Sabtu, 07 Mei 2022

SDT.SASTRA.20

BUDI SAMPURNO.April.1


Ceritera dialog di warung bubur ayam tentang kemuliaan sang guru, dituturkan oleh RAUDAL TANJUNG BANUA melalui cerpennya yang berjudul : TIGA HELAI KARET GELANG DI TANGAN SEORANG AYAH.

Ada seorang mantan murid yang mendengar mantan gurunya sedang sakit, maka ia lalu bergegas menengok pergi ke Bali, tempat mantan gurunya itu tinggal. Tapi sayang, sang guru sudah terlebih dahulu di panggil oleh Yang Maha Pencipta.

Cerpen itu di buka dengan kalimat “ Setelah upacara pemakaman guruku yang menguras perasaan, aku beruntung menemukan sebuah warung bubur sederhana di pinggir jalan, persis di seberang gerbang Lembah Pujian. Di kompleks perumahan berlembah hijau dengan sungai itu, guruku-dan guru banyak orang- menyepi sebelum meninggal. Jenazahnya sudah berada di ruang sunyi kurukudu sekarang, begitulah sebutannya dalam ritual Marapu”.

Di warung bubur yang sederhana itulah RAUDAL TANJUNG BANUA mulai memaparkan rahasia sang guru, kecintaan guru dengan anak-anaknya, kecintaan guru dengan anak didiknya serta kecintaan murid terhadap gurunya dan tak lepas dari itu adalah gurunya disayangi oleh banyak mantan muridnya, oleh banyak orang dan juga dihormati para pejabat.

Kemuliaan sang guru digambarkan oleh tukang bubur: “Isteri saya nangis mendengar meninggal”. “Saat pemakamannya, kami pergi ke Mumbul. Tapi ramai pelayat, ada juga isteri gubernur, maka kami hanya menyaksikan upacaranya dari jauh”. Ada lagi kalimat isteri tukang bubur yang menggambarkan kemuliaan sang guru. “ Bagaimana tak sedih, wong ia penuh perhatian. Anak tertua saya selalu disemangati supaya rajin melukis. Anak kami sudah tak sekolah, dulu pernah mondok di Jawa, kini kerja sebagai tukang ojol. Ia senang melukis dan bikin kaligrafi”

RAUDAL TANJUNG BANUA juga menggambarkan kemuliaan gurunya yang sama dekat dengan orang dari semua lapisan “ Aku teringat cerita yang sama saat guruku masih di Yogya. Ia menyemangati tukang sapu Pasar Beringharjo dan nongkrong bersama tukang becak dan pengamen Malioboro. Setelah pindah ke Bali, itu tetap ia lakoni. Ia dekat dengan semua satpam di kantor surat kabar tempatnya bekerja. Berteman dengan penjual soto di pasar Kumbasari dan kuli angkut kreneng. Ia mengunjungi pelukis dan penari tua di pelosok. Jadi aku juga tak heran mendengar kabar kalau dekat dengan tukang bubur ayam dan anaknya”.

Tentang karet gelang yang di pakai sang guru, penjual bubur pernah menyinggung dengan kata-kata: “ Kenapa bapak tak pakai jamnya?. Kan bagus dari pada karet gelang”. Sang guru terdiam. Kemuadian berkata dengan nada tinggi : “Lho, ini lebih berarti di banding jam paling mahal, lho!”. Sejak itu tukang bubur nggak pernah berani  menegur lagi tentang jam tangan. Tapi si tukang bubur makin senang memperhatikan sang guru-pelanggannya- mempermainkan karet gelang ditangannya. Anehnya karet gelang itu selalu tiga helai. Jika lebih, lainnya disisihkan di bagaian atas tangannnya, dibatasi oleh gelang akar bahar. Yang tiga helai dimainkan, ditariknya pelan, dipilin atau di usap-usap.

Lalu apakah rahasia sang guru selalu membawa tiga helai karet gelang ?. Tukang bubur menjelaskan, bahwa ketika pemakaman, anak-anaknya dan cucu-cucunya juga datang dari Sumba.

“Apakah orang yang Mas Sya’roni (nama tukang bubur) ceritakan bernama Umbu?”

“Kok bli tahu?”

“Beliau guru saya”, kata-kata itu lepas dari kelu bibirku.

“Saya dari Jogya. Dengar beliau sakit, saya datang. Sayang beliau keburu pergi”, suaraku tercekat

Tukang bubur terpana menatapku.

“Maaf”, potongnya tiba-tiba, “Anaknya ada berapa, ya,Mas?” Ia selalu bilang anak-anaknya banyak jika saya tanya. Sejak itu saya tak mau bertanya lagi”

“Tiga orang”. jawabku. “Semua datang kok. Yang banyak itu muridnya, dan memang dianggap seperti anak sendiri”.

“ Ya, Rabi, saya tahu rahasianya sekarang!.Tiga helai karet gelang!. Tak lebih tak kurang! Yakin, itu maksudnya anak-anaknya, Mas Bli” ia gugup sehingga menyebut panggilanku dua kali.

“Walau tak pernah pulang, ia ingat anaknya terus”, tukang bubur setengah berguman, antara kaget dan takjub.

Aku membenarkan dalam hati: ya, tiga anak ia tinggal pergi, tapi ternyata selalu dibawanya di pergelangan tangan, dibelainya persis di urat nadi. Kami sama larut terharu. Teka-teki jumlah karet gelang kini terjawab sudah, berupa kemuliaan seorang ayah!.

(Budi Sampurno.Mak’skom.IPJT.7.5.2022)

 

  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar