung”.

WAGIMAN  : “ Oooo…tahun lalu..Hakim Sudrajad Dimyati “.

WAGIARTI  : “ Pinter…bapak masih ingat”.

WAGIMAN  : “ Terus yang ibu maksud hakim ambrol itu apa sih ?”.

WAGIARTI : “ Gini…hakim itu kan masuk rumpun penegak hukum, penegak keadilan. Tapi kok ya mau korupsi, mau di suap. Makanya hasil putusannya ya ambrol. Sesuai dengan apa yang ada dalam benak pikirannya”.

WAGIMAN   : “  Ya, mau bu. Wong korupsi itu enak kok”.

WAGIARTI   : “ Ya kalau nggak ketahuan. Kalau nggak ketangkap. Tapi kalau ketangkap gimana, hayo “.

WAGIMAN   : “ Ketangkap, ya ketangkap. Nanti kalau di sidang kan ya ketemu temannya sendiri, sesama hakim. Kan bisa main plirik-plirikan”.

WAGIARTI   : “ Wah…!.Bapak nyindir hakim-hakim lainnya ya…Pinter bapak”.

WAGIMAN   : “ Lah ibu tadi kan bilang…apa?. Hakim ambrol!”.

WAGIARTI   : “ Tapi, pak. Kan ada Jaksa Penuntut…Hayo. Mau apa bapak”.

WAGIMAN    : “ I Ya, ada. Ibu tentunya masih ingat Jaksa cantik Pinangki. Kan ya ambrol juga. Kalau pakai istilah ibu lho. Ada hakim ambrol…Yaaa, ada Jaksa ambrol”.

WAGIARTI  : “. Ah…Bapak. Istilah guyonan, pak!”.

WAGIMAN  : “ Tapi kan ada yang nyata. Memang…hakim yang baik-baik juga masih banyak. Jaksa yang baik-baik juga masih banyak. Polisi yang baik-baik juga masih banyak. Kita optimislah….!”

WAGIARTI  : “ Betul pak. Tapi, ya juga tergantung pada Presidennya”.

WAGIMAN   : “ Urusan Presiden masih nanti…., tahun 2024. Aja kesusu, bu…!!.

WAGIARTI   : “ Pak, tahun 2024 itu sudah dekat… Februari, Pemilu. Tinggal beberapa bulan…”.

WAGIMAN   : “ Masih lama bu…. Yang penting sekarang ini…kopinya mana??”.

WAGIARTI  : “ He he he, i ya… Maafkan sayangku…”.

WAGIMAN  : “ Sayang-sayang…Ambrol …”.

WAGIARTI  : “ Lho pak. Kok saya dibilang ambrol..”.

Wagiarti berdiri, melangkah menuju arah dapur. Seperti biasa, jalannya dijinjit-jinjitkan. Wagiman tersenyum memandangi langkah isterinya. Pikiran Wagiman selalu melayang-layang, ketika melihat isterinya jalan sambil berjinjit-jinjit .(BUDI SAMPURNO.20.3.2023)

 

 

Jumat, 17 Maret 2023

 

SDT KOMEN.29

BUDI SAMPURNO. Maret 1.  

                       KEPALA DAERAH “KOK GITU”.

Koalisi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ke dua, Pusat Pembinaan Dan Pengembangan Bahasa, Depertemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Balai Pustaka, th 1997, di halaman 509, diartikan sebagai kerjasama antara beberapa partai untuk memperoleh kelebihan suara di parlemen. Pada prakteknya tidak hanya untuk memperoleh suara yang lebih di Parlemen, tetapi juga dipergunakan untuk memperoleh kedudukan kekuasaan, yaitu Presiden dan Wakil Presiden. Disamping juga untuk memperoleh kedudukan kekuasaan sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur serta Kepala Daerah setingkat Bupati/Walikota.

Beberapa partai, menjelang pemilihan mencari pasangan untuk berkoalisi. Umumnya mereka bermanis-manis, berdebat, berdiskusi untuk mengajukan calon masing-masing. Diakhiri dengan kesepakatan bersama dan majulah mereka bersama, berkampaye bersama memperjuangkan calon agar bisa terpilih sebagai pemenang. Pemenang dilantik, disaksikan oleh publik, baik dari koalisi yang menang maupun mereka yang kalah. Setelah dilantik, apakah sang Kepala dan sang Wakil terus berharmonis?!. Ada yang tetap berharmonis, tapi ada juga yang kemudian timbul friksi ( pergeseran yang menimbulkan perbedaan pendapat; perpecahan. Idem, hal 281 ) diantara sang Kepala dengan sang Wakil. Ini terjadi misalnya di Kabupaten Blitar, Kabupaten Bojonegoro, Kabupaten Indramayu. Sekedar contoh, ini yang sempat muncul kepermukaan publik. Apalagi dengan kemajuan teknologi komunikasi yang melebar dengan julukan media sosial—mesdsos, friksi mereka bisa lebih mencuat diketahui oleh publik secara cepat. Lalu siapa yang dirugikan?. Tentunya masyarakatnya. Tidak jarang masyarakatnya juga ikut berfriksi.

Sepertinya fenomena konflik diantara Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah  ini sudah lama dan sering terjadi. Tetapi mereka ada yang bisa menjaga keharmonisannya di hadapan publiknya. Sehingga masyarakatnya tetap terjaga dan diantara aparatnya juga bisa bekerja lebih tenang. Tetapi bagaimana hasil berikutnya?. Kita lihat di pemilihan periode berikutnya, mereka sudah cerai. Sudah tidak berpasangan lagi. Bahkan ada yang menjadi saling berhadapan mencalonkan diri sebagai Kepala Daerah di daerah yang sama.

Lalu apa sebenarnya yang menjadi penyebab konflik di antara mereka. Tidak ada yang bisa menjawab secara pasti. Karena semua berpulang kepada kepentingan pribadi masing-masing atau bisa juga pengaruh kepentingan partai. Namun biasanya mereka berdalih masalah regulasi. Yang karena tafsir, atau salah tafsir, atau sengaja menafsirkan secara salah. Mencari celah lemahnya regulasi, untuk mendapatkan kepentingannya.

Atau juga karena pengaruh lebih besarnya suatu partai yang mengusung, sehingga tidak bisa memilih calon berdasarkan atau berbasis pada kemampuan. Baik kemampuan berpikir, kemampuan menganalisa masalah serta kemampuan bertindak sesuai dengan aturan yang belaku. Lalu harus bagaimana?.

Pertama, partai pengusunglah yang harus sadar dan mengingatkan kembali pada komitmen utama yaitu bekerja untuk kepentingan dan kesejahteraan masyarakat. Ingat janji-janji ketika kampanye.

Kedua, bersepakat dengan jelas tentang pembagian wewenang dan tugas antara Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.

Ketiga, DPRD harus berperan aktif, mengawasi dan meluruskan masing-masing pihak untuk kembali ke kerja utama mereka yaitu untuk kepentingan masyarakatnya serta demi kemajuan daerahnya .

Ketiga solusi ini memang mudah dilaksanakan, tetapi menjadi sulit bila masing-masing sudah dipenuhi dengan pikiran kotor. Misalnya: Korupsi!.

Tapi, percayalah aparat yang baik serta masyarakat yang baik, masih banyak. Optimislah!!. (BUDI SAMPURNO.Mak’skom.IPJT.17.3.2023)

 

 

Rabu, 01 Maret 2023

 

 

SDT.NGOBROL.24

BUDI SAMPURNO.Maret 1.



NGOBROL BARANG RUWET

Suasana masih gerimis tipis. Wagiman dan isterinya pulang dari servis mobil di Jln. A.Yani. Mereka bermaksud mau makan siang dulu. Pilihannya soto ayam dipertokoan dekat alon-alon. Begitu mobil membelok arah alon-alon, Wagiarti berteriak sekuat-kuatnya.

WAGIARTI  : “ Stop…!!! Pak. Ada kabel…!!!”.

Wagiman langsung injak kaki, mengerem mendadak. Dilihatnya diatas kap mobil ada kabel melintang. Wagiarti membuka kaca mobil dan tangannya akan meraih kabel dengan tangan kirinya. Ganti Wagiman yang berteriak.

WAGIMAN  : “ Jangan pegang…Awas… kabel listrik…!!!”.

Wagiarti menarik tangannya, menoleh ke belakang karena mendengar beberapa kali bunyi klakson mobil dibelakangnya. Meminta jalan. Wagiarti ngomel.

WAGIARTI  : “ Eee…Lihat-lihat dong. Ada kabel melintang nih …Bal bel saja!”.

Wagiman turun dari mobil, mencari kayu untuk dipakai mengangkat kabel yang ngelawer menghalangi mobil. Untung tukang tambal ban di pinggir kanan jalan sigap. Mengangkat kabel dengan sebilah bambu serta mempersilahkan Wagiman melanjutkan perjalanannya.

Mobil jalan, secara bersamaan Wagiman Wagiarti berteriak: “ Terima kasih Pak…!!”

Tukang tambal ban tersenyum sambil melambaikan tangannya.

WAGIARTI  : “ Beberapa hari yang lalu, saya baca di kliping bapak, di tahun kemarin Pemerintah Kota sudah membenahi 200 titik pangkal kabel. Bahkan diusahakan nantinya kabel-kabel itu akan dipindahkan, di tanam di tanah. Biar kelihatan rapi”.

WAGIMAN   : “ O…ya. Istilahnya itu Jaringan Utilitas, bu. Memang bagus kalau di tanam di tanah. Akan kelihatan rapi”.

WAGIARTI  : “ I ya, nggak seperti yang tadi, kabel kok melintang di atas jalan. Bagusnya bukan kabel listrik. Bahaya kalau kabel listrik, musim hujan lagi sekarang ini”.

WAGIMAN : “ Menurut Dinas Sumber Daya Air Dan Bina Marga, jalan protokol dulu yang dikerjakan. Jadi dilaksanakan secara bertahap . Yang agak susah dan memakan waktu itu kalau merapikan jaringan kabel milik provider. Jadi pengerjaannya harus dilakukan secara terintegrasi”.

WAGIARTI  : “ Apalagi kalau ditemukan jaringan kabel yang tidak teridentifikasi asal usulnya. Tuh… lihat pak. Satu tiang digelandoti berapa kabel itu. Itu ada yang diubel-ubel, semrawut. Ruwet.

WAGIMAN  : “ Lah… ! Lagi pula tiangnya sudah karatan begitu. Bahaya betul itu..!”.

WAGIARTI  : “ Kalau saya ya…potong saja. Nanti daerah sekeliling itu kan warganya protes kepada providernya. Biar datang dia”.

WAGIMAN  : “ Ah…ya jangan begitu, bu. Kita kan harus menyelesaikan masalah yang hasilnya berestetika dengan cara yang beretika. Makanya harus dikerjakan secara terintegrasi dengan dinas-dinas lain yang saling berkaitan. Bukan asal potong kabel..Itu namanya potong kompas yang tidak beretika”.

WAGIARTI  : “ Eeee…. Pak. Jadi makan soto nggak. Itu …sebelah kiri…Jangan kebablasan”.

Wagiman memparkir mobilnya di depan pintu warung soto. Begitu turun dari mobil, pemilik warung langsung tersenyum menyongsong langganan tetapnya. Wagiman menggandeng Wagiarti masuk warung, bersalaman dengan Cak Nurul pemilik warung soto yang terkenal enaknya. (BUDI SAMPURNO.Mak’skom.IPJT.1.3.2023)