SDT KOMEN.29
BUDI SAMPURNO. Maret 1.
Koalisi dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Edisi Ke dua, Pusat Pembinaan Dan Pengembangan Bahasa, Depertemen Pendidikan
Dan Kebudayaan, Balai Pustaka, th 1997, di halaman 509, diartikan sebagai kerjasama
antara beberapa partai untuk memperoleh kelebihan suara di parlemen. Pada
prakteknya tidak hanya untuk memperoleh suara yang lebih di Parlemen, tetapi
juga dipergunakan untuk memperoleh kedudukan kekuasaan, yaitu Presiden dan Wakil
Presiden. Disamping juga untuk memperoleh kedudukan kekuasaan sebagai Gubernur
dan Wakil Gubernur serta Kepala Daerah setingkat Bupati/Walikota.
Beberapa partai, menjelang pemilihan
mencari pasangan untuk berkoalisi. Umumnya mereka bermanis-manis, berdebat,
berdiskusi untuk mengajukan calon masing-masing. Diakhiri dengan kesepakatan
bersama dan majulah mereka bersama, berkampaye bersama memperjuangkan calon
agar bisa terpilih sebagai pemenang. Pemenang dilantik, disaksikan oleh publik,
baik dari koalisi yang menang maupun mereka yang kalah. Setelah dilantik, apakah
sang Kepala dan sang Wakil terus berharmonis?!. Ada yang tetap berharmonis,
tapi ada juga yang kemudian timbul friksi ( pergeseran yang menimbulkan
perbedaan pendapat; perpecahan. Idem, hal 281 ) diantara sang Kepala dengan
sang Wakil. Ini terjadi misalnya di Kabupaten Blitar, Kabupaten Bojonegoro,
Kabupaten Indramayu. Sekedar contoh, ini yang sempat muncul kepermukaan publik.
Apalagi dengan kemajuan teknologi komunikasi yang melebar dengan julukan media
sosial—mesdsos, friksi mereka bisa lebih mencuat diketahui oleh publik secara
cepat. Lalu siapa yang dirugikan?. Tentunya masyarakatnya. Tidak jarang
masyarakatnya juga ikut berfriksi.
Sepertinya fenomena konflik diantara Kepala
Daerah dan Wakil Kepala Daerah ini sudah
lama dan sering terjadi. Tetapi mereka ada yang bisa menjaga keharmonisannya di
hadapan publiknya. Sehingga masyarakatnya tetap terjaga dan diantara aparatnya
juga bisa bekerja lebih tenang. Tetapi bagaimana hasil berikutnya?. Kita lihat
di pemilihan periode berikutnya, mereka sudah cerai. Sudah tidak berpasangan
lagi. Bahkan ada yang menjadi saling berhadapan mencalonkan diri sebagai Kepala
Daerah di daerah yang sama.
Lalu apa sebenarnya yang menjadi penyebab
konflik di antara mereka. Tidak ada yang bisa menjawab secara pasti. Karena
semua berpulang kepada kepentingan pribadi masing-masing atau bisa juga
pengaruh kepentingan partai. Namun biasanya mereka berdalih masalah regulasi.
Yang karena tafsir, atau salah tafsir, atau sengaja menafsirkan secara salah.
Mencari celah lemahnya regulasi, untuk mendapatkan kepentingannya.
Atau juga karena pengaruh lebih besarnya suatu
partai yang mengusung, sehingga tidak bisa memilih calon berdasarkan atau
berbasis pada kemampuan. Baik kemampuan berpikir, kemampuan menganalisa masalah
serta kemampuan bertindak sesuai dengan aturan yang belaku. Lalu harus
bagaimana?.
Pertama, partai pengusunglah yang harus
sadar dan mengingatkan kembali pada komitmen utama yaitu bekerja untuk
kepentingan dan kesejahteraan masyarakat. Ingat janji-janji ketika kampanye.
Kedua, bersepakat dengan jelas tentang
pembagian wewenang dan tugas antara Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.
Ketiga, DPRD harus berperan aktif,
mengawasi dan meluruskan masing-masing pihak untuk kembali ke kerja utama
mereka yaitu untuk kepentingan masyarakatnya serta demi kemajuan daerahnya .
Ketiga solusi ini memang mudah
dilaksanakan, tetapi menjadi sulit bila masing-masing sudah dipenuhi dengan
pikiran kotor. Misalnya: Korupsi!.
Tapi, percayalah aparat yang baik serta
masyarakat yang baik, masih banyak. Optimislah!!. (BUDI SAMPURNO.Mak’skom.IPJT.17.3.2023)
Setuju, pak. Kita percaya masih banyak negarawan2 yg mendahuluka kepentingan negara di atas kepentingan pribadi dan golongan. Bravo
BalasHapus