Jumat, 17 Maret 2023

 

SDT KOMEN.29

BUDI SAMPURNO. Maret 1.  

                       KEPALA DAERAH “KOK GITU”.

Koalisi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ke dua, Pusat Pembinaan Dan Pengembangan Bahasa, Depertemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Balai Pustaka, th 1997, di halaman 509, diartikan sebagai kerjasama antara beberapa partai untuk memperoleh kelebihan suara di parlemen. Pada prakteknya tidak hanya untuk memperoleh suara yang lebih di Parlemen, tetapi juga dipergunakan untuk memperoleh kedudukan kekuasaan, yaitu Presiden dan Wakil Presiden. Disamping juga untuk memperoleh kedudukan kekuasaan sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur serta Kepala Daerah setingkat Bupati/Walikota.

Beberapa partai, menjelang pemilihan mencari pasangan untuk berkoalisi. Umumnya mereka bermanis-manis, berdebat, berdiskusi untuk mengajukan calon masing-masing. Diakhiri dengan kesepakatan bersama dan majulah mereka bersama, berkampaye bersama memperjuangkan calon agar bisa terpilih sebagai pemenang. Pemenang dilantik, disaksikan oleh publik, baik dari koalisi yang menang maupun mereka yang kalah. Setelah dilantik, apakah sang Kepala dan sang Wakil terus berharmonis?!. Ada yang tetap berharmonis, tapi ada juga yang kemudian timbul friksi ( pergeseran yang menimbulkan perbedaan pendapat; perpecahan. Idem, hal 281 ) diantara sang Kepala dengan sang Wakil. Ini terjadi misalnya di Kabupaten Blitar, Kabupaten Bojonegoro, Kabupaten Indramayu. Sekedar contoh, ini yang sempat muncul kepermukaan publik. Apalagi dengan kemajuan teknologi komunikasi yang melebar dengan julukan media sosial—mesdsos, friksi mereka bisa lebih mencuat diketahui oleh publik secara cepat. Lalu siapa yang dirugikan?. Tentunya masyarakatnya. Tidak jarang masyarakatnya juga ikut berfriksi.

Sepertinya fenomena konflik diantara Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah  ini sudah lama dan sering terjadi. Tetapi mereka ada yang bisa menjaga keharmonisannya di hadapan publiknya. Sehingga masyarakatnya tetap terjaga dan diantara aparatnya juga bisa bekerja lebih tenang. Tetapi bagaimana hasil berikutnya?. Kita lihat di pemilihan periode berikutnya, mereka sudah cerai. Sudah tidak berpasangan lagi. Bahkan ada yang menjadi saling berhadapan mencalonkan diri sebagai Kepala Daerah di daerah yang sama.

Lalu apa sebenarnya yang menjadi penyebab konflik di antara mereka. Tidak ada yang bisa menjawab secara pasti. Karena semua berpulang kepada kepentingan pribadi masing-masing atau bisa juga pengaruh kepentingan partai. Namun biasanya mereka berdalih masalah regulasi. Yang karena tafsir, atau salah tafsir, atau sengaja menafsirkan secara salah. Mencari celah lemahnya regulasi, untuk mendapatkan kepentingannya.

Atau juga karena pengaruh lebih besarnya suatu partai yang mengusung, sehingga tidak bisa memilih calon berdasarkan atau berbasis pada kemampuan. Baik kemampuan berpikir, kemampuan menganalisa masalah serta kemampuan bertindak sesuai dengan aturan yang belaku. Lalu harus bagaimana?.

Pertama, partai pengusunglah yang harus sadar dan mengingatkan kembali pada komitmen utama yaitu bekerja untuk kepentingan dan kesejahteraan masyarakat. Ingat janji-janji ketika kampanye.

Kedua, bersepakat dengan jelas tentang pembagian wewenang dan tugas antara Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.

Ketiga, DPRD harus berperan aktif, mengawasi dan meluruskan masing-masing pihak untuk kembali ke kerja utama mereka yaitu untuk kepentingan masyarakatnya serta demi kemajuan daerahnya .

Ketiga solusi ini memang mudah dilaksanakan, tetapi menjadi sulit bila masing-masing sudah dipenuhi dengan pikiran kotor. Misalnya: Korupsi!.

Tapi, percayalah aparat yang baik serta masyarakat yang baik, masih banyak. Optimislah!!. (BUDI SAMPURNO.Mak’skom.IPJT.17.3.2023)

 

 

1 komentar:

  1. Setuju, pak. Kita percaya masih banyak negarawan2 yg mendahuluka kepentingan negara di atas kepentingan pribadi dan golongan. Bravo

    BalasHapus