SDT.KOMEN.30
BUDI SAMPURNO.Maret.2
REKTOR "KOK BEGITU"
Seseorang
menjadi Rektor, tentulah melalui proses yang sangat panjang. Harus di mulai
sebagai dosen biasa. Tidak bisa, ujug-ujug bisa terpilih menjadi seorang
Rektor. Dosen biasa sampai menjadi Rektor adalah masuk rumpun pendidik, karena
tugasnya di suatu perguruan tinggi.
Pendidik
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi ke dua, Pusat Pembinaan Dan
Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Balai Pustaka, 1997.
di hal. 232, disebutkan, sebagai orang
yang mendidik. Pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tingkah laku
seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya
pengajaran dan pelatihan.
Rektor
sebagai pejabat tertinggi di kampus, tentunya harus menjalankan tugasnya sesuai
dengan apa yang tertera dalam kamus tsb. Dia membawahi para dosen dan para karyawan
administrasi, harus mengarahkan dengan segala cara sesuai dengan peraturan yang
ada, guna tercapainya pendidikan yang diembannya.
Tetapi
tragisnya, Prof. Karomani , Rektor Univeritas Lampung di tangkap KPK, lantaran
kesandung kasus penerimaan mahasiswa baru.
Peristiwa ini betul-betul mengejutkan dunia akademis.
Selang
waktu berjalan, kembali dunia akademis dikagetkan dengan ditangkapnya Rektor Universitas
Udayana Bali, Prof.Dr.Ir I Nyoman Gde Antara oleh Kajati Propinsi Bali. Di tangkap
dalam kasus dana sumbangan pengembangan institusi (SPI) mahasiswa baru tahun
akademik 2018 sampai 2022. Diperkirakan negara dirugikan senilai Rp 443,9
miliar. Kejati Prop. Bali menetapkan sebagai tersangka setelah beberapa kali
melakukan ekpose perkara dan hasil dari pengumpulan barang bukti.
Di
Indonesia ini banyak Perguruan Tinggi, serta tiap tahun pasti menyelenggarakan
penerimaan mahasiswa baru. Lalu apakah peristiwa kasus penerimaan mahasiswa
baru dengan jalan yang tidak wajar itu juga terjadi. Berpikir secara logika,
karena banyak orang tua atau calon mahasiswa yang ingin di terima di perguruan
tinggi. Maka apakah kasus-kasus semacam merupakan peristiwa “gunung es”?.
Lalu
apa peyebabnya kira-kira ?
Pertama,
mahasiswa atau orang tua menginginkan bisa di terima di suatu perguruan tinggi
yang di pilih. Karena kawatir tidak di terima, maka mereka akal-akalan memanfaatkan
nilai rupiah. Mahasiswa atau orang tua mendekati dosen atau karyawan yang
moralnya "penceng". Dua kepentingan bertemu, meskipun sama-sama mengetahui kalau hal
itu menyalahi aturan;
Ke
dua, kalaulah karyawan, memang gajinya mungkin kurang mencukupi dengan
keperluannya sehari-hari. Kalaulah dosen, ya memang untuk memperoleh gelar
akademis, juga perlu biaya yang tidak sedikit. Misalnya untuk ambil S2, S3,
Prof;
Ke
tiga, seperti pernah di ulas di media, untuk mencapai berbagai gelar tsb. diperlukan joki-joki,
yang pastinya juga harus memberi imbalan yang bernilai rupiah.
Ke
empat, apakah dalam pemilihan jabatan Rektor, berserta jajarannya juga timbul hal-hal yang aneh dan "penceng" bernilai
rupiah?!.
Mungkin
begini ini wajah "moral terselubung" perguruan tinggi kita, sehingga memungkinkan perguruan tinggi juga bisa jadi sarang korupsi. Didikan yang dihasilkan, lalu bagaimana?!
(Budi
Sampurno.Mak’skom.IPJT.27.3.2023)
Institusi pendidikan mempunyai nilai menurun di mata masyarakat.
BalasHapusSama dengan institusi pengadilan. Dan juga Kepolisian... Apa dan Siapa yg salah???
Rektor, dosen, PT, Maba
BalasHapusWaah ini simbiosis mutualisme pak. Jika menurut saya seorang pimpinan harus amanah dan tetap memegang etik profesi serta moral. Utk rejeki semua sdh ada takarannya, sdh tertulis di laufulmahfudz, dan Qodratullah. Semoga para pemimpin di Pendidikan Tinggi baik Negri atau Swasta tetap memagang amanah dan selalu menjunjung tinggi etik profesinya.