Jumat, 01 April 2016

RESISTENSI ANTIBIOTIK


Tim Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Airlangga dan RSUD Dr. Soetomo mendorong masyarakat untuk sadar akan resistensi antibiotic. Penggunaan antibiotik yang tidak rasional dapat mengakibatkan kuman di dalam tubuh menjadi resisten terhadap obat, sehingga berdampak tidak baik terhadap tubuh.
Guru Besar bidang Mikrobiologi Klinik Fakultas Kedokteran Unair, Prof Kuntaman mengatakan kesadaran masyarakat terkait penggunaan antibiotik secara proporsional masih rendah. Sementara prevalensi terhadap MRSA (Methicillin Resistant Staphylococcus Aureus) cukup berbahaya. Ia meminta pemerintah membuat regulasi tentang penggunaan antibiotik di tingkat rumah sakit, Puskesmas dan masyarakat.
Berdarsarkan hasil studi terbarunya tentang kuman Staphylococcus Aureus yang mengalami resistensi pada antibiotik jenis Methicillin (MRSA) di RSUD Dr. Soetomo Surabaya. Kuman tersebut menginfeksi sebanyak 8,1 persen dari 643 pasien. Meski demikian, ia mengakui salah satu kendala untuk mengobati penyakit infeksi yang disebabkan oleh resistensi antibiotik adalah kurangnya validasi data.“Selama ini kita kekurangan data mengenai jenis bakteri yang sulit diobati, itu menyulitkan validasi,” tutur Prof Kuntaman di Departemen Mikrobiologi Klinik FK UNAIR, Jumat (1/4).
Hasil risetnya yang lain, dirinya menyampaikan bahwa kuman penghasil ESBL (Extended-Spectrum Beta-Lactamase) di Indonesia juga cukup tinggi, yakni berkisar 30-60 persen pada tahun 2013. Hal ini disebabkan oleh penggunaan antibiotik yang tidak rasional dan ketaatan terhadap standard precaution.
Bahkan, kuman penghasil ESBL sudah mengalami resisten terhadap antibiotik jenis Carbapenem, yaitu antibiotik yang dapat menghambat segala aktivitas antibakteri. Hal ini muncul dari hasil risetnya bersama Prof. Shirakawa dari Universitas Kobe, Jepang.
Dari banyak hasil riset yang dilakukan di bidang resistensi mikroba terhadap antibiotik, Prof Kuntaman yang tergabung dalam tim Komite Pengendalian Resistensi Antimikroba (KPRA) berencana mengajukan guidelines kepada pemerintah untuk membuat regulasi agar MRSA tidak berbahaya.
Apabila guidelines diterima oleh pemerintah, maka sejumlah peraturan terkait pembatasan penggunaan antibiotik bisa diterapkan. Peraturan yang dimaksud antara lain pelarangan terhadap apotek untuk menjual obat tanpa resep, dan membatasi masyarakat untuk menggunakan obat-obatan tanpa resep dokter.
“Rencananya, tahun ini tim KPRA mengajukan guidelines kepada pemerintah agar MRSA tidak berbahaya dan merugikan BPJS Kesehatan. Tidak banyak masyarakat yang mengetahui bahwa penyakit yang diakibatkan oleh resistensi kuman terhadap antibiotik itu juga membebani BPJS Kesehatan,” tandasnya.
Sesuai rencana, Prof Kuntaman akan mempresentasikan temuannya pada tanggal 9 April 2016 mendatang pada European Congress of Clinical Microbiology and Infectious Diseases (ECCMID) di Amsterdam. Riset ini merupakan kolaborasi antara FK UNAIR-RSUD Dr. Soetomo dengan Erasmus Medisch Centrum, Belanda. (KominfoJatim,Makskom,IPJT)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar