Senin, 27 Maret 2023

 

SDT.KOMEN.30

BUDI SAMPURNO.Maret.2



REKTOR "KOK BEGITU"

Seseorang menjadi Rektor, tentulah melalui proses yang sangat panjang. Harus di mulai sebagai dosen biasa. Tidak bisa, ujug-ujug bisa terpilih menjadi seorang Rektor. Dosen biasa sampai menjadi Rektor adalah masuk rumpun pendidik, karena tugasnya di suatu perguruan tinggi.

Pendidik dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi ke dua, Pusat Pembinaan Dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Balai Pustaka, 1997. di  hal. 232, disebutkan, sebagai orang yang mendidik. Pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tingkah laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan.

Rektor sebagai pejabat tertinggi di kampus, tentunya harus menjalankan tugasnya sesuai dengan apa yang tertera dalam kamus tsb. Dia membawahi para dosen dan para karyawan administrasi, harus mengarahkan dengan segala cara sesuai dengan peraturan yang ada, guna tercapainya pendidikan yang diembannya.

Tetapi tragisnya, Prof. Karomani , Rektor Univeritas Lampung di tangkap KPK, lantaran kesandung  kasus penerimaan mahasiswa baru. Peristiwa ini betul-betul mengejutkan dunia akademis.

Selang waktu berjalan, kembali dunia akademis dikagetkan dengan ditangkapnya Rektor Universitas Udayana Bali, Prof.Dr.Ir I Nyoman Gde Antara oleh Kajati Propinsi Bali. Di tangkap dalam kasus dana sumbangan pengembangan institusi (SPI) mahasiswa baru tahun akademik 2018 sampai 2022. Diperkirakan negara dirugikan senilai Rp 443,9 miliar. Kejati Prop. Bali menetapkan sebagai tersangka setelah beberapa kali melakukan ekpose perkara dan hasil dari pengumpulan barang bukti.

Di Indonesia ini banyak Perguruan Tinggi, serta tiap tahun pasti menyelenggarakan penerimaan mahasiswa baru. Lalu apakah peristiwa kasus penerimaan mahasiswa baru dengan jalan yang tidak wajar itu juga terjadi. Berpikir secara logika, karena banyak orang tua atau calon mahasiswa yang ingin di terima di perguruan tinggi. Maka apakah kasus-kasus semacam merupakan peristiwa “gunung es”?.

Lalu apa peyebabnya kira-kira ?

Pertama, mahasiswa atau orang tua menginginkan bisa di terima di suatu perguruan tinggi yang di pilih. Karena kawatir tidak di terima, maka mereka akal-akalan memanfaatkan nilai rupiah. Mahasiswa atau orang tua mendekati dosen atau karyawan yang moralnya "penceng". Dua kepentingan bertemu, meskipun sama-sama mengetahui kalau hal itu menyalahi aturan;

Ke dua, kalaulah karyawan, memang gajinya mungkin kurang mencukupi dengan keperluannya sehari-hari. Kalaulah dosen, ya memang untuk memperoleh gelar akademis, juga perlu biaya yang tidak sedikit. Misalnya untuk ambil S2, S3, Prof;

Ke tiga, seperti pernah di ulas di media, untuk mencapai berbagai gelar tsb. diperlukan joki-joki, yang pastinya juga harus memberi imbalan yang bernilai rupiah.

Ke empat, apakah dalam pemilihan jabatan Rektor, berserta jajarannya juga timbul hal-hal yang aneh dan "penceng" bernilai rupiah?!.

Mungkin begini ini wajah "moral terselubung" perguruan tinggi kita, sehingga memungkinkan perguruan tinggi juga bisa jadi sarang korupsi. Didikan yang dihasilkan, lalu bagaimana?!

(Budi Sampurno.Mak’skom.IPJT.27.3.2023)

 

 

2 komentar:

  1. Institusi pendidikan mempunyai nilai menurun di mata masyarakat.
    Sama dengan institusi pengadilan. Dan juga Kepolisian... Apa dan Siapa yg salah???

    BalasHapus
  2. Rektor, dosen, PT, Maba
    Waah ini simbiosis mutualisme pak. Jika menurut saya seorang pimpinan harus amanah dan tetap memegang etik profesi serta moral. Utk rejeki semua sdh ada takarannya, sdh tertulis di laufulmahfudz, dan Qodratullah. Semoga para pemimpin di Pendidikan Tinggi baik Negri atau Swasta tetap memagang amanah dan selalu menjunjung tinggi etik profesinya.

    BalasHapus