Budi Sampurno. Mei 2021
SDT. SASTRA. 8
KONFLIK GENERASI
DI MASAKAN.
MASAKAN IBU DAN
BUMBU-BUMBU DI HALAMAN RUMAH, itulah judul cerpen di harian KOMPAS, Minggu,
tgl. 16 Mei 2021 di hal.10. Penulisnya, Rizqi Turama kelahiran th 1990, dosen
Unversitas Sriwijaya dan pernah mengikuti workshop cerpen yang diselenggarakan
Harian KOMPAS, th 2016.
Judulnya memang
panjang, tetapi menarik untuk di-baca, karena imajinasi saya tergambarkan
seorang ibu yang sangat tradisional. Imajinasiku di kuatkan dengan tulisan “
Setahuku, ibu adalah satu dari sangat sedikit orang yang memegang teguh
prinsipnya dalam memasak. Ia biasa menanam sendiri sebagian besar bumbu dapur yang akan dipakai. Di halaman
yang memang di buat lebih luas ketimbang bangunan- rumah kami, kau bisa melihat
berbagai tanaman bumbu tersebar di berbagai sudut. Sebagian di tanah, sebagaian
lagi di pot gantung kecil. Cabai, jahe, serai, bawang merah, kunyit dan beberapa
yang lain.
Tanaman itu bukan hanya di rawat dan disirami dengan
telaten, tapi juga di panen dan di olah sendiri untuk kemudian jadi bumbu masakan. Bagi ibu, memasak dengan bumbu yang di tanam dan di olah
sendiri akan menghasilkan rasa yang lebih “ nendang”.
Cerpen Rizqi
Turama ini sebenarnya dimulai dengan konflik antara ibunya dengan isteri sang tokoh. Yaitu ketika sang
tokoh “aku “ menikahi gadis yang juga suka memasak. Tetapi dengan umur yang
berbeda dan prinsip yang berbeda dalam hal memasak. Ibunya suka memasak dengan
bumbu dari halaman dan di racik sendiri, agar rasanya lebih nendang. Sedangkan
isterinya “ aku “ adalah seorang perempuan yang juga suka memasak. Tetapi lebih
suka memasak dengan bumbu racikan pabrik yang selalu tersedia di toko-toko dan
isterinya juga mempunyai keinginan untuk menanam bunga-bunga di halaman rumah
Dua masalah
itulah yang menjadi titik konflik antara ibu mertua dengan sang menantu. Ibu
suka menanam tananam yang bisa dijadikan bumbu ketika memasak. Dan tidak suka
halamannya ditanami dengan bunga. Lebih berharga ditanami tanaman yang bisa
dijadikan bumbu masak.
Sang menantu
lebih suka memasak dengan bumbu racikan pabrik karena praktis dan menghemat
waktu. Memang sang menantu bukan ibu rumah tangga melulu. Tetapi juga orang
kantoran.
Satu lagi, sang
ibu tidak suka dan tidak mau menanam bunga. Sedangkan sang menantu berkeinginan
besar bisa menanam berbagai bunga di halaman agar tampak lebih asri dan nyaman
serta sangat menghargai bunga bukan hanya karena sekedar sejumlah uang. Rizqi
Turama menggiring pada akhir cerpennya, konflik dapat berakhir dengan
kebahagiaan. Alasannya sederhana, yaitu sang isteri mulai telat bulan yang
artinya mulai mengandung jabang bayi.
“ Ibu ganti dengan
bibit bunga. Sudah waktunya rumah ini kelihatan lebih meriah, bukankah sebentar
lagi kita akan kedatangan anggota baru ? “.
Kali ini, ibu
dan isteriku yang saling toleh. Keduanya tersenyum. Cerpennya diakhiri dengan
senyum kebahagiaan antara sang ibu dan sang menantu.
Bagi saya,
cerpen ini lancar di baca, gampang di cerna. Kalimat-kalimatnya sederhana,
nggak berbelit seperti cerpen yang mungkin dikatakan cerpen absurd, hanya saja
bagi saya perjalanan konflik antara sang isteri dengan mertuanya terasa kurang
menggigit, kurang greget. Yang terbayang disetiap orang antara sang mantu dan sang mertua kalau ada
konflk pastilah sangat tajam. Masing-masing saling mempertahankan pendiriannya.
Tetapi sang ibu
pendiriannya luntur seketika, dan ini yang dijadikan alasan perubahan
prinsipnya yang telah bertahun-tahun dipegangnya, yaitu akan segera hadirnya
sang cucu pertamanya. Apakah ini memang sudah kodratnya seorang ibu, apalagi
sudah hidup sendirian ditinggal mati sang suami ?. (Budi
Sampurno,Sby.25.5.2021)
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar