Selasa, 25 Mei 2021

 

Budi Sampurno. Mei 2021

SDT. SASTRA. 8

KONFLIK GENERASI DI MASAKAN.

 

MASAKAN IBU DAN BUMBU-BUMBU DI HALAMAN RUMAH, itulah judul cerpen di harian KOMPAS, Minggu, tgl. 16 Mei 2021 di hal.10. Penulisnya, Rizqi Turama kelahiran th 1990, dosen Unversitas Sriwijaya dan pernah mengikuti workshop cerpen yang diselenggarakan Harian KOMPAS, th 2016.

Judulnya memang panjang, tetapi menarik untuk di-baca, karena imajinasi saya tergambarkan seorang ibu yang sangat tradisional. Imajinasiku di kuatkan dengan tulisan “ Setahuku, ibu adalah satu dari sangat sedikit orang yang memegang teguh prinsipnya dalam memasak. Ia biasa menanam sendiri sebagian besar  bumbu dapur yang akan dipakai. Di halaman yang memang di buat lebih luas ketimbang bangunan- rumah kami, kau bisa melihat berbagai tanaman bumbu tersebar di berbagai sudut. Sebagian di tanah, sebagaian lagi di pot gantung kecil. Cabai, jahe, serai, bawang merah, kunyit dan beberapa yang lain.

Tanaman itu  bukan hanya di rawat dan disirami dengan telaten, tapi juga di panen dan di olah sendiri untuk kemudian  jadi bumbu masakan. Bagi ibu,  memasak dengan bumbu yang di tanam dan di olah sendiri akan menghasilkan rasa yang lebih “ nendang”.

Cerpen Rizqi Turama ini sebenarnya dimulai dengan konflik antara ibunya  dengan isteri sang tokoh. Yaitu ketika sang tokoh “aku “ menikahi gadis yang juga suka memasak. Tetapi dengan umur yang berbeda dan prinsip yang berbeda dalam hal memasak. Ibunya suka memasak dengan bumbu dari halaman dan di racik sendiri, agar rasanya lebih nendang. Sedangkan isterinya “ aku “ adalah seorang perempuan yang juga suka memasak. Tetapi lebih suka memasak dengan bumbu racikan pabrik yang selalu tersedia di toko-toko dan isterinya juga mempunyai keinginan untuk menanam bunga-bunga di halaman rumah

Dua masalah itulah yang menjadi titik konflik antara ibu mertua dengan sang menantu. Ibu suka menanam tananam yang bisa dijadikan bumbu ketika memasak. Dan tidak suka halamannya ditanami dengan bunga. Lebih berharga ditanami tanaman yang bisa dijadikan bumbu masak.

Sang menantu lebih suka memasak dengan bumbu racikan pabrik karena praktis dan menghemat waktu. Memang sang menantu bukan ibu rumah tangga melulu. Tetapi juga orang kantoran.

Satu lagi, sang ibu tidak suka dan tidak mau menanam bunga. Sedangkan sang menantu berkeinginan besar bisa menanam berbagai bunga di halaman agar tampak lebih asri dan nyaman serta sangat menghargai bunga bukan hanya karena sekedar sejumlah uang. Rizqi Turama menggiring pada akhir cerpennya, konflik dapat berakhir dengan kebahagiaan. Alasannya sederhana, yaitu sang isteri mulai telat bulan yang artinya mulai mengandung jabang bayi.

“ Ibu ganti dengan bibit bunga. Sudah waktunya rumah ini kelihatan lebih meriah, bukankah sebentar lagi kita akan kedatangan anggota baru ? “.

Kali ini, ibu dan isteriku yang saling toleh. Keduanya tersenyum. Cerpennya diakhiri dengan senyum kebahagiaan antara sang ibu dan sang menantu.

Bagi saya, cerpen ini lancar di baca, gampang di cerna. Kalimat-kalimatnya sederhana, nggak berbelit seperti cerpen yang mungkin dikatakan cerpen absurd, hanya saja bagi saya perjalanan konflik antara sang isteri dengan mertuanya terasa kurang menggigit, kurang greget. Yang terbayang disetiap orang  antara sang mantu dan sang mertua kalau ada konflk pastilah sangat tajam. Masing-masing saling mempertahankan pendiriannya.

Tetapi sang ibu pendiriannya luntur seketika, dan ini yang dijadikan alasan perubahan prinsipnya yang telah bertahun-tahun dipegangnya, yaitu akan segera hadirnya sang cucu pertamanya. Apakah ini memang sudah kodratnya seorang ibu, apalagi sudah hidup sendirian ditinggal mati sang suami ?. (Budi Sampurno,Sby.25.5.2021)

 

.

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar