SDT.SASTRA.20
BUDI SAMPURNO.April.1
Ceritera
dialog di warung bubur ayam tentang kemuliaan sang guru, dituturkan oleh RAUDAL
TANJUNG BANUA melalui cerpennya yang berjudul : TIGA HELAI KARET GELANG DI
TANGAN SEORANG AYAH.
Ada
seorang mantan murid yang mendengar mantan gurunya sedang sakit, maka ia lalu
bergegas menengok pergi ke Bali, tempat mantan gurunya itu tinggal. Tapi
sayang, sang guru sudah terlebih dahulu di panggil oleh Yang Maha Pencipta.
Cerpen
itu di buka dengan kalimat “ Setelah upacara pemakaman guruku yang menguras
perasaan, aku beruntung menemukan sebuah warung bubur sederhana di pinggir
jalan, persis di seberang gerbang Lembah Pujian. Di kompleks perumahan
berlembah hijau dengan sungai itu, guruku-dan guru banyak orang- menyepi
sebelum meninggal. Jenazahnya sudah berada di ruang sunyi kurukudu sekarang,
begitulah sebutannya dalam ritual Marapu”.
Di
warung bubur yang sederhana itulah RAUDAL TANJUNG BANUA mulai memaparkan
rahasia sang guru, kecintaan guru dengan anak-anaknya, kecintaan guru dengan
anak didiknya serta kecintaan murid terhadap gurunya dan tak lepas dari itu
adalah gurunya disayangi oleh banyak mantan muridnya, oleh banyak orang dan
juga dihormati para pejabat.
Kemuliaan
sang guru digambarkan oleh tukang bubur: “Isteri saya nangis mendengar
meninggal”. “Saat pemakamannya, kami pergi ke Mumbul. Tapi ramai pelayat, ada
juga isteri gubernur, maka kami hanya menyaksikan upacaranya dari jauh”. Ada
lagi kalimat isteri tukang bubur yang menggambarkan kemuliaan sang guru. “
Bagaimana tak sedih, wong ia penuh perhatian. Anak tertua saya selalu
disemangati supaya rajin melukis. Anak kami sudah tak sekolah, dulu pernah
mondok di Jawa, kini kerja sebagai tukang ojol. Ia senang melukis dan bikin
kaligrafi”
RAUDAL
TANJUNG BANUA juga menggambarkan kemuliaan gurunya yang sama dekat dengan orang
dari semua lapisan “ Aku teringat cerita yang sama saat guruku masih di Yogya.
Ia menyemangati tukang sapu Pasar Beringharjo dan nongkrong bersama tukang
becak dan pengamen Malioboro. Setelah pindah ke Bali, itu tetap ia lakoni. Ia
dekat dengan semua satpam di kantor surat kabar tempatnya bekerja. Berteman
dengan penjual soto di pasar Kumbasari dan kuli angkut kreneng. Ia mengunjungi
pelukis dan penari tua di pelosok. Jadi aku juga tak heran mendengar kabar
kalau dekat dengan tukang bubur ayam dan anaknya”.
Tentang
karet gelang yang di pakai sang guru, penjual bubur pernah menyinggung dengan
kata-kata: “ Kenapa bapak tak pakai jamnya?. Kan bagus dari pada karet gelang”.
Sang guru terdiam. Kemuadian berkata dengan nada tinggi : “Lho, ini lebih
berarti di banding jam paling mahal, lho!”. Sejak itu tukang bubur nggak pernah
berani menegur lagi tentang jam tangan.
Tapi si tukang bubur makin senang memperhatikan sang guru-pelanggannya-
mempermainkan karet gelang ditangannya. Anehnya karet gelang itu selalu tiga
helai. Jika lebih, lainnya disisihkan di bagaian atas tangannnya, dibatasi oleh
gelang akar bahar. Yang tiga helai dimainkan, ditariknya pelan, dipilin atau di
usap-usap.
Lalu
apakah rahasia sang guru selalu membawa tiga helai karet gelang ?. Tukang bubur
menjelaskan, bahwa ketika pemakaman, anak-anaknya dan cucu-cucunya juga datang
dari Sumba.
“Apakah
orang yang Mas Sya’roni (nama tukang bubur) ceritakan bernama Umbu?”
“Kok
bli tahu?”
“Beliau
guru saya”, kata-kata itu lepas dari kelu bibirku.
“Saya
dari Jogya. Dengar beliau sakit, saya datang. Sayang beliau keburu pergi”,
suaraku tercekat
Tukang
bubur terpana menatapku.
“Maaf”,
potongnya tiba-tiba, “Anaknya ada berapa, ya,Mas?” Ia selalu bilang
anak-anaknya banyak jika saya tanya. Sejak itu saya tak mau bertanya lagi”
“Tiga
orang”. jawabku. “Semua datang kok. Yang banyak itu muridnya, dan memang
dianggap seperti anak sendiri”.
“
Ya, Rabi, saya tahu rahasianya sekarang!.Tiga helai karet gelang!. Tak lebih
tak kurang! Yakin, itu maksudnya anak-anaknya, Mas Bli” ia gugup sehingga
menyebut panggilanku dua kali.
“Walau
tak pernah pulang, ia ingat anaknya terus”, tukang bubur setengah berguman,
antara kaget dan takjub.
Aku
membenarkan dalam hati: ya, tiga anak ia tinggal pergi, tapi ternyata selalu
dibawanya di pergelangan tangan, dibelainya persis di urat nadi. Kami sama
larut terharu. Teka-teki jumlah karet gelang kini terjawab sudah, berupa
kemuliaan seorang ayah!.
(Budi
Sampurno.Mak’skom.IPJT.7.5.2022)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar