PRODUKSI
UDANG WINDU PERLU DIGENJOT
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) fokus mengembangkan komoditas udang windu dengan menerapkan prinsip pengelolaan budidaya perikanan berkelanjutan. Hal ini guna memenuhi peluang yang masih terbuka lebar pada pasar global saat ini.
Direktur Jenderal Perikanan Budidaya, Slamet Soebjakto, baru baru ini mengatakan, komoditas udang windu merupakan produk lokal asli Indonesia. Pasar udang windu masih memiliki potensi besar. Oleh karenanya, budidaya udang windu akan ditingkatkan. “Udang windu merupakan udang asli Indonesia yang harus tetap dikembangkan,” katanya.
Dikatakannya, saat ini yang perlu ditekankan adalah budidaya udang windu dengan memperhatikan keberlanjutan, baik keberlanjutan lingkungan maupun keberlanjutan usaha. Pemerintah mendukung dengan penyiapan induk unggul dan benih bermutu, yang diproduksi oleh Unit Pelaksana Teknis (UPT) seperti di BBPBAP Jepara dan juga BPBAP Takalar.
Produksi udang windu sebagian besar di sumbang dari budidaya dengan sistem tradisional hingga tradisional plus. Cara budidaya dengan sistem ini lebih baik karena selaras dengan keberlanjutan.
KKP untuk masa akan dating akan memberikan dukungan dengan membenahi saluran irigasi di tambak-tambak tradisional tersebut sehingga keberlanjutan produksi udang windu di wilayah petambak dapat terwujud.
Pemulian dan pembenihan udang windu merupakan jalan terang untuk mengembalikan jaman keemasan udang windu. Budidaya udang pernah menorehkan masa keemasan pada era 1980-an, ditandai dengan komoditas udang windu menjadi primadona ekspor yang menyumbang 15 persen dari total ekspor nonmigas. Pada periode 1985-1988, misalnya, terjadi kenaikan ekspor udang dari 30.800 ton senilai 202,3 juta dollar AS menjadi 56.552 ton senilai 499,85 juta dollar AS.
Pada tahun 2002, merupakan puncak produksi udang windu, yang digambarkan sebagai "serba 70". Harga benur Rp 70 per ekor dengan kemampuan menghasilkan udang ukuran 70 per kg hanya dalam waktu 70 hari. Namun, puncak dari produksi udang itu tidak diikuti dengan upaya mempertahankan mutu induk, perbaikan kualitas tambak, dan daya dukung lingkungan. Akibatnya, hanya selang setahun, udang windu terserang penyakit yang mematikan. Sekitar 60 persen dari 410.000 tambak tradisional mengalami kehancuran. Hal ini tidak boleh terjadi lagi.
Pada saat sekarang ini merupakan momentum kebangkitan bagi usaha tambak rakyat. Sebanyak 70 persen dari areal tambak udang di Indonesia merupakan tambak tradisional. Tambak ini umumnya belum tertata dan terbatas aliran listrik serta saluran air. Oleh karena itu, Pemerintah akan melakukan bimbingan dan kemudahan dalam penataan saluran air dan penataan aliran listrik.(Budi Sampurno,Makskom,IPJT)
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) fokus mengembangkan komoditas udang windu dengan menerapkan prinsip pengelolaan budidaya perikanan berkelanjutan. Hal ini guna memenuhi peluang yang masih terbuka lebar pada pasar global saat ini.
Direktur Jenderal Perikanan Budidaya, Slamet Soebjakto, baru baru ini mengatakan, komoditas udang windu merupakan produk lokal asli Indonesia. Pasar udang windu masih memiliki potensi besar. Oleh karenanya, budidaya udang windu akan ditingkatkan. “Udang windu merupakan udang asli Indonesia yang harus tetap dikembangkan,” katanya.
Dikatakannya, saat ini yang perlu ditekankan adalah budidaya udang windu dengan memperhatikan keberlanjutan, baik keberlanjutan lingkungan maupun keberlanjutan usaha. Pemerintah mendukung dengan penyiapan induk unggul dan benih bermutu, yang diproduksi oleh Unit Pelaksana Teknis (UPT) seperti di BBPBAP Jepara dan juga BPBAP Takalar.
Produksi udang windu sebagian besar di sumbang dari budidaya dengan sistem tradisional hingga tradisional plus. Cara budidaya dengan sistem ini lebih baik karena selaras dengan keberlanjutan.
KKP untuk masa akan dating akan memberikan dukungan dengan membenahi saluran irigasi di tambak-tambak tradisional tersebut sehingga keberlanjutan produksi udang windu di wilayah petambak dapat terwujud.
Pemulian dan pembenihan udang windu merupakan jalan terang untuk mengembalikan jaman keemasan udang windu. Budidaya udang pernah menorehkan masa keemasan pada era 1980-an, ditandai dengan komoditas udang windu menjadi primadona ekspor yang menyumbang 15 persen dari total ekspor nonmigas. Pada periode 1985-1988, misalnya, terjadi kenaikan ekspor udang dari 30.800 ton senilai 202,3 juta dollar AS menjadi 56.552 ton senilai 499,85 juta dollar AS.
Pada tahun 2002, merupakan puncak produksi udang windu, yang digambarkan sebagai "serba 70". Harga benur Rp 70 per ekor dengan kemampuan menghasilkan udang ukuran 70 per kg hanya dalam waktu 70 hari. Namun, puncak dari produksi udang itu tidak diikuti dengan upaya mempertahankan mutu induk, perbaikan kualitas tambak, dan daya dukung lingkungan. Akibatnya, hanya selang setahun, udang windu terserang penyakit yang mematikan. Sekitar 60 persen dari 410.000 tambak tradisional mengalami kehancuran. Hal ini tidak boleh terjadi lagi.
Pada saat sekarang ini merupakan momentum kebangkitan bagi usaha tambak rakyat. Sebanyak 70 persen dari areal tambak udang di Indonesia merupakan tambak tradisional. Tambak ini umumnya belum tertata dan terbatas aliran listrik serta saluran air. Oleh karena itu, Pemerintah akan melakukan bimbingan dan kemudahan dalam penataan saluran air dan penataan aliran listrik.(Budi Sampurno,Makskom,IPJT)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar